Family Indonesia

Uncategorized

Bimbing Anak untuk Mengenal Sentuhan yang Aman (Good Touch Bad Touch)

Parents, apakah pernah mendengar istilah “Good touch bad touch ”? 

Mengapa hal seputar sentuhan sangat penting untuk diketahui oleh anak dalam berinteraksi dengan orang lain?

Sentuhan seperti yang parents ketahui merupakan anugerah dari bagian panca indera manusia dan kekuatan untuk manusia dapat memahami serta merasakan hal di dunia. Sentuhan adalah salah satu elemen yang sangat penting di dalam perkembangan manusia dan menjadi metode komunikasi yang vital.

Namun, di dunia saat sentuhan terkadang tidak selamanya baik. Bagaimana cara kita dapat melindungi anak-anak, terutama ketika kita tidak bisa selalu bersama mereka?

 

Kekuatan dari Sentuhan (Power of Touch)

Sentuhan merupakan salah satu pengalaman paling penting dalam perkembangan manusia, terutama pada bayi. Dalam studinya, Sapolsky (2004) menemukan bahwa, “Terkadang stressor dapat berupa kegagalan untuk memberikan sesuatu pada makhluk hidup, dan ketiadaan sentuhan merupakan salah satu stressor perkembangan yang paling nyata yang dapat dialami”. 

Parents, sentuhan merupakan bentuk pengalaman sensorik paling awal bagi manusia, terutama saat individu sedang dalam tahap perkembangan. Sebelum lahir, bayi dalam kandungan mendapatkan sensasi dipeluk secara konstan oleh rahim. Setelah lahir, bayi pun mengharapkan tingkat perasaan yang sama yang terhubung melalui perawatan “in arms”  oleh ibu dan orang dewasa lainnya (Narvaez et al., 2019). Maka dari itu, kontak skin on skin antara bayi dengan parents dapat membantu bayi merasakan kehangatan, mengenali aroma orang tuanya, dan memberikan perasaan aman, juga nyaman.

Parents, sangat penting untuk memberikan kasih sayang dalam bentuk fisik selama masa perkembangan bayi. Semakin sering parents memberikan pelukan kepada bayi, semakin berkembang pula otak mereka (Maitre et al., 2017). Sentuhan afektif memainkan peran penting dalam perkembangan sensorik, stimulasi pertumbuhan, dan interaksi sosial. Khususnya pada anak-anak, dibutuhkan stimulasi sentuhan interpersonal yang dapat membantu dalam perkembangan emosi dan perilaku mereka. Sentuhan lembut dari orang dewasa juga dapat melepaskan zat kimiawi (endorfin, oksitosin, dan dopamin) yang membuat tubuh merasa nyaman dan dapat mengurangi tingkat stres pada anak.

“Touch-based interactions help them feel like they are home. That they’re with their people and that their people are the ones who they can trust to feel safe and secure” – Rebecca Parlakian

Setelah membahas kekuatan dari sentuhan yang diberikan oleh parents pada sang buah hati selama masa perkembangan. Sejalan juga dengan tahap perkembangan anak, parents dapat membekali anak mengenai sentuhan yang baik dan tidak baik.

 

Mengapa hal ini penting untuk dilakukan?

Karena pada kenyataannya, dunia saat ini memiliki begitu banyak celah dimana anak dapat menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun seksual dari lingkungan di sekitarnya. Pertimbangan lain, mengapa parents perlu mengedukasi anak-anak terkait sentuhan, yaitu:

  • Dengan memahami tanda-tanda perilaku/sentuhan yang tidak pantas, anak-anak dapat mengidentifikasi potensi ancaman dan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.
  • Anak dapat mengungkapkan hak-hak mereka dan mengatakan “tidak” pada kontak fisik yang tidak diinginkan. 
  • Menumbuhkan lingkungan yang mendukung dan melindungi anak dari bahaya. 
  • Membantu anak mengembangkan hubungan yang sehat dan memahami tentang persetujuan (consent). Hal ini mengajarkan mereka untuk mengenali dan menghormati batasan-batasan orang lain, serta mendorong rasa empati dan juga komunikasi.

 

Apa itu good touch dan bad touch?

Good touch mengacu pada kontak fisik yang positif dan pantas/sewajarnya. Jenis sentuhan ini meningkatkan hubungan emosional yang positif, rasa aman, dan nyaman. Sentuhan yang baik bersifat persetujuan dan penuh rasa hormat. Sedangkan bad touch mencakup kontak fisik yang tidak wajar dan tidak nyaman. Contoh sentuhan tidak baik mengacu pada kontak fisik yang membuat anak merasa tidak aman, sentuhan yang tidak diinginkan, paksaan, rayuan seksual, atau juga pelecehan. 

Ketika parents memberikan definisi dan contoh yang jelas, anak-anak dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang termasuk dalam setiap jenis sentuhan tersebut. Parents dapat membekali setiap anak dengan edukasi seputar good touch dan bad touch yang disesuaikan dengan perkembangan mereka.

1)Early years (0-3)

Ketika parents mengajari anak terkait sentuhan yang baik dan buruk, parents dapat memulai dari membangun percakapan dan edukasi seks sejak dini.

  • Parents dapat mengenalkan nama-nama yang tepat terkait bagian tubuh anak sebagai body safety dan juga mengajarkan norma-norma sosial, seperti tidak berjalan-jalan tanpa busana meskipun sedang berada di rumah. 
  • Memperkenalkan ide tentang sentuhan yang mudah dipahami yang seiring dengan perkembangan anak. Penjelasan terkait contoh sentuhan yang baik, seperti berupa tos, genggaman tangan, dan bahkan pelukan dari keluarga dan teman. Sentuhan yang buruk dapat dijelaskan sebagai sentuhan yang meninggalkan rasa sakit atau luka (memukul, mendorong, menendang, dan lain-lain).
  • Parents dapat membahas terkait area tubuh yang boleh disentuh dan tidak. Area tubuh “tidak boleh disentuh” adalah bagian yang tertutupi saat anak mengenakan baju atasan dan celana.
  • Mengajari anak untuk dapat mengatakan tidak ketika disentuh, menjauh dari orang tersebut, atau segera meminta bantuan jika merasa tidak nyaman.
  • Jelaskan pada anak bahwa tidak ada yang boleh menunjukkan bagian pribadi seseorang kepada mereka. Juga, tidak ada yang boleh melihat atau menyentuh area pribadi mereka.
  • Ketika mengedukasi anak, parents harus dapat menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana. Contoh percakapan yang dapat parents lakukan bersama anak sebagai berikut. 
  • “Apakah boleh seseorang menyentuh kamu di area yang tidak boleh disentuh?”
  •  “Jika seseorang memelukmu dan kamu tidak menyukainya, apa yang akan kamu katakan?

Baca juga: Edukasi Seksualitas Anak dari Perspektif Orang Tua dan Guru “ConnecTime

2) Preschool years (4-6)

Pada usia ini, anak mungkin sudah mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Parents dapat memainkan beberapa skenario bersama anak, seperti ketika mereka membutuhkan bantuan untuk buang air kecil, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama waktu bermain. Juga, apa yang harus dilakukan jika ada orang dewasa yang melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai. Pengulangan yang konsisten terhadap body safety akan membantu anak mengingat dan melindungi diri mereka ketika berada di situasi-situasi tersebut.  

3) Primary years (7-9)

Pada usia sekolah dasar, parents dapat memasukkan gagasan tentang tekanan teman sebaya ketika memperluas gagasan tentang sentuhan yang baik dan sentuhan yang buruk. Namun, perlu untuk tetap menyesuaikan ajaran dengan tingkat kedewasaan anak. Bangun rasa nyaman dan aman untuk anak dapat berbagi dan bertanya tentang apapun yang tidak mereka  ketahui. Parents, usahakan untuk tidak pernah terdengar curiga atau menakut-nakuti ketika sedang memberikan penjelasan. Sebaliknya, komunikasikan hal ini dengan tenang dan sering dengan menggunakan film atau berita untuk membangun percakapan. Parents, perlu untuk selalu mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disampaikan oleh anak, tanpa mengambil kesimpulan atau menghakimi terlalu cepat. 

“By teaching children about good touch and bad touch, they become more empowered and self-aware. They learn to trust their instincts and differentiate between appropriate and inappropriate physical contact”

Parents memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada anak-anak terkait good touch dan bad touch. Hal ini dapat dimulai dengan membangun lingkungan komunikasi yang terbuka dan jujur. Focus on the Family Indonesia mendukung para parent untuk membekali anak anda sesuai dengan tahap perkembangan mereka. FOFI menyediakan berbagai program dan layanan seputar parenting, seperti Parental Guidance, Parenting Seminar, dan Parenting Counseling. Parents dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi: 

Maitre, N. L., Key, A. P., Chorna, O. D., Slaughter, J. C., Matusz, P. J., Wallace, M. T., & Murray, M. M. (2017). The dual nature of Early-Life experience on somatosensory processing in the human infant brain. Current Biology, 27(7), 1048–1054. https://doi.org/10.1016/j.cub.2017.02.036

Narvaez, D., Wang, L., Cheng, A., Gleason, T. R., Woodbury, R., Kurth, A., & Lefever, J. B. (2019). The importance of early life touch for psychosocial and moral development. Psicologia Reflexão E Crítica, 32(1). https://doi.org/10.1186/s41155-019-0129-0 

Ong, D. (2024, February 28). What is Good Touch and Bad Touch? Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/resource/what-is-good-touch-and-bad-touch/ 

Sapolsky, R. M. (2004). Why zebras don’t get ulcers: The acclaimed guide to stress, stress-related diseases, and coping. Holt paperbacks. 

Uncategorized

Toxic Relationship dalam Kehidupan Remaja

Champs, apakah pernah berada di suatu hubungan yang baik disadari maupun tidak, membuat diri kita merasa tidak nyaman dan tidak bahagia? 

 

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa tanpa orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, kita tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia memiliki kebutuhan untuk rasa aman, kasih sayang, dan pengakuan akan eksistensi dirinya yang didapatkan melalui hubungan dalam kehidupan sosial. Hubungan dapat diartikan sebagai ikatan atau koneksi antar individu yang dapat ditemui dalam bentuk hubungan dengan orang tua, keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosial. 

Masa remaja ini, kita melalui fase untuk membangun hubungan sosial yang lebih mendalam dengan sekitar, baik pertemanan maupun hubungan romantis. Dalam sebuah hubungan, kita akan menemukan berbagai konflik dan perbedaan pemikiran mengenai suatu hal. Saat berada di situasi tersebut, kita dapat merasakan tertekan, terancam, juga merasa terpaksa bertahan di dalamnya. Seringkali juga, kita jadi terpaksa menoleransi setiap hal yang dilakukan oleh pihak lain, meski kita merasa tidak setuju atau senang dengan hal tersebut. Hubungan seperti itu dapat dikategorikan sebagai toxic relationship. Toxic relationship adalah hubungan yang memiliki dinamika tidak sehat dan menyebabkan perasaan tertekan atau terluka karena tidak adanya dukungan, tidak dihargai, dan manipulasi (Delony, 2024). Prabandari (2021) menyebutkan bahwa anak usia remaja tidak jarang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship), baik dengan sahabat, pacar, saudara, maupun orang tua dan lingkungan sekitar. Remaja perempuan dan laki-laki, keduanya sama-sama berisiko menjadi korban dari hubungan tidak sehat.

 

Contoh toxic relationship dalam berbagai jenis hubungan oleh remaja, seperti:

  • Keluarga: Dikenal dengan istilah “Toxic Parents” atau “Toxic Parenting”, dimana orang tua mengasuh dan mendidik anak dengan selalu mementingkan kepentingan dan kemauan dari pihak orang tua, tanpa memikirkan kondisi dan tidak menghargai pendapat sang anak. 
  • Pacaran/Hubungan Romantis: Hubungan romansa yang tidak sehat dapat mengarah pada kekerasan fisik, seksual, dan emosi (dating violence).  Pasangan yang cemburu, posesif berlebihan, menuntut perhatian terus-menerus, mengisolasi pasangannya dari teman dan keluarga adalah contoh dari hubungan tidak sehat. Hal ini bukanlah tanda cinta, melainkan tanda kontrol atas pasangannya.
  • Pertemanan: Toxic friendship, individu yang menganggap temannya sebagai lawan/saingan, seringnya memberikan kritik yang menjatuhkan, dan selalu merasa yang paling hebat dalam lingkup pertemanan merupakan bentuk lingkungan pertemanan yang toxic.

 

When you get out of it, you realize how toxic it actually was.” – Steve Maraboli

 

Ketika berada dalam hubungan yang tidak sehat, Champs dapat melihat beberapa ciri-ciri dari hubungan tersebut, yaitu:

  • Kurangnya dukungan yang didapatkan dan terkesan pihak lain dalam hubungan hanya mementingkan dirinya sendiri.
  • Komunikasi yang dipenuhi dengan sarkasme, kritik, dan penghinaan. 
  • Kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kecemburuan yang berkepanjangan dalam hubungan. 
  • Perilaku mengontrol dan pembatasan dalam berbagai hal.
  • Sering berbohong untuk menghindari interaksi dengan pasangan atau takut untuk berbicara jujur. 
  • Sikap tidak menghormati dan menghargai yang berpola.
  • Sering merasa lelah secara fisik dan mental atau tidak nyaman dalam hubungan.
  • Penarikan diri dari hal yang disukai.

 

Hubungan seperti ini dapat mengancam kesehatan mental dan fisik seseorang. Champs dapat merasa stress, depresi, kemarahan, hingga percobaan menyakiti diri sendiri sebagai dampak dari hubungan toxic (Dafiq et al., 2023). Kita sebagai remaja juga dapat menjadi insecure, mengalami trauma, cemas, pikiran menjadi terganggu, kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, dan gangguan dalam kehidupan sehari-hari (Prabandari, 2021). Seringnya champs tidak menyadari bahwa Ia sedang berada di hubungan tidak sehat dan tetap bertahan dengan  berbagai  alasan  yang berbeda. Berada dalam hubungan tersebut dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada konsep diri dan harga diri remaja. 

Upaya untuk lepas dan bebas dari toxic relationship memang tidak mudah dan membutuhkan waktu, terutama dalam hubungan keluarga dan pertemanan. Champs, dapat melakukan coping dalam hubungan ini dengan membuat batasan yang sehat, self-care, dan awareness terhadap diri sendiri. Bicarakan mengenai apa yang kita rasakan secara jujur, masalah yang dihadapi, dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hubungan tersebut. Kedua, membuat batasan frekuensi berinteraksi dengan orang yang membuat kita tidak bahagia. Ketiga, yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak waktu untuk melakukan hal/kegiatan yang disukai. Lalu, bangun support system dengan orang-orang yang dapat memberikan energi positif kepada kita.

 

Dalam hubungan romantis, champs dapat melakukan beberapa hal untuk meninjau apakah hubungan tersebut masih layak untuk dipertahankan atau harus segera diakhiri. Komunikasi dapat dilakukan bersama pasangan, bicarakan kembali mengenai hubungan yang sedang dijalani dan komitmen untuk memperbaiki hubungan. Bila pasangan tidak menunjukkan komitmen untuk berubah dan tetap melakukan hal tidak menyenangkan (kekerasan) yang sudah berpola, mengakhiri hubungan merupakan pilihan yang tepat. Saat mengakhiri hubungan tersebut, membangun support system yang dapat menguatkan dan menemani di setiap proses mulai dari merencanakan, merealisasikan, dan pemulihan diri dari hubungan toxic. Memutuskan seluruh kontak setelah hubungan berakhir dapat dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada kesempatan untuk kembali bersama dengan pasangan. Individu yang pernah memiliki hubungan toxic dapat merasa dirinya tidak berharga dan sulit untuk menemukan orang yang lebih baik. Tanamkan dalam diri sendiri bahwa kita pantas untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik dan tetap bahagia. Bila menghadapi kesulitan menyembuhkan diri sendiri, kita dapat menjangkau tenaga kesehatan profesional untuk memulihkan kesehatan mental dan membangun kembali self-esteem

 

Percayalah, kita semua berhak atas hubungan sehat yang didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan, dan komunikasi yang sehat. Saat berada di suatu hubungan, pastikan bahwa semua pihak melakukan yang terbaik dan menjaga hubungan tersebut dengan penuh cinta kasih.

 

Teenagers deserve relationships that nurture their growth, self-esteem, and happiness” – Lisa Konick

 

Bila champs sedang berada dalam hubungan toxic dan sedang merasa tidak bahagia, bahkan mengancam kesehatan mental serta fisik. Champs dapat menjangkau layanan konseling Focus on the Family Indonesia melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006. FOFI siap membantu champs dalam melalui proses tersebut.

 

Referensi:

Delony, J. (2024). 12 Signs You’re in a Toxic Relationship. Ramsey Solutions. https://www.ramseysolutions.com/relationships/toxic-relationship-signs#:~:text=A%20toxic%20relationship%20is%20one,re%20unsupported%2C%20manipulated%20or%20disrespected.

Dafiq, N., Camela, M. M., Akur, M. F., & Jeniati, E. (2023). TOXIC RELATIONSHIP PADA REMAJA:STUDI LITERATUR. https://stikessantupaulus.e-journal.id/JWK/article/view/163 

Lamothe, C. (2024). Is your relationship toxic? Signs and how to cope. Healthline. https://www.healthline.com/health/toxic-relationship#signs

Universitas Gadjah Mada. (2023). Pakar UGM: Waspada Hubungan Toxic di Kalangan Remaja. https://ugm.ac.id/id/berita/20943-pakar-ugm-waspada-hubungan-toxic-di-kalangan-remaja/#:~:text=Anak%20usia%20remaja%20tidak%20jarang,maupun%20orang%20tua%20dan%20lingkungannya.&text=Karena%20itu%2C%20jelasnya%2C%20terdapat%20tujuh,diwaspadai%20dalam%20suatu%20pola%20hubungan

Uncategorized

Dinamika Persaingan Antar Saudara (Sibling Rivalry)

Pertengkaran dan persaingan antar saudara, tentu bukan hal asing lagi untuk Parents yang memiliki anak lebih dari satu. Anak-anak yang mengejar perhatian orang tua, berkelahi, dan saling rebutan mainan seringkali mewarnai perjalanan tumbuh kembang anak. Parents mungkin saja sering merasa kesulitan menghadapi situasi dimana anak tidak akur dan penuh perselisihan.

 

Apa itu Sibling Rivalry?

Sibling rivalry adalah persaingan di antara saudara untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian dari salah satu atau kedua orang tua atau untuk mendapatkan pengakuan atau keuntungan lainnya. Persaingan ini sering terjadi setelah kelahiran anak kedua dalam suatu keluarga dalam bentuk kompetisi, kecemburuan, kemarahan, bahkan perasaan benci.

Contoh sibling rivalry adalah ketika kakak yang lebih tua merasa kesepian dan kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, setelah adiknya lahir. Di posisi sebagai adik, seseorang dapat merasa cemburu ketika sang kakak memiliki lebih banyak kebebasan melakukan sesuatu. Rasa cemburu yang dirasakan antar saudara dapat diutarakan secara berbeda-beda satu sama lain. Ada anak yang mengungkapkan hal tersebut dengan memberikan aduan mengenai kesalahan adik atau kakaknya. Juga, ada yang berperilaku dengan ingin tampil lebih baik dari saudaranya. Meskipun pertengkaran kecil dapat membantu anak belajar memecahkan masalah dan mengatasi konflik, konflik dan agresi tingkat tinggi antara saudara kandung dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental anak. Oleh karena itu, parents harus membantu anak-anak dalam mengatasi tantangan tersebut.

Menurut Hurlock (1989), ciri-ciri sibling rivalry adalah tidak mau membantu saudara, tidak mau berbagi, tidak mau bermain dengan saudara atau mengasuh adik kecuali jika dipaksa, serangan agresif, dan merusak sesuatu milik saudaranya. Beberapa faktor yang mempengaruhi sibling rivalry dalam keluarga, yaitu: (Hurlock, 1989)

  • Sikap orang tua, perbedaan sikap yang diberikan orang tua antara anak pertama, kedua, dan seterusnya yang dapat menyebabkan rasa iri antar saudara.
  • Urutan posisi, berkaitan dengan beban dan tugas yang diemban seorang anak berdasarkan urutan kelahiran.
  • Jenis kelamin saudara kandung, anak laki-laki dan perempuan bereaksi yang berbeda terhadap saudara kandung yang sama jenis kelaminnya atau berbeda jenis kelaminnya.
  • Perbedaan usia, mempengaruhi cara mereka dalam bereaksi satu terhadap lain dan cara orang tua memperlakukan mereka. 
  • Jumlah saudara, keluarga kecil dapat meminimalisir pertengkaran antar saudara kandung karena dengan jumlah yang lebih sedikit, saudara dapat memiliki lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan sesama. 
  • Jenis disiplin oleh orang tua. 
  • Pengaruh orang luar, dalam bentuk kehadiran orang luar di rumah, tekanan yang diberikan kepada anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang luar rumah.

 

Bagaimana  Sibling Rivalry dapat Mempengaruhi Anak?

Dampak sibling rivalry dapat berupa dampak pada diri sendiri dan juga pada saudara. Dampak pada diri sendiri yaitu adanya tingkah laku regresi untuk mendapatkan perhatian orang tua dan self efficacy (keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya) rendah. Dampak sibling rivalry terhadap saudara yaitu agresi dengan merusak barang milik saudaranya.  Kedua, tidak mau berbagi dengan saudara, tidak mau membantu karena perasaan bersaing dengan saudara, dan saling mengadukan kesalahan saudaranya. Sibling rivalry juga dapat berdampak pada orang lain. Ketika pola hubungan antar saudara kandung tidak baik, dapat terjadi pola hubungan yang tidak baik yang akan dibawa anak kepada pola hubungan sosial di luar rumah, seperti kebiasaan bertengkar (Hurlock,1989).

Beberapa hal yang dapat parent lakukan untuk meminimalisir terjadinya persaingan antar saudara dengan case mendapatkan anggota keluarga baru, yaitu anak diikutsertakan dalam persiapan menyambut sang adik. Parents juga dapat memberikan jaminan verbal kepada anak bahwa orang tua akan terus mencintainya bahkan setelah bayi lahir. Hal ini akan mengatasi rasa tidak aman yang mungkin dialami anak. Pemberian pujian verbal kepada anak yang ikut serta merawat bayi akan membantu mereka merasa diikutsertakan dan lebih dekat dengan sang adik.

Penting bagi parents untuk menekankan peran masing-masing individu dalam keluarga dan menciptakan lingkungan yang adil. Orang tua perlu menghindari perlakuan yang berbeda terhadap anak, serta tidak melakukan perbandingan antar anak mengenai kecerdasan, penampilan fisik, dan prestasi mereka (Volling et al., 2002). Persaingan antar saudara kadang tidak bisa dihindari, namun dapat diatasi dengan cara yang sehat. Orang tua yang mencontohkan keterampilan pemecahan masalah selama penyelesaian konflik dalam hubungan pernikahan dan keluarga.

Parents perlu mendukung anak untuk membangun hubungan saudara kandung yang hangat, penuh kasih sayang, dan keintiman. Hal ini karena hubungan saudara merupakan sumber dukungan material dan emosional, yang memiliki kekuatan untuk melindungi dari kesepian dan depresi individu. McHale menyebutkan bahwa saudara kandung seringkali menjadi orang-orang yang paling lama bertahan dan menemani dari masa kanak-kanak hingga tua, yang berarti dapat memahami saudaranya dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain.

Focus on the Family Indonesia mendukung parents, memperlengkapi keluarga dengan nilai-nilai dan kompetensi untuk membangun keluarga yang sehat. Oleh sebab itu, FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. FOFI juga menyediakan program parenting ‘Raising Future Ready Kids’ yang dapat membekali parents dengan skills untuk mendampingi pertumbuhan anak dalam membangun komunikasi yang efektif. Parents dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi:

Hurlock, E. (1989). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta:Erlangga. 

Putri, A. C. T. (2013). DAMPAK SIBLING RIVALRY(PERSAINGAN SAUDARA KANDUNG)PADA ANAK USIA DINI (Vol. 2, Issue 1). http://lib.unnes.ac.id/18553/

Volling, B. L., McElwain, N. L., & Miller, A. L. (2002). Emotion Regulation in Context: The Jealousy Complex between Young Siblings and Its Relations with Child and Family Characteristics. Child Development, 73(2), 581–600. https://doi.org/10.1111/1467-8624.00425 

Weir, K. (2022). Improving sibling relationships. https://www.apa.org. https://www.apa.org/monitor/2022/03/feature-sibling-relationships

Uncategorized

Empat Kebiasaan Fatal Yang Dapat Mengakhiri Hubungan

Couples, sadarkah kalian bahwa selama menjalin hubungan, Anda dan pasangan perlahan juga membangun kebiasaan bersama? Mungkin Anda dan pasangan memiliki kebiasaan untuk cafe hopping pada setiap kencan, kebiasaan untuk selalu mengucapkan ‘good morning’ di setiap awal hari, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan yang tercipta dari hubungan Anda dan pasangan tidak selalu tentang aktivitas sebagai pasangan sehari-hari, tetapi juga bisa dalam bentuk bagaimana Anda dan pasangan menghadapi satu sama lain. Apakah Anda menyadari perbedaan gaya berbicara pasangan Anda dengan Anda dan orang lain? Adakah suatu kebiasaan yang pasanganmu lakukan dengan Anda tetapi tidak dengan orang lain? 

Kebiasaan-kebiasaan yang Anda dan pasangan ciptakan mungkin juga tidak selalu baik. Couples perlu mengetahui bahwa ada beberapa kebiasaan yang bisa secara perlahan merusak hubungan. Dr. John Gottman, seorang psikolog yang telah meneliti pasangan selama lebih dari 40 tahun, menggunakan metafora the four horsemen untuk menjelaskan kebiasaan yang dapat menghancurkan hubungan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah:

  1. Mengkritik pasangan
    Dalam berhubungan, couples mungkin pernah mengalami hal yang tidak mengenakan seperti pasangan yang telat datang untuk kencan, melupakan hari spesial, dan sebagainya. Tidak sedikit couples yang menghadapi situasi tersebut dengan mengkritik pasangannya. Perlu diingat bahwa mengkritik pasangan berbeda dengan menyampaikan keluhan terkait tindakan pasangan atau situasi bermasalah yang ada. Dengan mengkritik pasangan, Anda berfokus untuk menyerang karakter pasangan Anda. Mengkritik pasangan juga dapat memberikan kesan seolah Anda mendefinisikan pasangan Anda dari sebuah kesalahan atau perilaku tidak ideal yang Ia lakukan. Sementara menyampaikan keluhan berfokus pada isu bermasalah yang terjadi ketimbang karakter pasangan Anda secara utuh. Anda dan pasangan perlu untuk bisa membedakan bagaimana bentuk mengkritik pasangan dan menyampaikan keluhan:

    Ketimbang berfokus untuk menyerang pasangan, akan lebih baik apabila Anda bisa menyampaikan perasaan Anda terkait situasi atau perilaku pasangan dengan tetap menghormati pasangan. Alihkan fokus Anda untuk berkomunikasi bersama dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada.
  2. Menghina pasangan
    Kebiasaan menghina dapat terlihat sederhana. Selain melalui kata-kata seperti mengejek, sarkasme, atau menyatakan humor yang bersifat menyerang pasangan, menghina juga dapat ditunjukkan dari sikap tubuh seperti mencibir, memutar mata, atau perilaku tidak menghormati lainnya. Kebiasaan ini dinilai oleh Dr. John Gottman sebagai salah satu prediktor perceraian terhebat dalam hubungan pernikahan. Kebiasaan ini seringkali muncul apabila pasangan merasa lebih superior secara moral dan memiliki pandangan negatif yang mendalam terhadap pasangannya. Oleh sebab itu, hinaan tidak hanya bertujuan menyerang tetapi juga merendahkan pasangan.

  3. Sikap defensif
    Kebiasaan defensif ini biasa muncul sebagai respon dari keluhan atau kritikan dari pasangan. Sikap defensif yang tidak baik dalam pandangan Gottman adalah ketika Anda memberikan pembelaan diri dengan mencari-cari alasan dan cenderung memutarbalikan tuduhan kepada pasangan. Contohnya, pasangan yang menyampaikan keluhan karena pasangannya datang terlambat pada janji kencan, lalu pasangannya bersikap defensif dengan berkata “Tapikan aku tidak sempat, jam kerja ku padat. Lagian mengapa kamu mengajak kencan di hari kerja sih?”

    Wajar saja apabila Anda merasa tertekan dan ingin untuk membela diri apabila pasangan menuduh Anda terkait hal yang tidak benar. Akan tetapi, berusaha untuk mencari alasan dan mencari-cari kesalahan pasangan untuk membela diri akan memblokir komunikasi dan pemecahan masalah yang sehat. Seharusnya, couples dapat berkomunikasi tanpa banyak menyerang satu sama lain dan bersikap jujur terhadap keadaan yang ada.

  4. Menutup diri (Stonewalling)
    Dalam konflik, individu bisa mengalihkan diri dari masalah dengan menutup diri dari pasangan. Menutup diri biasanya ditunjukkan dengan perilaku mengabaikan pasangan, tidak mau berbicara, tidak mau berinteraksi dengan pasangan dalam kurun waktu tertentu, berusaha untuk menyibukan diri, mendistraksi diri dengan minum, bermain, dan lainnya. Individu seringkali menutup diri untuk mencegah emosi yang meledak-ledak dari konflik dengan pasangan. Kebiasaan menutup diri yang berlebih dapat menciptakan masalah atau kesalahpahaman dalam hubungan. Pria lebih umum untuk melakukan stonewalling dibandingkan wanita, terutama ketika mereka merasa kewalahan dalam menghadapi masalah yang ada. Untuk mencegah stonewalling, Anda dan pasangan perlu berkomunikasi dengan baik. 

    Dibandingkan mengabaikan pasangan, akan lebih baik bila Anda mengatakan “Aku merasa terlalu marah saat ini. Bisakah kita berhenti sebentar dan melanjutkan percakapan ketika aku merasa lebih baik nanti?” Dengan begitu, pasangan Anda akan mendapatkan kepastian dan keyakinan bahwa masalah akan tetap diselesaikan secara bersama nanti.

Dalam menghadapi masalah, pasangan harus bertindak hati-hati dan saling bekerja sama untuk menuntaskan masalah yang ada. Couples perlu mengingat bahwa masalah dan hari yang buruk dapat terjadi kapan saja. Meski begitu, membangun  kebiasaan yang positif, saling membangun dan saling mengapresiasi satu sama lain akan membantu Anda serta pasangan Anda dalam menghadapi hari-hari buruk tersebut. FOFI mendukung pasangan di Indonesia dengan berbagai program edukasi dan konseling agar pasangan di Indonesia mendapatkan arahan dan bantuan untuk berpasangan sehat dan saling membangun satu sama lain.

 

“Remember, we all stumble, every one of us. That’s why it’s a comfort to go hand in hand.” —Emily Kimbrough

 

Referensi : 

Gottman, J. M., & Silver, N. (1999). The Seven Principles for Making Marriage Work. http://ci.nii.ac.jp/ncid/BB05926466

Uncategorized

Memahami dan Mengelola Tantrum Balita: Tips Efektif untuk Para Orang Tua

Parents, tentu tidak asing dengan situasi anak yang mengamuk dan sulit untuk ditenangkan. Episode yang sering ditemui, seperti anak yang menangis keras karena tidak dibelikan mainan atau mengamuk karena tidak menyukai suatu hal. Ledakan emosi si kecil yang tidak terkendali dan seringkali membuat para orang tua kesulitan ini disebut tantrum.

 

Apasih Tantrum Itu?

Tantrum atau temper tantrum adalah episode singkat perilaku ekstrem, tidak menyenangkan, dan terkadang agresif sebagai respons terhadap rasa frustrasi atau kemarahan (Daniels et al., 2012). Tantrum sebagai bentuk ekspresi emosional anak sering dijumpai dalam perilaku menangis, membentak, menjerit, memukul, melempar barang, menendang, dan berguling di tanah. Tantrum sering ditemui pada anak usia 1–4 tahun karena pada usia tersebut, anak belum mampu mengungkapkan keinginan atau perasaan mereka secara verbal.

 

Kenapa ya Anak Bisa Tantrum?

Parents, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi anak mengalami tantrum. Hal ini bisa terjadi karena anak merasa lelah, lapar, atau sakit. Rasa frustasi anak berkaitan dengan kemampuan mengatasi masalah yang terbatas dari anak yang mengakibatkan perilaku tantrum. Alasan lainnya, saat anak mencari perhatian dari orang tua untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindari melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh anak.

Beberapa orang tua bisa jadi merasa cemas atau takut saat berada di tengah ledakan emosi anak yang sedang tantrum, tapi temper tantrum itu sendiri merupakan bagian normal dari perkembangan karena anak-anak belajar untuk mengendalikan emosi mereka dan mendapatkan kemandirian. Tantrum dapat terjadi sekali sehari dengan rata-rata durasi tiga menit pada anak berusia 18 hingga 60 bulan. Durasi tantrum yang paling umum adalah 0,5 hingga 1 menit (Potegal et al., 2003).

Meskipun umum terjadi, parents berperan untuk mengatasi tantrum pada anak dengan baik. Hal ini karena tantrum yang tidak diatasi dengan baik dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional anak di masa depan, termasuk gangguan dalam mengontrol emosi dan kesulitan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Maka, parents memiliki tugas untuk membantu anak belajar keterampilan mengidentifikasi perasaan mereka, memberikan nama pada emosi, mengomunikasikan perasaan, dan menerapkan perilaku positif untuk mengelola emosi negatif, secara bertahap frekuensi tantrum tersebut akan berkurang (Daniels et al., 2012).

 

Apa yang Bisa dilakukan Parents Terkait Episode Tantrum?

Ketika menghadapi episode tantrum, parents memiliki strategi dalam mencegah dan merespon anak yang sedang tantrum. 

  1. Upaya dalam mencegah tantrum, yaitu:
  • Memahami pemicu/penyebab tantrum tersebut. 
  • Berupaya untuk mengalihkan perhatian dan menjaga anak dari penyebab tantrum. Contohnya anak yang menangis karena tidak dibelikan mainan, orang tua dapat menyiasati untuk tidak mengajak anak ke area toko mainan. 
  • Mengajari anak mengekspresikan emosi secara verbal ketimbang melalui perilaku tantrum. Pengenalan emosi dapat dimulai dengan menanyakan bagaimana perasaan anak, apakah senang, sedih, atau lelah. Semakin anak bertambah usia, mereka akan lebih mampu untuk mengomunikasikan perasaan dan keinginannya.
  1. Saat anak sedang tantrum yang dapat dilakukan,yaitu:
  • Tetap tenang dan berusaha mengalihkan perhatian anak. 
  • Jangan memberikan hukuman fisik karena dapat menyebabkan perilaku tantrum bertambah parah atau lama. Hukuman fisik juga mengajarkan anak bahwa memukul diperbolehkan ketika marah atau frustrasi (Daniels et al., 2012). 
  • Mengabaikan perilaku sampai anak tenang. Strategi ini dapat digunakan pada anak yang tantrum untuk mendapatkan perhatian. Namun, bila anak melakukan kekerasan fisik, orang tua dapat menahan anak sampai perilaku tantrum berhenti dan tidak berbicara kepada anak sebelum ia tenang.

Merawat anak-anak bisa sangat menantang di segala bidang, ini merupakan perjalanan yang membutuhkan banyak kesabaran dan kesengajaan bagi orang tua. Saat parents belajar merawat mereka, jangan lupa untuk juga menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati kepada diri kita sendiri dan memberikan kesempatan untuk kita tumbuh melalui kesalahan.

 

“This behavior will pass, they are just trying to communicate their wants.” -Wan Xin Ng

 

Apabila parents mengalami kesulitan dalam menghadapi anak yang sering tantrum dan meredakan emosi si kecil, Focus on the Family Indonesia siap membantu parents melewati episode tantrum anak. FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. Anda dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau melalui WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi

Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x

Ng, W. X. (2024). How to manage toddler tantrums effectively. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/articles/how-to-manage-toddler-tantrums/?recommId=76bc0858-a8a0-4a4e-a418-d2a8b712151a

Potegal, M., Kosorok, M. R., & Davidson, R. J. (2003). Temper Tantrums in Young children: 2. Tantrum Duration and Temporal organization. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 24(3), 148–154. https://doi.org/10.1097/00004703-200306000-00003

Parenting

Pentingnya Diskusi Tentang Seks Dengan Anak

Parents, pernahkah Anda berbicara dengan anak Anda terkait seksualitas? Melihat betapa sensitifnya topik tersebut mungkin membuat Anda berpikir dua kali untuk berbicara mengenai seksualitas dengan anak. Sebuah kalimat yang mungkin melintasi pikiran Anda adalah “Mereka akan tahu saat mereka dewasa atau pada saatnya”.

Beberapa parents cenderung menghindari topik ‘seksualitas’ ketika berbicara dengan anak mereka karena dianggap ‘tabu’ atau ‘belum saatnya’. Parents juga terkadang merasa sulit dan canggung untuk membawakan diskusi tersebut meskipun mereka tahu bahwa diskusi terkait topik tersebut penting untuk dilakukan. Tapi, perlu Anda ketahui bahwa diskusi dan edukasi terkait seksualitas dengan anak justru harus dimulai sejak usia dini. Sebuah studi menunjukan bahwa anak-anak yang sering berdiskusi terkait edukasi seks dengan orang tua mereka cenderung menunda melakukan seks dan menggunakan proteksi ketika melakukan aktivitas seksual (Markham et al., 2010). Selain itu, anak-anak yang berdiskusi tentang seks dengan orang tua juga lebih cenderung untuk menerapkan value yang orang tua mereka miliki dalam membuat keputusan terkait aktivitas seksual dan hubungan.

Dengan posisi yang unik, parents dianggap oleh banyak peneliti sebagai salah satu peran terpenting dalam memberikan pendidikan berkelanjutan mengenai seks dan memberikan informasi yang dapat diandalkan (Eyres et al, 2022; Singh, 2020). Diskusi tentang seks tidak hanya berfokus pada aktivitas seksual tetapi juga terkait dengan organ reproduksi, pencegahan masalah kesehatan, batasan diri,  personal value, hubungan yang sehat, dan kepuasan seksual. Edukasi dini dari orang tua yang tepat terkait seks dengan anak bisa memberikan pemahaman tentang batasan yang sehat, sentuhan yang tidak wajar, pemberian ‘izin’, dan batasan dengan lawan jenis atau sesama jenis. Oleh sebab itu, keterlibatan orang tua dalam memberikan edukasi seks dapat membantu anak mengenali berbagai kekerasan seksual sekaligus melindungi mereka (Nur et al., 2020).

 

Panduan dari FOFI untuk diskusi orang tua dan anak terkait seks

Dalam berdiskusi tentang seks, parents perlu memahami pendekatan yang tepat dan topik yang sesuai dengan usia anak. Parents dapat berbicara dengan santai dan memberikan edukasi sejujurnya, tanpa menutupi atau mengganti nama ilmiah dengan kata samaran. Sebuah cara yang dapat dilakukan adalah ketika melihat sebuah iklan/tayangan berhubungan dengan seks tanpa disengaja, parents dapat menjadikan sarana untuk melakukan diskusi sembari menanamkan nilai-nilai kepada anak. Parents diharapkan untuk tidak menghakimi, tidak bereaksi berlebihan dan tidak menekan ketika anak berbicara  batau bertanya seputar topik seks. Kualitas diskusi juga harus diisi dengan edukasi kesehatan, edukasi berhubungan yang sehat, dan menyampaikan values atau nilai-nilai penting kepada anak agar lebih holistik. Dengan begitu, keingintahuan anak dapat dipenuhi oleh informasi yang tepat dari orang tua dan penemuan ilmiah ketimbang dari platform yang kurang kredibel seperti video seks bebas dan lainnya. Dalam hal ini, maka penting bagi orang tua untuk memperdalam pengetahuan terkait kesehatan, ilmu organ reproduksi, seksualitas, batasan dan aktivitas seksual.

Sejak usia muda, orang tua dapat memulai diskusi dan edukasi dengan membahas mengenai organ reproduksi, batasan sentuhan yang tidak wajar, dan batasan dengan teman sesama jenis maupun lawan jenis. Beranjak ke usia remaja, parents dapat mulai membahas tentang topik pacaran, hubungan, pubertas, dan aktivitas seksual. Penting juga untuk parents bisa menerapkan nilai-nilai sehat kepada anak tentang hubungan pernikahan dan pentingnya menjaga kehormatan diri. 

Berdiskusi tentang seks dengan anak memang merupakan sebuah hal yang menantang untuk dilakukan. Akan tetapi, dengan pendekatan, kualitas, dan tujuan yang baik, diskusi tersebut dapat bermanfaat untuk melindungi anak hingga usia dewasa. Diskusi ini juga penting untuk dilakukan secara berkala seiring dengan perkembangan usia dan dunia sosial anak. 

FOFI mendukung diskusi sehat tentang seks antara orang tua dan anak di Indonesia melalui program ‘Let’s Talk About Sex’. Program ‘Let’s Talk About Sex’ dapat menciptakan ruang aman bagi parents untuk berdiskusi dan memberikan edukasi seks antara Anda dan dengan anak (usia 9-13 tahun) menggunakan pendekatan berdasarkan arahan dari profesional. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi 

Eyres, R. M., Hunter, W. C., Happel-Parkins, A., Williamson, R. L., & Casey, L. B. (2022). Important Conversations: Exploring Parental Experiences in Providing Sexuality Education for Their Children with Intellectual Disabilities. American Journal of Sexuality Education, 17(4), 490–509. https://doi.org/10.1080/15546128.2022.2082617

Markham, C. M., Lormand, D., Gloppen, K. M., Peskin, M. F., Flores, B., Low, B., & House, L. D. (2010). Connectedness as a predictor of sexual and reproductive health outcomes for youth. Journal of Adolescent Health, 46(3), S23–S41. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2009.11.214

Nur, A., Fideyah, B., Siti, M., Zain, N., Hazariah, S., Hamid, A., Azira, N., Binti, F., & Muda, S. (2020). The role of parents in providing sexuality education to their children. Makara Journal of Health Research. https://doi.org/10.7454/msk.v24i3.1235

Singh, R. (2020). Comparative analysis of sex education taught to children by parents in India and U.S. Social Science Research Network. https://doi.org/10.2139/ssrn.3634379

Uncategorized

Ayo Raih Goal Dengan Metode SMART!

Champs pernahkah kamu membuat rangkaian goals namun rasanya seringkali banyak goals yang akhirnya tidak berhasil dikerjakan? Atau pernahkah kamu ingin mengembangkan diri di suatu bidang namun berujung hanya mencatatnya dan melupakannya setelah 3-5 hari? Hal ini bisa saja menandakan bahwa kamu perlu mengubah goal planning-mu.

Yuk kita coba membuat goal yang lebih mudah tercapai dengan metode S.M.A.R.T.

S.M.A.R.T merupakan sebuah metode perencanaan dan manajemen goal yang dibentuk oleh George T. Doran  pada tahun 1981. Metode ini sebenarnya dibentuk untuk diaplikasikan para manajer kantoran untuk merencanakan goal dari perusahaan mereka, akan tetapi, kamu juga bisa menggunakannya untuk meraih goal sehari-hari loh Champs!

 

S.M.A.R.T terdiri dari:

S – Specific (spesifik)

Champs harus spesifik dalam menentukan goal! Selama ini mungkin kita hanya menulis goal seperti ‘Belajar Bahasa Inggris!’. Goal demikian masih kurang spesifik dan malah dapat menyebabkan kebingungan ketika kita ingin meraihnya. Sebaiknya, Champs bisa lebih spesifik dalam mendeskripsikan goal.

Sebagai contoh, Champs ingin belajar Bahasa Inggris, maka tetapkanlah satu komponen penting dalam goal atau bahasa yang ingin dipelajari terlebih dahulu. Misalnya, kemampuan berbahasa dapat diraih dengan seberapa pandai kamu berbicara bahasa tersebut dengan fasih, maka Champs bisa menetapkan ‘Belajar berbicara Bahasa Inggris tanpa kesalahan’ untuk goal yang lebih spesifik.

Seiring kita mengikuti penjelasan dari metode S.M.A.R.T, maka goal ini akan menjadi semakin spesifik.

 

M – Measurable (Dapat terukur)

Agar Champs tidak kehilangan arah ketika meraih goal, goal yang kamu tentukan harus dapat diukur. Buatlah sebuah kondisi atau ukuran yang menentukan keberhasilanmu dalam meraih goal tersebut. Misalnya, Champs ingin bisa berbicara Bahasa Inggris, maka kondisi yang menentukan keberhasilan goal tersebut adalah ketika Champs berhasil berbicara Bahasa Inggris dengan orang sekitar tanpa kesalahan selama 1 hari penuh.

Bila kamu masih bingung cara menentukan goal yang measurable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Bagaimana cara aku tahu bahwa aku sudah mencapai goal tersebut?

 

A – Achievable (Dapat diraih)

Selain spesifik dan dapat diukur, goal kamu juga harus dapat diraih. Terkadang kita menentukan goal yang dapat terukur tetapi susah diraih. Hal ini dikarenakan kita menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri kita sendiri tanpa menimbang kapasitas kita. Menentukan goal yang dapat diraih sangatlah penting agar kita dapat terus berusaha untuk mencapai goal tersebut. Dalam menentukan goal, pertimbangkanlah kapasitas dan sumber yang kamu miliki untuk mencapai goal tersebut. Misalnya, dibandingkan menulis goal ‘Menjadi kaya’, kamu bisa menentukan goal ‘Memiliki tabungan sebesar Rp 500.000 di akhir bulan’  yang akan membantu kamu untuk mewujudkan ‘kekayaan’ tersebut. Contoh lainnya, dibandingkan menulis goal ‘Mendapatkan 100 pada ulangan fisika’, kamu bisa menulis ‘Menguasai materi gravitasi fisika dengan kesalahan kurang dari 5 nomor pada setiap PR fisika’. Goal tersebut lebih tidak menekan kamu untuk mencapai kesempurnaan, tetapi tetap mendorong kamu untuk mencapai suatu standar yang lebih baik untuk dirimu sendiri.

Bila kamu masih bingung apakah goal yang kamu miliki bersifat achievable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Apakah goal ini realistis? Apakah aku bisa meraih goal ini?”

 

R – Relevant (Relevan)

Setiap goal yang kamu tetapkan harus berlandaskan suatu tujuan. Tanpa tujuan yang matang, kamu bisa saja keluar track dan berujung tidak mencapai goal tersebut. Coba tanyakan beberapa hal ini kepada dirimu sendiri ketika kamu sudah memiliki sebuah goal dalam pikiranmu: 

  • Kenapa aku menginginkan goal ini? 
  • Apakah dengan meraih goal ini akan ada dampak positif untukku? 
  • Apakah goal ini akan merugikan diriku atau orang lain? 

Apakah aku bisa meraih goal tersebut dengan kondisiku saat ini?

 

T – Time-bound (Memiliki batasan waktu)

Tentukan target waktu atau deadline untuk goal-mu. Dengan menetapkan target waktu, Champs akan lebih terfokus dan memiliki prioritas untuk meraih goal yang kalian ciptakan. Contohnya adalah sebagai berikut:

Apabila Champs ingin menjadikan sebuah goal sebagai rutinitas, ada baiknya Champs tetap memberikan deadline untuk goal tersebut. Setelah goal tersebut sudah diraih sesuai deadline, Champs bisa menentukan goal serupa dengan frekuensi dan target waktu yang baru. Hal ini akan memperbolehkan Champs untuk mengevaluasi, “Apakah aku bisa melakukan lebih dari ini?” atau “Apakah mengerjakan goal ini masih terlalu sulit untuk durasi waktu yang telah kutetapkan?”. Dengan begitu, Champs bisa menyusun rencana yang lebih baik untuk goal berikutnya.

 

Contoh sebuah goal yang S.M.A.R.T

Membangun skill menari dengan latihan tari selama 45 menit di setiap hari senin, rabu, dan sabtu pada setiap minggu hingga tanggal 1 Juli 2024.

FOFI sangat mendukung remaja-remaja muda yang memiliki keinginan untuk berkembang dalam hidup mereka. Selalu berikan yang terbaik dalam menuntaskan segala hal, Champs! Jangan lupa untuk tetap menjaga diri dan bersikap baik terhadap diri sendiri ketika melewati tantangan-tantangan.

“Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati.” -Iwan Setyawan

YouthParenting

Bagaimana Media Berinteraksi Dengan Perkembangan Interpersonal Anak?

Memenuhi tanggung jawab sebagai parents dengan anak-anak yang tumbuh di era digital memang cukup menantang. Parents mungkin telah melihat trend tentang penggunaan dunia digital yang kerap membahayakan anak-anak remaja, mulai dari paparan terhadap pornografi, informasi hoaks, serta dampak buruk lainnya dari dunia digital. Mengetahui hal-hal tersebut, wajar saja apabila parents mulai memperhatikan dan membatasi penggunaan media digital bagi anak-anak Anda. Beberapa parents mungkin membatasi penggunaan media digital tersebut dengan ketat demi menghindari bahaya-bahaya dari dunia digital, sehingga tidak jarang juga bahwa batasan-batasan tersebut dapat menjadi sumber argumen antara anak dan parents. Mungkin Anda pernah mendengar anak-anak remaja mengatakan bahwa batasan-batasan tersebut terkesan ‘terlalu mengekang’ bagi mereka.

Penggunaan media digital ini tentunya tidak bisa secara bias dikelompokkan dalam kotak ‘pengaruh buruk’ saja bagi anak Anda. Nyatanya, penggunaan media digital ini juga sangat berperan dalam perkembangan interpersonal anak Anda. Untuk memberikan batasan-batasan yang tepat dalam penggunaan media digital untuk anak, ada baiknya kita memahami bagaimana media digital ini berpengaruh pada perkembangan interpersonal anak Anda.

Pertama-tama, parents perlu memahami bagaimana proses perkembangan interpersonal remaja.

 

Proses Perkembangan Interpersonal Remaja

Teman sebaya merupakan salah satu lingkungan yang penting bagi anak Anda, terutama sejak mereka menginjak usia remaja awal. Pada usia remaja awal, anak Anda mungkin akan melakukan fitting in atau konformitas ke dalam kelompok pertemanan mereka, baik secara terpaksa maupun secara sukarela. Hal ini cukup wajar, pada usia tersebut, anak remaja awal memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas atau kelompok sosial. Mereka memerlukan teman sebaya mereka untuk menerima, mengerti, dan memiliki mereka.

Baca Apakah aku mencoba fitting in ke dalam grup pertemananku?” untuk mengetahui lebih lanjut   

Meski begitu, perubahan akan terjadi ketika anak Anda memasuki usia remaja pertengahan (sekitar 14 tahun). Di usia tersebut, remaja biasanya tidak akan terlalu kaku untuk fitting in atau menyesuaikan diri ke dalam kelompok pertemanan. Sebaliknya, pada masa ini, remaja akan mulai bertindak mengikuti nilai-nilai yang mereka miliki. Pada masa inilah, nilai-nilai yang diterapkan oleh keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan pertemanan mereka menjadi cukup penting. Mereka akan mulai menegaskan pilihan pribadi dan nilai yang mereka miliki dalam berinteraksi dengan dunia sosial mereka. Proses ini dapat terwujud dengan perlahan ketika remaja bisa menyeimbangkan rasa kemandirian (agency) dan kebutuhan kebersamaan (communion) mereka (Lichtwarck-Aschoff et al., 2008). Dua kebutuhan tersebut merupakan faktor utama dalam pengembangan interpersonal remaja hingga usia dewasa. Sementara itu, pengembangan interpersonal adalah fondasi utama dari pengembangan identitas remaja. Mari kita pahami lebih lanjut bagaimana media digital berinteraksi dengan kedua faktor interpersonal ini. 

 

Bagaimana media digital bisa mendukung tumbuhnya Rasa Kebutuhan Kebersamaan (Communion Needs)

Dalam perkembangannya, remaja memiliki kebutuhan kebersamaan (communion needs) dengan kelompok sosialnya. Beberapa kebutuhan kebersamaan dari pandangan remaja antara lain adalah rangkaian kebutuhan untuk:

  • Memiliki ikatan emosional dengan teman atau pasangan 
  • Merasa diperhatikan oleh teman dan untuk memperhatikan teman 
  • Menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial atau komunitas

Idealnya, kebutuhan kebersamaan akan terpenuhi apabila remaja bisa menggapai ketiga hal tersebut. Kebutuhan kebersamaan yang tidak terpenuhi telah ditemukan berhubungan dengan kondisi kesehatan emosional dan mental remaja yang buruk (Granic et al., 2020).Dunia digital dapat menjadi tempat bagi remaja untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan tersebut. 

Sosial media misalnya, memiliki banyak fitur yang memperbolehkan individu untuk mengekspresikan diri dan berkoneksi dengan teman-teman mereka tanpa batasan waktu dan tempat. Berbagi pikiran, perasaan, menemukan teman baru, dan tetap terhubung dengan kawan sebaya mereka melalui sosial media menjadi cara-cara bagi remaja untuk dapat meningkatkan perasaan kebersamaan mereka. Sehingga, tidak dapat dipungkiri bahwa sosial media cukup berperan dalam membangun kebutuhan interpersonal remaja.

Kebutuhan kebersamaan remaja juga dapat terpenuhi dengan social games, di mana pemain bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan pemain lain untuk menuntaskan misi bersama. Banyak social games yang didesain spesifik sehingga pemain terdorong untuk bekerja sama, menolong, dan bahkan mendukung satu sama lain dalam menuntaskan  misi. Mereka bisa merayakan keberhasilan bersama dan bahkan mendukung satu sama lain meski menghadapi kegagalan. Dari hal tersebut, sangat mungkin bagi remaja untuk hubungan emosional dengan teman main mereka. Interaksi-interaksi tersebutlah yang dapat memenuhi kebutuhan kebersamaan remaja.

 

Bagaimana media digital bisa mendukung tumbuhnya Rasa Kemandirian (Agency Needs)

Rasa kemandirian adalah kebutuhan remaja untuk menegaskan diri sendiri pada lingkungannya dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan serta nilai pribadi (Locke, 2015). Pada usia pertengahan remaja, anak Anda akan mulai memasuki masa di mereka bisa memprioritaskan kebutuhan mereka sendiri dan mulai bertindak sesuai dengan nilai serta minat mereka.  Rasa kemandirian remaja yang kuat akan sangat membantu dalam memberikan harapan dan motivasi ketika remaja mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupannya (Ryan & Deci, 2000). 

Rasa kemandirian ini dapat dibentuk dari berbagai pengalaman, termasuk pengalaman pribadi dengan media digital. Menurut penelitian Granic dan kawan-kawan (2014), media seperti game digital dapat membantu remaja dengan melatih ketekunan remaja dalam menghadapi tantangan atau kegagalan dalam menyelesaikan misi game. Mekanisme game yang mendorong pemain untuk terus mencoba kembali meski gagal membantu remaja dalam membangun resiliensi ketika menghadapi masalah. Selain itu, misi game juga ditemukan membantu remaja untuk memiliki growth mindset, sebuah pemikiran bahwa semua hal dapat diubah dan diperbaiki, termasuk kegagalan (Granic et al., 2014). Semua hal ini membangun rasa kemandirian pada remaja. 

Sementara itu, dari sosial media, rasa kemandirian ini dapat dibentuk melalui fitur-fitur untuk mengunggah ‘story’ atau postingan bagi remaja untuk menunjukkan keberadaan atau identitas mereka. Mereka didukung untuk beropini dan memberi sikap terhadap berbagai konten yang muncul.

Meskipun media digital dapat membantu remaja dalam mengembangkan identitas interpersonal mereka, setiap interaksi dan lingkungan sosial yang dialami oleh remaja dapat berbeda-beda. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam media digital ada pula hal-hal negatif yang dapat dikonsumsi oleh anak Anda, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja. Oleh sebab itu, penting bagi parents untuk menerapkan batasan dan nilai yang tepat agar remaja dapat memanfaatkan media digital tersebut dengan bijak.

 

Referensi

  • Granic, I., Morita, H., & Scholten, H. (2020). Beyond Screen Time: Identity Development in the Digital Age. Psychological Inquiry, 31(3), 195–223. https://doi.org/10.1080/1047840x.2020.1820214
  • Granic, I., Lobel, A., & Engels, R. C. M. E. (2014). The benefits of playing video games. The American Psychologist, 69(1), 66–78. https://doi.org/10.1037/a0034857
  • Lichtwarck-Aschoff, A., Van Geert, P., Bosma, H., & Kunnen, S. (2008). Time and identity: A framework for research and theory formation. Developmental Review, 28(3), 370–400. https://doi.org/10.1016/j.dr.2008.04.001
MarriageYouth

Apa Itu Co-dependency Dalam Hubungan?

Couples, tahukah kalian akan istilah co-dependency dalam hubungan? Co-dependency dalam hubungan menurut Span dan Fischer (1990) adalah sebuah kondisi psikososial yang terwujudkan melalui sebuah pola disfungsional pada individu dalam berelasi dengan sesama. Pola disfungsional ini bisa berupa fokus berlebih ke individu lain dibandingkan diri sendiri, kurangnya mengekspresikan perasaan, dan adanya upaya untuk memperoleh sebuah tujuan dalam hubungan. Awalnya, co-dependency dalam hubungan ini diteliti pada individu yang pasangannya memiliki adiksi alkohol. Akan tetapi, banyak penelitian yang membuktikan bahwa co-dependency juga terjadi pada pasangan-pasangan secara general. 

 

Seperti namanya, co-dependency dalam hubungan juga dapat diartikan seperti sebuah ketergantungan dalam hubungan. Dalam bukunya, Beattie (1989) melihat bahwa individu yang co-dependent cenderung membiarkan perilaku pasangan untuk mempengaruhi diri mereka sendiri baik secara emosi, perilaku, dan pikiran. Di sisi lain, individu yang memiliki co-dependency juga bisa terobsesi untuk bisa mengontrol perilaku pasangannya. 

 

Ada beberapa karakteristik yang dapat ditunjukkan oleh individu dengan co-dependency. Beberapa karakteristik tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 

  • Menggantungkan diri pada validasi atau perilaku pasangan secara berlebih hingga bisa menjadikan validasi atau perilaku pasangan sebagai makna atau tujuan diri. Sebagai contoh, individu merasa memerlukan afeksi atau pujian dari pasangan agar bisa merasa bahwa dirinya memang baik.
  • Kurang dalam menghargai diri sendiri sehingga rela untuk mengorbankan diri demi mempertahankan hubungan dengan pasangan.
  • Mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas kesalahan atau perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh pasangan, dan mencoba untuk memperbaiki sendiri masalah yang diciptakan oleh pasangan. Sebagai contoh, individu memiliki kebiasaan untuk selalu meminta maaf meskipun tidak melakukan kesalahan.
  • Berkompromi terhadap perilaku pasangan dengan melepaskan kebutuhan diri atau tidak mengekspresikan perasaan Anda meskipun sebenarnya perilaku pasangan tersebut menyakiti atau mengganggu.
  • Tidak memiliki batasan yang jelas antara diri sendiri dengan pasangan. Contohnya, membiarkan pasangan mengatur kehidupan atau aktivitas sehari-hari meskipun aturan yang diberikan sangat membatasi.
  • Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dan mengakui perasaan sendiri sementara selalu mencoba untuk memenuhi kebutuhan pasangan.
  • Obsesi yang berlebih terhadap kehidupan pasangan. 
  • Kurangnya kepercayaan terhadap pasangan sehingga ada kebutuhan untuk bisa mengontrol atau mengatur hidup pasangan. Contohnya, memaksa pasangan untuk tidak berbicara atau bergaul dengan lawan jenis.

Co-dependency banyak ditemukan berhubungan dengan beragam masalah dalam hubungan. Individu dengan co-dependency cenderung melihat bahwa hubungan yang dimiliki dengan pasangan memiliki banyak masalah (Happ et al., 2022). Apa yang dilihat sebagai situasi normal oleh orang lain bisa nampak sebagai situasi bermasalah pada individu dengan co-dependency. Sehingga hal ini bisa membuka ruang untuk argumen terus menerus dengan pasangan. Tidak hanya itu, individu dengan co-dependency juga bisa merasa semakin kehilangan diri sendiri dalam berupaya untuk mempertahankan hubungan dengan pasangan.  

 

Co-dependency merupakan keadaan yang perlu dihadapi dan ditangani dengan baik. Menangani co-dependency dapat dimulai dengan pertama-tama mengevaluasi diri dan menghargai diri sendiri. Selain itu, individu dengan co-dependency bisa mengevaluasi dan membentuk batasan-batasan yang dapat melindungi diri sendiri. 

 

Daring to set boundaries is about having the courage to love ourselves even when we risk disappointing others” – Brene Brown

 

Love yourself enough to set boundaries. Your time and energy are precious. You get to choose how you use it. You teach people how to treat you by deciding what you will and won’t accept” – Anna Taylor

Perlu diingat bahwa Co-dependency juga merupakan suatu hal yang kompleks, sehingga bantuan profesional akan membantu dalam menavigasi, mengidentifikasi, dan menghadapi kondisi tersebut. FOFI mendukung pasangan-pasangan di Indonesia untuk bisa mewujudkan hubungan sehat yang berlandaskan atas kepercayaan, dukungan, kasih sayang, penghargaan diri, dan batasan-batasan yang tepat. Oleh sebab itu, FOFI tersedia untuk membantu pasangan dengan layanan konseling couple dan program ‘Journey to Us’ demi hubungan yang sehat dan baik. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006 untuk mendapatkan konsultasi atau informasi lebih lanjut mengenai layanan-layanan kami.

 

Referensi 

Happ, Z., Bodó-Varga, Z., Bandi, S. A., Kiss, E. C., Nagy, L., & Csókási, K. (2022). How codependency affects dyadic coping, relationship perception and life satisfaction. Current Psychology, 42(18), 15688–15695. https://doi.org/10.1007/s12144-022-02875-9

Fischer, J. L., & Spann, L. (1991). Measuring codependency. Alcoholism Treatment Quarterly, 8(1), 87–100. https://doi.org/10.1300/j020v08n01_06

Beatfie, M. (1989). Codependent no more. Victoria: CollinsDove

MarriageParentingUncategorizedYouth

Stres Ujian? Bagaimana Cara Menghadapinya?

Champs, apakah kalian sering merasa gugup, di bawah tekanan, atau khawatir mendekati, menjelang atau setelah waktu ujian? Kalian mungkin mengalami sesuatu yang namanya exam stress atau stres ujian.

Stres adalah sesuatu yang normal untuk dialami oleh setiap individu kok champs. Mengalami ‘exam stress’ adalah pengalaman yang wajar bagi kalian yang merupakan pelajar. Exam stress bisa muncul dari ekspektasi terhadap nilai akademik, dorongan dari orang tua, guru atau teman, dan lainnya.

Adanya stres yang cukup dalam kehidupan kita, bisa mendorong kita untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi tantangan ataupun menjalankan kebutuhan hidup kita sehari-hari. Contohnya, karena kamu khawatir akan ujian yang mendatang, kamu berinisiatif untuk memperhatikan penjelasan guru ketika di kelas. Hal ini merupakan dampak positif dari stres.

Akan tetapi, stres yang berlebihan dan berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif bagi dirimu. Exam stress yang berlebihan dapat ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Namun, biasanya exam stress berlebih muncul dengan perubahan perilaku atau pemikiran seperti berikut:

  • Sering kali kekurangan energi untuk menjalankan aktivitas
  • Kesulitan untuk tidur atau kurang waktu istirahat
  • Merelakan waktu tidur, makan, istirahat atau aktivitas lainnya untuk belajar
  • Menjauhi diri dari orang lain atau mengalihkan diri dengan menggunakan waktu lebih banyak bermain ponsel atau sosial media
  • Sering merendahkan diri sendiri (berpikir bahwa diri sendiri tidak berguna, tidak kompeten, atau tidak bermakna)
  • Terlalu sering menekan diri dengan pikiran seperti “Kalau aku tidak belajar dengan baik, aku tidak akan memiliki masa depan”

Exam stress berlebih ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental Champs juga loh. Oleh sebab itu, Champs tetap harus mengelola exam stress tersebut agar tidak menumpuk dan memberikan dampak buruk pada dirimu!

Berikut adalah beberapa cara yang bisa Champs lakukan untuk mengelola exam stress dengan lebih sehat:

  1. Buatlah jadwal belajar yang sehat
    Membuat jadwal belajar yang rutin setiap hari sebelum waktu ujian memang penting, tetapi Champs juga harus memprioritaskan waktu makan, istirahat dan waktu senggang yang cukup juga. Ingatlah bahwa Champs memerlukan waktu tidur sekitar 7-8 jam dan makanan yang cukup agar tubuhmu dapat berfungsi dengan baik. Mengimbangkan waktu belajar dan waktu untuk berolahraga, melakukan hobi, atau bersenang-senang dengan keluarga, teman, bahkan hewan peliharaan juga penting loh! Hal ini dapat mendukung kamu agar bisa melepaskan stres atau tekanan yang menumpuk dengan sehat.
  2. Utarakan kekhawatiranmu
    Terkadang terlalu banyak kekhawatiran yang berkeliaran di dalam otak kita ketika akan menghadapi ujian. Champs bisa mengutarakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan berbagai cara agar meringankan beban pikiran kalian. Salah satu caranya, Champs dapat menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut kepada orang tua atau teman. Orang tua dan teman-teman kamu mungkin bisa memberikan solusi atau langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi kekhawatiran yang kamu rasakan.Cara lainnya, Champs dapat menuliskan kekhawatiran atau segala pikiran yang muncul pada buku jurnal atau diary. Dengan menuliskan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul, Champs mungkin bisa menyadari pola pikiranmu sendiri dan apa yang menjadi kekhawatiran utama saat ini. Selanjutnya, Champs bisa menentukan rencana bagaimana menghadapi kekhawatiran tersebut.
  3. Dorong diri untuk belajar dengan hal yang menyenangkan
    Dorongan untuk belajar sangat penting dalam masa ujian. Sayangnya, dorongan kita untuk belajar ketika masa ujian biasanya hanya bersumber dari rasa takut akan masa depan, nilai buruk, atau performa buruk. Sumber dorongan demikian dapat memberikan tekanan yang besar dan membuat learning experience kamu menjadi terlalu stressful. Oleh sebab itu, ada baiknya Champs mendorong diri dengan hal-hal yang Champs suka!Champs bisa menetapkan reward atau hadiah setiap kali kamu berhasil mengikuti jadwal belajar yang direncanakan. Misalnya, karena Tono suka bermain bersama ayahnya, setiap kali Tono berhasil belajar produktif selama 6 jam setiap hari selama 1 minggu, Tono akan menghadiahkan diri dengan melakukan game night bersama ayahnya di akhir pekan. Jadi, melakukan game night bersama ayah menjadi dorongan belajar yang positif bagi Tono.
  4. Sayangi diri sendiri
    Meskipun tekanan dan tanggung jawabmu sebagai pelajar memang berat, Champs harus ingat untuk selalu menyayangi diri sendiri. Belajar untuk tidak selalu mengkritik atau menekan dirimu, melainkan apresiasikanlah setiap langkah yang kamu ambil. Tetap hargai setiap progress yang kamu lakukan!

Ingatlah bahwa kesulitan dan kerja keras yang Champs lakukan saat ini adalah untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Jadi, Champs harus tetap berusaha dengan baik dalam melewati setiap masa ujian. FOFI selalu mendukung Champs untuk berkembang dan melewati seluruh rintangan yang ada, termasuk masa ujian. Apabila cara-cara berikut dirasa kurang efektif dan Champs memerlukan solusi lain untuk menghadapi exam stress, Champs bisa berdiskusi dengan orang tua untuk mendapatkan bantuan lebih. FOFI juga siap membantu Champs dengan program konseling dan program No Apologies yang dapat mengarahkan Champs dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.

Kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah hal yang fatal, yang terpenting adalah keberanian untuk melanjutkan – Winston Churchill

Referensi
Păduraru, M. E. (2019). Coping strategies for exam stress. Mental Health, 1(1), 64–66. https://doi.org/10.32437/mhgcj.v1i1.26