Family Indonesia

Kekuatan dari Menerima dan Mencintai Tubuh Kita (Body Positivity)

Kekuatan dari Menerima dan Mencintai Tubuh Kita (Body Positivity)

Champs, pernahkah merasa tidak nyaman di tengah ramainya standar kecantikan dan ekspektasi sosial yang seringkali membebani kehidupan kita saat ini? Hal ini terjadi terutama karena banyaknya postingan di media sosial yang tidak lepas dari ekspektasi tersebut. Fenomena ini seringkali dapat memengaruhi cara pandang seseorang mengenai bentuk tubuh yang ideal, termasuk para remaja yang tidak lepas dari standar kecantikan di masyarakat.

Seorang wanita, seringnya dianggap ideal jika memiliki tubuh ramping, tinggi, dan kulit yang cerah. Sebaliknya, seorang pria biasanya dianggap menarik jika dia memiliki tubuh berotot, gagah, dan tinggi. Padahal, setiap kita terlahir dengan bentuk tubuh yang berbeda dan menjadi keunikan kita masing-masing. Champs, penting untuk mengingat bahwa setiap tubuh memiliki keunikan dan nilai tersendiri yang tidak harus sama dengan semua orang. Maka dari itu, gerakan-gerakan yang menyuarakan statement “mencintai tubuh apa adanya” sedang banyak diperjuangkan melalui kampanye body positivity.

Baca juga: Apakah aku mencoba fitting in ke dalam grup pertemananku?
https://focusonthefamily.id/apakah-aku-mencoba-fitting-in-ke-dalam-grup-pertemananku/

Body positivity sendiri bertujuan untuk melawan gagasan penampilan yang dominan, memupuk penerimaan dan penghormatan terhadap semua orang terlepas dari bentuk, ukuran, dan penampilan mereka. Juga, memfokuskan diri pada penghargaan terhadap fungsi dan kesehatan tubuh daripada hanya berfokus dengan penampilan saja (Sastre, 2014). Body positivity tidak hanya membahas tentang mencintai diri sendiri, tetapi juga tentang merayakan keberagaman tubuh dan menolak norma-norma yang tidak realistis. Melalui body positivity, dapat membantu kita membangun rasa percaya diri dan kesehatan mental yang lebih baik.

Body positivity berupaya membantu seseorang mengembangkan citra tubuh yang sehat. Citra tubuh merupakan persepsi subjektif tentang tubuh diri sendiri yang mungkin berbeda dengan penampilan tubuh mereka yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan munculnya perasaan, pikiran, dan perilaku yang berdampak pada kesehatan mental dan cara mereka memperlakukan diri sendiri. Citra tubuh juga berperan dalam bagaimana orang merasa tentang penampilan mereka dan bagaimana mereka menilai nilai diri mereka. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa memiliki citra tubuh yang positif dikaitkan dengan penurunan risiko depresi, harga diri yang lebih tinggi, dan lebih sedikit perilaku diet (Gillen, 2015).

“The most beautiful thing you can wear is confidence” – Blake Lively

 

Champs, meningkatkan body positivity dapat dilakukan dengan menumbuhkan penerimaan dan kecintaan terhadap tubuh kita sendiri, disertai dengan upaya untuk menjaga dan merawat diri.

  1. Bersikap realistis, yaitu kita tidak memiliki keharusan untuk mengikuti citra tubuh “ideal” yang diusung oleh masyarakat karena kita semua berharga dan bernilai meski berbeda-beda.
  2. Menerapkan body neutrality, tidak masalah untuk mengakui bahwa kita tidak selalu menyukai segala sesuatu tentang tubuh kita. Ada saat-saat ketika kita merasa lemah, tidak menyukai bagian tertentu dari diri, dan membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita dapat terus mencoba menemukan cara baru untuk menghindari pola pikir negatif yang berkontribusi pada citra tubuh yang buruk.
  3. Mencoba self-care yang berfokus pada kesehatan tubuh, perawatan diri yang berfokus untuk melakukan hal-hal yang membuat kita merasa nyaman dengan tubuh yang dimiliki sekarang. Makan makanan sehat untuk menambah energi pada pikiran dan tubuh. Olahraga karena dapat membantu kita sehat, kuat dan berenergi, bukan karena kita mencoba mengubah atau mengontrol bentuk tubuh agar sesuai dengan standar masyarakat.
  4. Membersihkan media sosial, membersihkan akun-akun yang membuat kita merasa tidak nyaman dengan diri sendiri dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Champs dapat mengikuti akun-akun yang secara positif membahas tubuh, mencakup keberagaman jenis, bentuk, warna, dan kemampuan tubuh.

Namun, juga perlu diperhatikan oleh kita semua untuk tidak menyalahgunakan istilah body positivity sebagai ajakan untuk abai dalam merawat diri, terlebih dalam menjaga kesehatan tubuh. Perlu dipahami bahwa body positivity bertujuan untuk membantu individu dengan kondisi tertentu merasa lebih nyaman, percaya diri, dan aman dengan dirinya sendiri. Body positivity mendukung kita untuk menerapkan kebiasaan baik dan kesehatan tubuh. Kesehatan adalah konsep yang kompleks, bukan hanya mengenai berat atau ukuran tubuh. Body positivity sejalan dengan kesejahteraan holistik, termasuk kesehatan mental, emosional, dan fisik.

Champs, mari kita bersama-sama mengimplementasikan rasa penerimaan dan cinta, serta menekankan bahwa semua tubuh berhak dihormati terlepas dari bagaimana penampilan kita. Saat kita peduli dan mencintai sesuatu terlebih tubuh kita sendiri, kita akan selalu berusaha untuk menjaga dan merawatnya.

“You deserve to be loved without having to hide any part of yourself”

 

Apabila champs mengalami kebingungan dan kesulitan, Focus on the Family Indonesia siap membantu champs berproses dalam menumbuhkan penerimaan dan kecintaan diri melalui program konseling, kita bisa berdiskusi dengan tenaga profesional. Champs dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @noapologiesindonesia atau melalui WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi: 

Clinic, C. (2024, June 27). What’s the difference between body positivity and body neutrality? Cleveland Clinic. https://health.clevelandclinic.org/body-positivity-vs-body-neutrality

Cherry, K. (2024, May 13). What is body positivity? Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-body-positivity-4773402#citation-15 

Gillen, M. M. (2015). Associations between positive body image and indicators of men’s and women’s mental and physical health. Body Image, 13, 67–74. https://doi.org/10.1016/j.bodyim.2015.01.002 

Sastre, A. (2014). Towards a radical body positive. Feminist Media Studies, 14(6), 929–943. https://doi.org/10.1080/14680777.2014.883420