“Ketika Diam Menjadi Masalah, Menangani Silent Treatment dalam Pernikahan”
Couples, apakah anda pernah mengalami ketidaknyamanan karena keheningan yang diberikan oleh pasangan anda?
Silent treatment bisa menjadi salah satu pengalaman yang paling menyakitkan dalam suatu hubungan. Pengalaman ini dapat membuat kita merasa tidak terlihat, tidak didengar, dan merasa sendirian. Maka dari itu, perlu adanya pemahaman terkait silent treatment agar pasangan dapat bekerja sama untuk menciptakan komunikasi yang lebih sehat dan konstruktif.
Apa itu Silent treatment?
Silent treatment mengacu pada berbagai perilaku, seperti menghilangkan kontak mata, tidak berbicara dan mendengarkan yang dimaksudkan untuk menghindari komunikasi verbal atau/dan mengabaikan orang lain (Williams, 1997). Silent treatment sering kali digunakan sebagai sarana hukuman, manipulasi emosional, atau kontrol. Hal ini dapat membuat pasangan yang menerima perlakuan merasa tidak berharga, tidak dicintai, terluka, bingung, frustrasi, dan kecewa. Meskipun perilaku ini sering terjadi dalam hubungan intim atau romantis, silent treatment juga dapat terjadi dalam hubungan antar anggota keluarga, teman, atau rekan kerja.
Semakin lama, silent treatment yang dilakukan dapat berubah menjadi bentuk kekerasan emosi bagi pihak yang diabaikan. Walaupun ada berbagai alasan mengapa seseorang memilih untuk mengabaikan, tindakan ini kerap membawa dampak buruk pada suatu hubungan. Ketika diam digunakan sebagai alat untuk mengendalikan hubungan, maka diam tersebut menjadi bentuk manipulasi yang tidak sehat. Akan tetapi, jika diam hanya dijadikan sebagai jeda sementara untuk mengumpulkan pikiran sebelum kembali membahas persoalan, maka hal tersebut memiliki makna yang berbeda.
Mengapa Pasangan Menggunakan Silent Treatment
Buss et al. (1987) berpendapat bahwa dalam hubungan asmara, pasangan seringkali saling memanipulasi dengan cara mengabaikan (silent treatment) untuk mencapai tujuan masing-masing.
- Gangguan Komunikasi
Salah satu alasan utama pasangan melakukan silent treatment adalah gangguan komunikasi. Ketika individu kesulitan dalam mengkomunikasikan perasaan, pikiran, atau kebutuhannya dengan jelas, hal ini dapat menimbulkan rasa frustrasi dan ketidakberdayaan. Dalam kondisi demikian, diam mungkin menjadi satu-satunya cara yang mereka anggap paling mudah untuk mengatasi emosi yang bergejolak.
- Tindakan perlindungan diri secara emosional
Dalam beberapa situasi, individu mungkin memilih untuk melakukan silent treatment sebagai bentuk perlindungan diri secara emosional. Mereka mungkin merasa rentan atau terancam oleh tindakan atau perkataan pasangannya dan memilih untuk menarik diri sebagai bentuk pertahanan diri. Perilaku ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu atau trauma yang membuat individu sulit untuk mempercayai dan membuka diri pada orang lain.
- Menegaskan kekuasaan dan kontrol
Dorongan untuk mendominasi dan mengendalikan pasangan seringkali menjadi motivasi di balik silent treatment. Individu yang melakukan hal ini bertujuan untuk menunjukkan kekuasaannya, mengendalikan situasi, atau memberikan hukuman atas kesalahan yang dianggap telah dilakukan oleh pasangannya. Dinamika kekuasaan yang tidak sehat ini dapat memicu kebencian dan kemarahan yang lebih dalam dalam hubungan. Ketika komunikasi terputus akibat silent treatment, pihak yang diabaikan akan berusaha keras untuk menjalin kembali komunikasi verbal. Sikap mengabaikan ini justru membuat pelaku merasa dirinya benar, berkuasa, dan mengendalikan situasi, sementara korban merasa kebingungan dan takut kehilangan.
The Negative Impact of Silent Treatment
Meski silent treatment digunakan dalam waktu yang singkat, hal ini tetap dapat menyebabkan rasa sakit sosial pada pihak yang diabaikan karena mengaktifkan daerah otak yang sama yang bertanggung jawab atas rasa sakit fisik (Eisenberger, Lieberman, & Williams, 2003). Silent treatment juga dapat mengganggu kestabilan seseorang karena hal ini dapat menyebabkan banyak kebingungan dan keraguan dalam diri individu. Mereka yang diabaikan akan mempertanyakan diri mereka sendiri, terutama saat ia bahkan tidak tahu mengapa pasangan mereka memberikan silent treatment. Secara khusus, silent treatment mengancam empat kebutuhan dasar manusia, yaitu needs of belonging, self-esteem, control, and meaningful existence (Williams 2009).
Salah satu dampak paling nyata dari tindakan mengabaikan adalah tekanan emosional dan perasaan terisolasi. Individu yang diabaikan akan merasa terputus dari kasih sayang dan dukungan pasangannya, sehingga menimbulkan perasaan kesepian, ditinggalkan, dan perasaan tidak dicintai atau tidak dianggap penting. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membahayakan kesehatan mental dan emosional. Selain itu, kepercayaan dan keintiman dalam hubungan juga akan terkikis. Jarak emosional yang semakin lebar akibat silent treatment akan melemahkan ikatan pasangan, menyebabkan hilangnya kepercayaan dan berkurangnya rasa aman. Hilangnya kepercayaan ini dapat menyulitkan pasangan untuk berbagi pikiran, perasaan, dan pengalaman mereka secara terbuka, sehingga semakin memperburuk gangguan komunikasi. Ketika pasangan terlibat dalam kondisi silent treatment, konflik sering kali tidak terselesaikan. Kurangnya komunikasi membuat pasangan tidak dapat mendiskusikan masalah mereka, menemukan titik temu, dan bekerja sama untuk menemukan solusi. Akibatnya, konflik yang tidak terselesaikan ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak baik bagi kedua pasangan dan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.
“Silent treatment is abusive for empaths. They thrive in relationships where communication is a key.”
- Jane Light
Bentuk-bentuk Silent treatment
- Dengan sengaja atau secara terang-terangan mengabaikan pasangannya.
- Pergi tanpa memberi tahu kemana mereka akan pergi atau kapan mereka akan kembali.
- Tidak memberikan respons ketika pasangannya mencoba berkomunikasi, baik secara langsung atau melalui media elektronik.
- Mereka berbicara dengan orang lain, tetapi tidak mau berbicara dengan pasangan.
- Menghindari kontak fisik, percakapan, dan menarik diri dari aktivitas bersama pasangan.
Merespons Silent Treatment oleh Pasangan
Couples, dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara efektif, kita dapat meminimalisir penggunaan silent treatment, memperkuat hubungan, membuka peluang untuk memperbaiki interaksi, serta mengelola konflik dengan cara yang lebih sehat.
- Tetapkan Batasan yang Sehat
Menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan adalah penting untuk menentukan kapan diam dan jarak sudah melewati batas toleransi bersama. Batasan ini dapat sekaligus menjadi cara menyampaikan bahwa apa yang pasangan lakukan (silent treatment) menyakitkan dan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan atau akan ditolerir dalam hubungan tersebut.
- Ciptakan Percakapan yang Terstruktur
Cara untuk menciptakan komunikasi yang sehat dalam sebuah hubungan adalah dengan menciptakan percakapan yang terstruktur. Salah satu caranya adalah dengan mengubah pola komunikasi kita, termasuk mempelajari cara berdebat yang sehat. Meskipun kita merasa marah atau ingin membalas pasangan kita, cobalah gunakan pernyataan “Aku” untuk mengungkapkan perasaan tanpa menyalahkan pasangan. Misalnya, “Aku merasa terluka ketika kamu mengabaikanku”. Selain itu, ajak pasangan untuk membicarakan masalah ini dengan cara yang lebih konstruktif.
- Meminta Pasangan untuk Berbagi Perasaan
Hal ini akan membuat mereka tahu bahwa perasaan mereka penting dan valid, cara ini dapat membuka jalan untuk membangun percakapan yang lebih terbuka. Cobalah untuk tetap hadir dan dengarkan dengan penuh empati, ketika pasangan sedang mencoba untuk berbagi mengenai perasaannya.
- Minta Maaf Bila Melakukan Kesalahan
Hindari meminta maaf atau menyalahkan diri sendiri atas silent treatment yang diberikan oleh pasangan. Namun, jika kita telah melakukan kesalahan yang menyebabkan perasaan pasangan terluka, permintaan maaf adalah langkah yang bijaksana.
- Konseling Pasangan
Konseling mungkin bisa membantu, jika couples mengalami kesulitan untuk mengubah pola komunikasi dalam hubungan. Dengan bantuan orang yang netral, couples berdua dapat belajar untuk mengekspresikan perasaan, sehingga dapat menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat dan memiliki cara yang lebih efektif dalam berkomunikasi bersama pasangan.
Silent treatment bukanlah cara yang sehat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan. Silent treatment mungkin tampak seperti solusi mudah untuk menghindari konflik, namun dampaknya yang merusak dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam dan sulit disembuhkan. Menghukum pasangan dengan bersikap diam bukanlah solusi yang tepat untuk dilakukan. Komunikasi yang sehat adalah fondasi dari hubungan yang baik. Dengan berbicara terbuka, kita dapat menyelesaikan masalah dan memperkuat ikatan di antara pasangan. Jika couples merasa kesulitan untuk dapat berkomunikasi dan mengutarakan perasaan, jangan ragu untuk mencari bantuan
“Unexpressed emotions will never die. They are buried alive, and will come forth later, in uglier ways.”
Sigmund Freud
Focus on the Family Indonesia mendukung para couples melalui layanan konseling pasangan dan program khusus bagi anda dan pasangan yaitu Journey to Us. Couples dapat menjangkau kami melalui direct message Instagram ke @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.
Referensi:
Buss, D. M., Gomes, M., Higgins, D. S., & Lauterbach, K. (1987). Tactics of manipulation. Journal of Personality and Social Psychology, 52(6), 1219–1229. https://doi.org/10.1037/0022-3514.52.6.1219
Eisenberger, N. I., Lieberman, M. D., & Williams, K. D. (2003). Does rejection hurt? An FMRI study of social exclusion. Science, 302(5643), 290–292. https://doi.org/10.1126/science.1089134
Gomes, W. (2023, April 6). The Toxic Echoes of Silence: Unmasking the harmful impact of the silent treatment in romantic relationship. Medium. https://medium.com/@wngomes/the-toxic-echoes-of-silence-unmasking-the-harmful-impact-of-the-silent-treatment-in-romantic-7c5cc2b0abe6
Williams, K. D. (1997). Social ostracism. In Springer eBooks (pp. 133–170). https://doi.org/10.1007/978-1-4757-9354-3_7
Williams, K. D. (2009). Chapter 6 Ostracism. In Advances in experimental social psychology (pp. 275–314). https://doi.org/10.1016/s0065-2601(08)00406-1