Family Indonesia

Uncategorized

The Importance of Father

“Apakah pentingnya peran seorang Ayah? Apakah sosok ‘ayah’ di dalam keluarga akan membuat perbedaan?” 

 

Parents, pernahkah pertanyaan serupa muncul pada benak Anda? Secara luaran, mungkin sosok ayah dianggap lebih berkontribusi dalam perkembangan anak melalui aspek finansial dan keamanan saja, akan tetapi peran ayah lebih penting dari kedua aspek itu saja. Sosok ayah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan seluruh dimensi anak. 

 

Beberapa kekuatan ayah antara lain adalah sebagai berikut: 

 

Interaksi Unik Dengan Ayah 

Banyak penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa interaksi ayah dengan anak biasanya cukup unik. Ayah biasanya berbicara dengan bahasa yang lebih lugas dan memberikan banyak pertanyaan, yang mana dapat melatih anak untuk bertumbuh secara kognitif dan mencoba mengeksplorasi dunianya dengan lebih luas. Sementara sosok ‘ibu’ biasanya memberikan perasaan nyaman dan aman, sosok ayah yang mendukung ruang eksplorasi pada anak ini bisa memberikan suasana perkembangan yang dinamis bagi anak. 

 

Bermain Dengan Ayah
Ayah sering kali memberikan dorongan dan tantangan bagi anak-anaknya ketika bermain. Dalam bermain atau berinteraksi dengan anak melalui aktivitas fisik, ditemukan bahwa ayah seringkali mempertemukan anak dengan situasi-situasi baru dan tantangan baru yang dapat membangun anak untuk terus bereksplorasi dan memecahkan masalah. Hal ini juga mendukung anak untuk melatih kepercayaan anak akan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah, mengontrol fisik dan emosi, serta melatih regulasi diri anak. Penelitian lain (Goering & Mrug, 2021; Suldo & Huebner, 2004) bahkan menunjukkan bahwa bermain dengan Ayah dapat meningkatkan kemampuan sosial anak.  Maka itu, kehadiran ayah dari kecil sangat penting untuk memberikan sekelompok skill pada perkembangan mental, kognitif, fisik, sosial dan emosional anak.

Menjadi Role Model Anak 

Penelitian Jia dan tim (2012) telah menemukan bahwa ada manfaat gaya pengasuhan ayah yang lebih otoritatif. Gaya pengasuhan yang ini seimbang dalam menunjukkan kepekaan dan kehangatan dengan disiplin dan struktur yang jelas. Dengan kata lain, ayah tidak hanya memberikan aturan dan batasan namun juga kasih sayang, kehangatan, dan kepekaan. Pengasuhan ayah yang seperti ini dapat menempatkan ayah sebagai pemimpin yang bisa memperhatikan perasaan anak namun tetap mempertahankan struktur, nilai, dan kedisiplinan yang diperlukan. Hubungan yang seperti ini dapat memberikan panutan bagi anak untuk bertanggung jawab dan memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya. Oleh sebab itu, gaya parenting ayah yang serupa cenderung tidak akan memiliki masalah emosional dan perilaku. 



Perlu diketahui bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan anak sangatlah penting bagi anak. Meski begitu, seberapa besar pengaruh Anda terhadap kehidupan anak Anda sebagai ayah, ditentukan oleh Anda sendiri. Jangan lupa bahwa kerja sama ayah dengan ibu dalam parenting juga sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Parents diharapkan bisa menunjukkan hubungan yang sehat dan partisipasi parenting yang aktif agar bisa memberikan gambaran nilai-nilai yang perlu dipegang oleh anak dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalin relasi dengan sekitarnya.

Menjadi ayah adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan” 

 

Focus Indonesia mendorong setiap ayah di Indonesia untuk bisa memegang peran yang positif bagi keluarga dan anak-anaknya dengan menyediakan program training Intentional Fathering’ dengan Mr. Lee Wee Min, Asia Regional Director of Focus on the Family untuk membantu ayah-ayah di Indonesia dalam menavigasi perannya dalam keluarga. 

 

Anda bisa mengikuti training Intentional Fathering dengan mendaftar pada link berikut 

https://bit.ly/IntentionalFathering-FOFI. Untuk pertanyaan atau arahan lebih lanjut, Anda bisa mengontak kami melalui direct message instagram @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada +6282110104006.

 

Referensi 

Ancell, K. S., Bruns, D. A., & Chitiyo, J. (2016). The importance of father involvement in early childhood programs. Young Exceptional Children, 21(1), 22–33. https://doi.org/10.1177/1096250615621355

Goering, M., & Mrug, S. (2021). Empathy as a Mediator of the Relationship between Authoritative Parenting and Delinquent Behavior in Adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 50(7), 1308–1318. https://doi.org/10.1007/s10964-021-01445-9

Hertz, S., Bernier, A., Cimon‐Paquet, C., & Regueiro, S. (2017). Parent–child relationships and child executive functioning at school entry: the importance of fathers. Early Child Development and Care, 189(5), 718–732. https://doi.org/10.1080/03004430.2017.1342078

Huerta, D. (2024). Fathers Matter: The importance of a father. Focus on the Family. https://www.focusonthefamily.com/parenting/fathers-matter-the-importance-of-a-father/

Jia, R., Kotila, L. E., & Schoppe-Sullivan, S. J. (2012). Transactional relations between father involvement and preschoolers socioemotional adjustment. Journal of Family Psychology, 26, 848-857. doi:10.1037/a0030245

Rohner, R. P., & Veneziano, R. A. (2001). The Importance of father Love: History and contemporary evidence. Review of General Psychology, 5(4), 382–405. https://doi.org/10.1037/1089-2680.5.4.382

Suldo, S. M., & Huebner, E. S. (2004). The Role of Life Satisfaction in the Relationship between Authoritative Parenting Dimensions and Adolescent Problem Behavior. Social Indicators Research, 66(1/2), 165–195. https://doi.org/10.1023/b:soci.0000007498.62080.1e

Uncategorized

Menghindari Adiksi Pornografi Pada Anak

Parents, perlu Anda ketahui bahwa hingga saat ini, paparan pornografi masih menjadi salah satu permasalahan terbesar di Indonesia (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2019). Ketersediaan teknologi yang dapat diakses dengan mudah oleh siapapun—termasuk anak kita— menjadi salah satu media penyebaran konten pornografi. Tidak perlu untuk berlangganan pada aplikasi ataupun website khusus pornografi, anak-anak Indonesia sudah bisa mengakses konten pornografi dari aplikasi sosial media secara gratis.

Banyaknya konten pornografi yang tersebar bebas ini bukan menjadi satu-satunya masalah yang harus parents pertimbangkan. Adiksi terhadap konten pornografi justru menjadi masalah yang lebih berbahaya untuk perkembangan anak Anda. Penelitian terdahulu sudah membuktikan bahwa adiksi pornografi memberikan dampak buruk bagi individu seperti mood yang rendah, potensi mengalami depresi, berkurangnya kepercayaan diri, nafsu makan, dan bahkan ikatan emosional dengan keluarga (Qadri et al., 2023).

Menurut Koob dan Volkow dalam penelitian mereka, adiksi pornografi juga sulit untuk dilepaskan lantaran konten pornografi merangsang otak untuk sekresi dopamine—sebuah hormon yang memberikan perasaan ‘enak’ dan rewarding—dalam jumlah yang terlalu banyak. Individu bisa terbiasa dengan jumlah dopamine yang biasa Ia terima dari konten pornografi, sehingga, berikutnya individu akan mencari dopamine yang lebih banyak agar bisa merasakan perasaan ‘enak’ dan rewarding lagi dengan cara menonton lebih banyak konten pornografi atau mencari bentuk konten pornografi yang lebih beragam.

Untuk mencegah adiksi pornografi, FOFI mendorong parents sekalian untuk membimbing anak Anda dalam kebiasaan digital dan penggunaan media mereka dengan cara berikut:

  • Membatasi konsumsi media dengan aktivitas kekeluargaan 

Penelitian Zattoni menunjukkan bahwa anak anda bisa saja mulai mengkonsumsi pornografi sebagai bentuk coping atau penanggulangan dari stres, perasaan kesepian, kebosanan, atau membebaskan diri dari pikiran negatif. Oleh sebab itu, parents bisa melakukan berbagai aktivitas yang bisa dinikmati bersama anak Anda untuk menghindari bahaya paparan konten pornografi. Parents bisa membuat rutinitas family time agar Anda dan anak menyediakan waktu untuk melakukan aktivitas bersama seperti olahraga bersama, family talk, family game, dan lainnya dengan perjanjian agar tidak memegang ponsel masing-masing selama kurun waktu tersebut.

  • Berkomunikasi dengan anak mengenai batasan penggunaan media

Penggunaan media harus disesuaikan dengan kebutuhan anak dan usianya. Anak-anak di bawah usia 12 tahun disarankan untuk tidak memiliki handphone pribadi dan hanya menggunakan handphone atau device milik parents apabila ada keperluan. Parents dapat membatasi anak Anda yang berusia di bawah 10 tahun dalam mengakses layar tablet, komputer, atau handphone selama maksimal 30 menit setiap hari. Sementara itu, anak-anak berusia 10-12 tahun dapat mengakses layar selama 1 jam setiap hari atau sesuai dengan keperluan mereka. Parents dapat memberikan handphone pribadi dan akses layar kepada anak Anda yang berusia 13 tahun ke atas dengan pemantauan berkala dan peraturan yang telah Anda tetapkan bersama dengan anak Anda.

Tentunya, dalam memberikan batasan ini, parents harus berkomunikasi dengan jelas kepada anak. Jangan hanya sekedar memberikan batasan/aturan tanpa alasan yang jelas.

“Aturan tanpa alasan dan hubungan, menghasilkan pemberontakan.” 

Penjelasan yang tidak berdasar seperti “Main HP itu tidak baik kalo lama-lama loh!” hanya akan membuat anak Anda bertanya-tanya. Jelaskan bagaimana menatap layar terlalu lama dapat merusak fungsi mata, komunikasikan bahwa parents menginginkan anak untuk bisa memprioritaskan tugas atau waktu bersama dengan keluarga.

“Kebenaran yang menyedihkan adalah, kita tidak akan dapat sepenuhnya melindungi anak-anak kita dari hal-hal yang tidak pantas dalam budaya saat ini, jadi kita harus mempersiapkan mereka dengan baik untuk masa depan.”
Vicky Coutney, Logged On and Tuned Out

 

FOFI mendukung parents sekalian untuk bisa membimbing anak-anak bangsa menjadi tangguh dan siap untuk masa depan mereka yang cerah. Oleh sebab itu, FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. Parents juga dapat mengikuti program parenting FOFI ‘Raising Future Ready Kids’ yang dapat membekali parents dengan skills untuk mendampingi pertumbuhan anak Anda dalam beberapa aspek kehidupan seperti literasi media, kesehatan mental, kesiapan sekolah, dan lainnya. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

Referensi 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2019). KPAI Sebut Anak Korban Kejahatan Dunia Maya Capai 679 Kasus. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-sebut-anak-korban-kejahatan-dunia-maya-capai-679-kasus

Koob, G. F., & Volkow, N. D. (2009). Neurocircuitry of addiction. Neuropsychopharmacology, 35(1), 217–238. https://doi.org/10.1038/npp.2009.110

Qadri, H. M., Waheed, A., Ali, M., Hasan, S., Abdullah, S., Munawar, T., Luqman, S., Saffi, J., Ahmad, A., & Babar, M. S. (2023). Physiological, Psychosocial and Substance Abuse Effects of Pornography Addiction: A Narrative review. Curēus. https://doi.org/10.7759/cureus.33703

Zattoni, F., Gül, M., Soligo, M., Morlacco, A., Motterle, G., Collavino, J., Barneschi, A. C., Moschini, M., & Moro, F. D. (2020). The impact of COVID-19 pandemic on pornography habits: a global analysis of Google Trends. International Journal of Impotence Research, 33(8), 824–831. https://doi.org/10.1038/s41443-020-00380-w

Youth

Apakah aku mencoba fitting in ke dalam grup pertemananku?

Champs, pernahkah kamu merasa tertekan untuk melakukan sesuatu demi grup atau lingkungan pertemanan?

Mungkin yang kamu lakukan adalah perilaku fitting in. Apa itu?
Fitting in adalah ketika sebuah individu mengubah perilaku, penampilan, kepercayaan atau bahkan nilai-nilai pribadinya untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Dalam melakukan fitting in, seringkali youths terpaksa untuk menjadi ‘orang lain’ atau menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya. 

Contohnya, Dodi memaksakan diri untuk berkata kasar karena Ia ingin bergaul bersama sekelompok temannya yang sering berkata kasar. Dodi sebenarnya tidak nyaman mengungkapkan kata-kata kasar tersebut, tapi Ia beranggapan bahwa temannya akan memandangnya aneh apabila tidak berkata kasar sama sekali, jadi Ia tetap melakukan hal tersebut. Di dalam psikologi, perilaku fitting in ini juga bisa disebut sebagai ‘compliance’.

Ada banyak alasan kenapa champs melakukan fitting in, seperti: 

  • Perasaan ingin dianggap di dalam suatu kelompok sosial atau pertemanan
  • Menghindari hukuman sosial (takut dibully atau diomongin) 
  • Sebagai bentuk penerimaan diri setelah diterima oleh kelompok sosial
  • Agar dapat dipuji atau menjadi orang yang dipandang

Permasalahan dari melakukan fitting in adalah ketika individu terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang disukai oleh kelompok pertemanannya, meskipun Ia tahu bahwa hal tersebut buruk untuk dilakukan. Hal ini tidak menghindari bahwa individu tersebut bisa merasa bersalah atas tindakan-tindakan yang Ia lakukan untuk grup pertemanannya. Kalau sudah seperti ini, individu bisa merasa tidak tenang, tertekan, atau bahkan sebenarnya tidak nyaman berada di dalam lingkungan pertemanan tersebut. 

Di sisi lain, wajar kalau kamu ingin berteman dengan orang banyak kok champs! Bagaimanapun, kita semua adalah makhluk sosial. Tapi, kamu boleh mulai bertanya kepada diri sendiri: 

  • Apakah aku diterima di grup pertemananku atau aku sering menyembunyikan jati diri ku? 
  • Apakah aku memaksakan diriku untuk melakukan sesuatu ketika aku sedang hang out dengan teman-temanku? Kenapa? 
  • Apakah tindakan yang aku lakukan untuk teman-temanku baik dan benar? 
  • Apakah aku nyaman melakukan tindakan-tindakan tersebut? 
  • Apakah tindakan-tindakan tersebut sesuai dengan nilai dan kepercayaanku? 

Kalau sebagian besar jawabanmu pada pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah ‘tidak’, maka kamu mungkin harus mempertimbangkan pergaulanmu dalam pertemanan tersebut. Mintalah bimbingan orang tua, guru, atau mentor bagaimana sebaiknya kamu bertindak agar tidak terpengaruh secara buruk di dalam pertemanan tersebut.

“Your time is limited, don’t waste it living someone else’s life.” 

—Steve Jobs

 

FOFI ingin berpesan agar champs dapat menjaga diri masing-masing dalam bergaul dengan grup pertemanan kamu. Hindari perilaku yang bisa berdampak buruk kepadamu dan selalu ingat bahwa pertemanan yang sehat adalah pertemanan yang bisa membuatmu merasakan ‘belonging’, di mana teman-temanmu bisa menerima keunikanmu dan mendukung perkembanganmu champs

Referensi

Kelman, H. C. (1958). Compliance, identification, and internalization three processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution, 2(1), 51–60. https://doi.org/10.1177/002200275800200106

Cherry, K. C. (2023). The psychology of compliance. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-compliance-2795888

Marriage

Mindset Yang Perlu Ditanam Bersama Pasangan Demi Menjaga Hubungan Sehat

Couples, pernahkah Anda dan pasangan berpikir bahwa mempertahankan hubungan adalah suatu hal yang cukup menantang? Bahkan dalam hubungan yang sehat sekalipun, perlu ada effort dan kerjasama yang cukup untuk mempertahankan hubungan tersebut.

Semakin lama berada di dalam hubungan, couples juga akan semakin mengenal satu sama lain melalui berbagai rangkaian peristiwa dan situasi. Tentunya, di dalam hubungan, tidak setiap hari para couples akan merasakan kupu-kupu dan manisnya hidup berpasangan.

Ketika masa-masa sulit datang, penting bagi couples untuk menghadapinya bersama dengan mindset yang tepat.  
 

Memahami teori mindset dari Carol Dweck (2006) bisa membantu anda untuk menjaga hubungan yang sehat bersama pasangan.

Carol Dweck menemukan bahwa ada dua tipe mindset, yaitu fixed mindset dan growth mindset. Fixed mindset adalah ketika individu memiliki kepercayaan bahwa kemampuan dirinya adalah sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah. Sementara itu, ketika individu memiliki kepercayaan bahwa kemampuan dirinya adalah sesuatu yang bisa diasah dan dikembangkan, maka individu tersebut memiliki growth mindset. Kedua mindset tersebut ditemukan dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dengan pasangan (Shashwati & Kansal, 2019).

Bagaimana bisa? Berikut merupakan penjelasan dan contoh dari partner dengan fixed mindset vs growth mindset:

  1.  Partner dengan Fixed Mindset
    Partner dengan tipe mindset ini biasanya percaya dengan kalimat serupa “..dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.” (Dweck, 2017)
    Mereka cenderung percaya bahwa situasi atau dinamika hubungan bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Oleh sebab itu, partner dengan fixed mindset biasanya akan kesulitan ketika terdapat sebuah masalah dalam hubungan. Secara natural, partner akan cenderung menghindari masalah tersebut tanpa berupaya mencari jalan keluar dari masalah. Individu dengan mindset ini juga biasanya sulit untuk menerima kekurangan atau perbedaan yang dimiliki oleh partner mereka. Ketika masalah datang, partner dengan fixed mindset juga berkemungkinan untuk menyalahkan pasangannya atau situasi. Mindset seperti itulah yang membuat mereka juga cenderung pesimis dalam menjalani hubungan romantis
  2. Partner dengan Growth Mindset
    Partner dengan growth mindset biasanya akan percaya dengan kalimat “…dan mereka bekerja bersama dengan bahagia selama-lamanya.” (Dweck, 2017)Frasa ‘bekerja bersama’ menandakan bahwa mereka akan mengupayakan tantangan dalam hubungan bersama-sama dengan pasangan mereka.
    Hal ini dikarenakan partner dengan growth mindset biasanya memiliki pandangan bahwa tidak semua orang itu ‘sempurna’, termasuk mereka dan pasangan mereka. Ketika menghadapi masalah atau situasi buruk di dalam hubungan, mereka tidak akan terfokus pada masalah saja, namun juga mencari solusi dari masalah. Dibandingkan menyalahkan pasangan atau situasi, partner dengan mindset ini akan mencoba berupaya bersama pasangan mereka untuk bertumbuh bersama sembari menghadapi masalah yang ada. Mereka percaya bahwa situasi dapat diubah dan masalah dapat dilewati bersama. Dengan kepercayaan terhadap pasangannya, partner dengan growth mindset biasanya lebih optimis dan puas dengan hubungan romantis mereka.

Wah, saya atau partner saya sepertinya memiliki fixed mindset deh…Bagaimana ini?

Tenang sahabat FOFI, mindset dapat diubah kok!
Berikut, FOFI akan berikan tips bagi para couples untuk bersama-sama menanamkan growth mindset dalam hubungan :

  1. Bersifat terbukalah terhadap perbedaan yang dimiliki oleh Anda dan pasangan
    Setiap orang tumbuh dengan latar belakang dan lingkungan yang berbeda, sehingga perbedaan dengan pasangan tentu tidak dapat dihindari. Ketika menemukan perbedaan dengan pasangan, Anda dapat mengajak pasangan anda untuk berdiskusi bersama dan memahami perbedaan masing-masing. Dengan berbagi pandangan mengenai perbedaan yang ada, Anda bisa menghindari argumen sia-sia dan membentuk pandangan yang sama dengan pasangan.
  2. Hargai effort pasanganmu
    Tunjukkan cinta Anda dengan menghargai setiap effort yang dilakukan oleh pasangan anda demi kebaikan hubungan kalian. Dengan menghargai satu sama lain, Anda dan pasangan bisa membangun perasaan aman dan puas dengan hubungan yang ada.
  3. Fokus dengan hubungan yang kalian miliki
    Setiap couples memiliki dinamika hubungan yang berbeda-beda. Ada yang bertemu setiap hari, pergi traveling setiap bulan, atau memberikan hadiah kepada pasangannya setiap hari. Kadang ketika fokus pada perbedaan ini, sangat memungkinkan bagi individu untuk memiliki rasa iri dengan pasangan atau hubungan orang lain. Couples sebaiknya bisa fokus pada hubungan yang dimiliki tanpa berupaya keras untuk mendapatkan dinamika hubungan yang dimiliki oleh pasangan lain. Apabila ada sesuatu yang perlu diubah demi keberlangsungan hubungan, akan lebih baik bila Anda bisa mendiskusikannya secara baik-baik dengan pasangan. Dengan ini, akan lebih mudah bagi couples untuk merasa bersyukur akan satu sama lain dan hubungan yang dimiliki.
  4. Terapkan pikiran bahwa perubahan situasi merupakan kesempatan untuk berkembang
    Selalu akan ada perubahan situasi di dalam hidup termasuk hidup pasangan Anda. Terkadang perubahan situasi ini mungkin menciptakan goyangan pada hubungan Anda. Dalam situasi tersebut, akan sangat baik apabila Anda bisa menghadapi goyangan dengan optimisme dan terbuka terhadap kesempatan untuk berkembang bersama. Goyangan yang ada bisa menjadi kesempatan bagi couples untuk lebih memahami pandangan, perasaan, dan value satu sama lain.
  5. Jangan mengincar ‘Perfection’ pada hubungan atau pasangan Anda
    Pasangan dengan growth mindset biasanya percaya bahwa kesempurnaan adalah sebuah mitos belaka. Setiap orang di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak ada kata ‘sempurna’ pada setiap hubungan atau pasangan. Penting bagi couples untuk bisa menerima kekurangan masing-masing. Bahkan, akan lebih baik apabila Anda dan pasangan bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Meski begitu, perlu diingat bahwa menerima kekurangan pasangan bukan berarti merendahkan diri atau meninggalkan prinsip ya!

Setiap langkah dan usaha yang dilakukan oleh Anda dan pasangan Anda berharga.

Hal terpenting adalah langkah dan usaha tersebut dilakukan bersama-sama dengan tujuan untuk memperkuat dan mempertahankan hubungan Anda.

FOFI menyediakan layanan konseling pasangan dan program Journey To Us bagi para pasangan suami/istri yang berkeinginan untuk menjaga dan meningkatkan hubungan Anda dengan orang terkasih.
Klik link berikut untuk mendapat informasi lebih lanjut: (Bisa insert kontak atau layanan chat FOFI).

Referensi

Shashwati, S., & Kansal, P. (2019). Is there a right way to love?: Mindset in romantic relationships. International Journal of Innovative Studies in Sociology and Humanities (IJISSH), 1988-2008.

Dweck, C. S. (2017). Mindset: Changing the way you think to fulfill your potential. New York, NY: The Random House.

Yong, J. (2023). Make Love Last with a Growth Mindset – Focus on the Family Singapore. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://www.family.org.sg/articles/make-love-last-with-a-growth-mindset/?recommId=e7c38f35-e5ad-43c5-99ac-2af7c952f0e9

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House Publishing Group.

Parenting

Tips Mempererat Hubungan dengan Anak Gen-Z!

Gen-Z atau generasi anak muda yang lahir di antara tahun 1997-2012 bertumbuh di era perkembangan teknologi yang berkembang dengan cepat.

Tidak seperti generasi milenial yang dahulu bertumbuh dengan mendengarkan radio atau menonton televisi, Gen-Z bertumbuh dengan mobile phone dan internet. Teknologi-teknologi ini mendukung  mereka untuk bisa terkoneksi secara global dan berkreasi aktif. Selain dengan orang tua, anak-anak Gen-Z turut bertumbuh bersama berbagai komunitas di internet. Tidak jarang bagi generasi ini mengaplikasikan berbagai budaya atau pemahaman dari komunitas online yang mereka temui. Oleh sebab itu, tidak heran apabila orang tua terkadang merasa asing dengan pemahaman, kebiasaan, atau pembicaraan anak-anak Gen-Z mereka. 

Meskipun wajar, jangan sampai perbedaan generasi menghalangi hubungan Anda dengan anak Anda.

Berikut merupakan beberapa tips untuk mempererat hubungan anda dengan anak Gen-Z anda: 

  1. Gali informasi mengenai Gen-Z
    Parents bisa mempelajari perihal-perihal yang berkaitan dengan anak Anda. Dimulai dari mengetahui aplikasi-aplikasi yang biasanya Gen-Z gunakan, kegunaan dari aplikasi tersebut, bagaimana dampak penggunaan aplikasi tersebut terhadap anak Anda, dan berbagai informasi lain terkait. Tahap ini dapat membekali Amda untuk semakin memahami lingkungan seperti apa yang anak Anda miliki.
  2. Kembangkan dan pertahankan komunikasi 
    Selalu berikan waktu khusus untuk berkomunikasi atau berinteraksi secara intens dengan anak anda. Ajak anak Anda untuk berbincang, berolahraga, beraktivitas, atau bermain bersama setiap harinya. Komunikasi dan interaksi yang konsisten dapat membawa Anda untuk semakin memahami anak Anda. Sebaliknya, anak juga dapat membangun kepercayaan dan keterbukaan dengan diri Anda.
  3. Tunjukkan ketertarikan dan dukungan Anda ke kehidupan mereka!
    Menunjukkan ketertarikan terhadap hidup atau keadaan anak Anda akan memberikan pesan bahwa Anda peduli dan ingin mendukung anak Anda. Tanyakan apa saja kegemaran atau kesibukan mereka saat ini dan bagaimana Anda bisa mendukung mereka. Tanyakan juga pandangan mereka tentang topik-topik tertentu dan bagikan juga pandangan Anda! .
  4. Jadilah teman yang menghargai privasi dan kebebasan mereka. 
    Anda bisa berteman dengan anak Anda melalui sosial media untuk mengetahui aktivitas sehari-hari mereka atau memantau keadaan mereka. Akan tetapi, tetap tunjukkan bahwa anda menghormati privasi mereka. Jangan terus mengintai akun mereka atau selalu mengomentari aktivitas mereka. Sebaliknya, dukung mereka untuk bersosialisasi secara positif di dalam lingkungan sosial mereka.

FOFI berharap agar tips-tips tersebut dapat membantu Anda dalam berkoneksi dan memberikan dukungan yang tepat untuk masa depan anak Gen-Z.

 

Youth

Apa itu Prokrastinasi dan Apa Penyebabnya?

Pernah gak sih kamu ngerasa malas ngerjain sesuatu? Misalnya ada tugas, tapi kamu selalu menunda untuk mengerjakannya dengan pemikiran masih jauh deadlinenya, masih 3 hari lagi, masih bisa dikumpul besok, atau masih bisa dikerjain malam ini. 

Kamu sering berpikir bahwa sebetulnya kamu lagi malas, makanya menunda untuk mengerjakan sesuatu. Ternyata, sikap tersebut bukan malas tapi prokrastinasi.

Terus Sebenarnya Apa Sih Prokrastinasi Itu?

Prokrastinasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasa malas untuk melakukan suatu pekerjaan dan menundanya hingga menjelang deadline. Orang yang mengalami prokrastinasi sadar kalau ini perilaku yang gak baik tapi masih aja diulang secara terus menerus. 

Penyebab Prokrastinasi

  1. Kelelahan dalam mengambil keputusan

Tuntutan mengambil keputusan secara terus-menerus dalam mengerjakan tugas/pekerjaan dapat membuat kita sampai di satu titik bahwa kita merasa lelah dan akhirnya menunda mengambil keputusan tersebut.

  1. Kesulitan dalam perencanaan dan pengurutan pekerjaan

Ketidakmampuan dalam memetakan tugas/pekerjaan, perspektif yang sempit terhadap tugas/pekerjaan dapat membuat seseorang sulit dalam membuat perencanaan dan pengurutan pekerjaan.

  1. Prokrastinasi terkait hubungan

Akibat suka menunda tugas/pekerjaan dapat menyebabkan konflik juga diantara pasangan karena merasa tidak didukung dalam menyelesaikan tugas/pekerjaan yang melibatkan tanggungjawab bersama.

  1. Prokrastinasi terkait depresi

Apabila seseorang mengalami depresi maka akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan hal-hal negatif daripada membuat dirinya menjadi seseorang yang dapat diandalkan.

  1. Prokrastinasi terkait kecemasan

Seseorang yang melakukan prokrastinasi karena emosi negatif karena suatu tugas/pekerjaan, maka kecemasan akan menjadi bagian dari emosi negatif tersebut sehingga dapat mempengaruhi dalam menyelesaikan tugas/pekerjaan.

  1. Prokrastinasi terkait kreativitas

Penundaan penyelesaian pekerjaan/tugas dapat dilakukan untuk mendapatkan inspirasi kreatif dari tugas itu sendiri. Terkadang mengambil waktu untuk beristirahat di tengah-tengah penyelesaian tugas diperlukan untuk dapat kembali mengerjakan tugas dengan pikiran yang lebih segar.

  1. Kombinasi

Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap prokrastinasi, salah satunya adalah kebiasaan suka menunda, rasa malas yang berlebihan, dan gabungan antara enam penyebab sebelumnya.

Nah, apakah kalian sering prokrastinasi? Nantikan, artikel selanjutnya tentang prokrastinasi ya! Jangan lupa baca juga :

Parenting

Tips Membangun Hubungan yang Konsisten Dengan Anak

Setiap orang tua tentu ingin memiliki hubungan harmonis yang konsisten dengan anak. Berbagai faktor yang ada turut mempengaruhi hubungan antara orangtua dengan anak. Hubungan ini dapat dibangun dengan berbagai aktivitas, interaksi dan komunikasi yang beragam.

Anak yang memiliki sedikit komunikasi dan interaksi dengan orangtua, cenderung akan mencari kebutuhan tersebut dari luar seperti teman dan pacar. Seringkali, kita lupa untuk mempertahankan hubungan yang konsisten antara orangtua dengan anak.

Nah, berikut ini 5 tips ala FOFI untuk membangun hubungan yang konsisten dengan anak.

  1. Mengatur jadwal untuk melakukan sesuatu/aktivitas bersama anak

Orangtua dapat mencari tahu aktivitas apa yang disukai anak dan bisa dilakukan bersama dan mulai mengatur jadwal untuk melakukan hal tersebut. Kegiatan bersama dapat membangun hubungan yang semakin erat antara anak dan orangtua.

 

  1. Mengajarkan anak hal/skill yang baru

Melatih skill anak dapat dimulai sejak dini. Bisa dimulai dari hal-hal kecil yang dapat dilakukan sehari-hari dalam rumah. Dengan membuat list hal-hal apa saja yang akan dilakukan akan membantu konsistensi untuk mengajar anak skill yang baru.

 

  1. Terlibat dalam pendidikan anak

Ada sebagian dari orangtua berpikir bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab guru. Tetapi sebenarnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak sangat penting dan membuat anak menyadari bahwa orangtua hadir dalam semua bagian kehidupan anak.

 

  1. Miliki waktu untuk berbicara/berdiskusi bersama anak

Berbicara dengan anak bukan hanya orangtua menyampaikan keinginannya, tetapi juga mendengarkan anak dengan segala keluh kesah bahkan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan bahkan menemukan jawaban bersama saat pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab.

 

  1. Selalu konsisten

Kunci untuk membangun hubungan yang konsisten dengan anak adalah dengan tetap konsisten melakukan hal-hal yang telah disepakati. Sebagai orangtua mari kita coba untuk melakukannya dan yakini bahwa pasti akan berhasil. 

 

Baca juga: