Champs, memasuki usia 20-an. Sebagian orang mungkin merasakan perasaan tertinggal karena menganggap orang lain yang sebaya memiliki pencapaian yang lebih baik daripada dirinya, lalu mempertanyakan keputusan, identitas, dan hubungan yang sedang dijalani. Hal tersebut dapat menjadi tanda bahwa champs sedang berada pada fase quarter life crisis.
Saat transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dikenal satu istilah yaitu quarter life crisis yang menggambarkan periode penuh tantangan bagi banyak orang. Pada periode ini, banyak dari mereka yang mempertanyakan tujuan hidup yang menyebabkan perasaan takut tertinggal, tidak berdaya, bimbang, dan khawatir. Namun, mengalami quarter life crisis adalah hal yang normal terjadi.
Apa itu quarter life crisis?
Kebingungan yang disebabkan oleh banyaknya pilihan hidup, perubahan yang terus terjadi, dan kepanikan akibat perasaan tidak berdaya dapat menyebabkan krisis dalam hidup, yang disebut dengan quarter life crisis (Robbins & Wilner, 2001). Menurut Atwood dan Scholtz (2008), quarter life crisis merupakan sebuah tahap perkembangan, dimana setiap orang seharusnya dibentuk untuk memiliki karakter yang kuat, namun apabila individu tidak berhasil melewati tahap ini dengan baik, maka ia akan mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, stres, dan frustrasi. Quarter life crisis dapat didefinisikan sebagai tahap perkembangan yang muncul ketika seseorang menghadapi perubahan akibat keluar dari zona nyaman, serta menghadapi ketidakstabilan dan banyaknya pilihan hidup, yang membuatnya merasa tidak berdaya dan takut menghadapi masa depan (Linarto et al., 2024).
Quarter life crisis terjadi dari pertengahan-akhir usia 20-an hingga awal-pertengahan usia 30-an. Berdasarkan survei LinkedIn Corporate Communications menunjukkan bahwa 75% orang dewasa berusia antara 25 dan 33 tahun mengalami krisis ini. Perlu dipahami bahwa bentuk krisis yang dialami setiap orang berbeda dari satu individu dengan individu lainnya karena perbedaan kehidupan yang dijalani. Beberapa orang mungkin mengalami kekecewaan karena karir yang tidak berjalan sesuai harapan, yang lain memiliki kekhawatiran tidak bisa menikah dan memiliki anak. Sisanya mungkin bergulat dengan kekecewaan karena hidup yang berjalan tidak sesuai harapan. Secara keseluruhan, mereka yang mengalami quarter life crisis biasanya ditandai dengan rasa tidak yakin tentang keputusan penting dan pertanyaan tentang makna hidup mereka.
Meskipun gagasan tentang quarter life crisis mungkin terasa menakutkan, menurut Gempito dan Yuwono (2022), quarter life crisis akan membawa seseorang pada perilaku tertentu yang mendorong mereka untuk mencapai resiliensi seperti menjadi lebih religius, bertanggung jawab, dan mampu mengevaluasi diri untuk mencari solusi yang lebih baik untuk masalah mereka. Jika individu menyadari apa yang terjadi padanya dan mengatasi perasaan tersebut, individu akan merasa lebih bahagia dan lebih percaya diri dengan keputusan yang diambilnya. Juga, dapat membantu individu menghadapi mid-life crisis, dua puluh tahun kemudian.
“If you believe you’re going through a crisis, then you probably are.” – Tess Brigham
Hal yang dapat menyebabkan quarter life crisis
Beberapa orang memiliki keyakinan bahwa mereka harus mencapai harapan dari masyarakat masyarakat untuk menjadi anggota masyarakat yang dihormati. Artinya, individu harus menyelesaikan studi pada jangka waktu tertentu, mendapatkan gelar lanjutan, lalu mendapatkan pekerjaan yang ideal. Mereka juga didikte untuk memilih pasangan yang tepat, membeli sebuah rumah, dan memulai sebuah keluarga. Ketika melihat teman-teman mereka mungkin lebih maju dalam karir, telah menikah, dan memiliki anak, sementara dirinya terjebak dalam pekerjaan atau hubungan yang buntu. Hal ini dapat menimbulkan perbandingan negatif yang dapat membuat individu lebih rentan terhadap quarter life crisis. Beberapa orang juga mungkin mengalami quarter life crisis saat bergumul untuk menjalani kehidupan, sesuai dengan prinsip-prinsip pribadi mereka daripada hanya mengikuti aturan di masyarakat.
Tanda-tanda quarter life crisis
Ketika champs berada pada titik mempertanyakan setiap keputusan dan muncul perasaan tidak tenang yang berdampak secara profesional dan pribadi, adalah tanda champs mungkin mengalami quarter life crisis. Beberapa tanda lainnya, yaitu:
- Tidak memiliki tujuan: Champs merasa hidup tanpa adanya tujuan, sehingga sering hadir perasaan gelisah dan memiliki keinginan untuk mengubah sesuatu dalam hidup.
- Krisis identitas: Mempertanyakan identitas diri, termasuk meragukan keyakinan, tujuan, nilai, dan perasaan terhadap diri sendiri.
- Ketidakpastian dalam karier: Ketidakyakinan dengan pilihan karier sendiri dan bertanya-tanya apakah kita telah memilih jalan yang salah, serta membuang-buang waktu untuk pendidikan dan pelatihan yang tidak sesuai untuk diri sendiri.
- Stres dalam hubungan: Champs merasa tidak yakin dengan hubungan yang dimiliki dan bertanya-tanya apakah hubungan asmara dan pertemanan tersebut akan bertahan.
- FOMO: Perasaan takut tertinggal yang kuat dan jadi sering merasa bahwa kita tidak mengalami pencapaian, prestasi, atau pengalaman, seperti yang dialami oleh rekan-rekan kita.
- Keraguan: Kesulitan membuat keputusan dan khawatir tidak dapat mempercayai intuisi diri.
- Isolasi: Perasaan terputus dari orang lain atau mungkin merasa menarik diri dari orang yang dicintai.
- Keputusasaan: Champs mungkin merasa hidup terasa kosong dan stagnan, tetapi bersamaan dengan munculnya rasa putus asa yang membuat kita kesulitan untuk menemukan motivasi untuk berubah.
How to Get Through a Quarter Life Crisis
Menghadapi krisis ini tidak harus membuat kita terjebak di dalamnya. Champs bisa belajar untuk mengelola emosi yang ada dan menavigasi masa transisi ini. Champs dapat mulai memahami pola-pola negatif yang mungkin perlu diubah dengan memperhatikan respons kita terhadap pemicunya. Namun, pada momen itu champs tidak harus untuk membuat perubahan yang drastis, sebaliknya champs bisa untuk berhenti dan menekan tombol “jeda” untuk merenungkan dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang diri.
- Lakukan Refleksi Diri
Pertimbangkan kekuatan, keterampilan, minat, kepercayaan, nilai, dan tujuan yang ada pada diri kita, dibandingkan dengan apa yang seharusnya kita miliki. Hal ini merupakan cara untuk mendapatkan kejelasan tentang apa yang paling penting dalam hidup kita. Pertama, pikirkan tentang orang, tempat, dan tindakan yang membuat kita merasa paling bahagia. Kemudian tulislah hal tersebut dan dilanjutkan dengan mengenali nilai-nilai dasar diri. Bayangkan kehidupan ideal kita dan bandingkan dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Tanyakan pada diri sendiri apa yang bisa diubah. Membuat jurnal atau berbicara dengan teman dekat tentang impian dan ambisi yang dimiliki adalah cara yang bagus untuk merefleksikan diri sebelum mengambil langkah selanjutnya. - Berhenti Membandingkan
Membandingkan diri kita dengan orang lain adalah hal yang wajar. Namun, ada risiko perasaan tidak mampu jika kita terlalu sering terlibat dalam kebiasaan membandingkan diri. Entah itu pekerjaan, pendapatan, penampilan, atau hubungan dengan orang lain, mudah sekali untuk merasa bahwa teman atau kolega kita lebih bahagia daripada kita.Daripada membandingkan diri dengan orang lain, fokuslah untuk memperkaya hidup kita sendiri. Perlu diingat bahwa apa yang berhasil bagi orang lain belum tentu berhasil bagi kita. - Practice Self-Acceptance
Sangat umum bagi orang dewasa muda saat ini untuk merasa bahwa mereka harus menjadi dan melakukan yang terbaik setiap saat. Namun, penting untuk tidak melupakan rasa kasih sayang terhadap diri sendiri dalam prosesnya. Ingat, tidak apa-apa untuk tidak memiliki hidup sesuai dengan yang direncanakan. Kita semua memiliki harapan tentang bagaimana hidup kita seharusnya, namun terkadang hidup tidak berjalan sesuai harapan. Ketika hal ini terjadi, anggaplah kemunduran itu sebagai sesuatu yang positif. Tujuan atau pencapaian yang terlewat tidak secara otomatis membuat kita gagal. Faktanya, kegagalan atau kemunduran datang dengan banyak pelajaran dan sering kali mengarah pada kesuksesan jika disikapi secara positif. Tidak masalah juga untuk meninggalkan pekerjaan atau hubungan karena kita menyadari bahwa hal tersebut sudah tidak sesuai. Alih-alih memberikan tekanan pada diri sendiri untuk mengubah hidup dalam sekejap, berlatihlah untuk menerima diri sendiri. Kita sedang berada dalam perjalanan yang terus berubah yang disebut kehidupan. - Menjalin Koneksi dan Komunitas
Dukungan sosial adalah salah satu cara terbaik untuk melewati masa transisi yang sulit. Mengetahui bahwa kita tidak sendirian dan bahwa orang lain juga bergulat dengan masalah yang sama dapat melindungi kita dari risiko depresi. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa membangun komunitas dalam konteks kelompok pendukung dapat mengurangi kemungkinan penggunaan narkoba dan kekambuhan kesehatan mental. Hubungan semacam ini dapat memberikan dampak yang kuat terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, dan kesehatan mental kita secara keseluruhan. - Mencari Bantuan Profesional
Seorang konselor atau terapis dapat memberi kita ruang yang aman dan tidak menghakimi untuk kita dapat belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri. Dalam terapi individu atau kelompok, kita akan menghadapi ketakutan yang sudah lama ada, menerima dukungan emosional, dan mendapatkan strategi mengatasi masalah. Dengan demikian, kita akan memiliki alat yang dibutuhkan untuk menavigasi dan keluar dari quarter life crisis. Pada akhirnya, kita akan keluar dari krisis ini dengan perasaan yang lebih tenang, lebih mengenal diri sendiri, dan harapan yang lebih kuat untuk masa depan.
Meskipun quarter life crisis adalah hal yang normal dan umum terjadi, bukan berarti hal tersebut tidak memengaruhi kesejahteraan dan motivasi seseorang. Mencari bantuan saat kita menghadapi perasaan ketidakpastian ini dapat membantu untuk mengubah pengalaman tersebut menjadi masa untuk mengembangkan diri. Kuncinya adalah terus belajar lebih banyak mengenai diri sendiri, mengeksplorasi pilihan yang ada, dan memperjelas nilai-nilai yang dimiliki.
“Caring for yourself and seeking support as you face different challenges can help you cultivate greater resilience as you transition through this phase of life.”
Apabila champs mengalami kebingungan dan kesulitan, Focus on the Family Indonesia siap membantu proses belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri, champs bisa berdiskusi dengan tenaga profesional melalui layanan konseling yang disediakan FOFI. Champs dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @noapologiesindonesia atau melalui WhatsApp pada nomor +6282110104006.
Referensi:
Atwood, J. D., & Scholtz, C. (2008). The quarter-life time period: an age of indulgence, crisis or both? Contemporary Family Therapy, 30(4), 233–250. https://doi.org/10.1007/s10591-008-9066-2
Linarto, M. I., Marchella, S., Valentina, N. P. E., Ceasaria, N. M. R., Dewa, N. a. G. R., & Yohanes, N. H. R. (2024). The role of Quarter-Life Crisis Toward Personal Growth Initiative in Emerging Adulthood. Psychopreneur Journal, 8(1), 16–25. https://doi.org/10.37715/psy.v8i1.3460
New LinkedIn research shows 75 percent of 25-33 year olds have experienced quarter-life crises. (2017, November 15). New LinkedIn Research Shows 75 Percent of 25-33 Year Olds Have Experienced a Quarter-life Crisis. https://news.linkedin.com/2017/11/new-linkedin-research-shows-75-percent-of-25-33-year-olds-have-e
Robinson, O. C. (2018). A Longitudinal Mixed-Methods case study of Quarter-Life Crisis during the Post-university Transition: Locked-Out and Locked-In forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144
Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarterlife crisis: The unique challenges of life in your twenties. New York, NY: Tarcher Pinguin.