Family Indonesia

Category: Marriage

Marriage

Ketika Diam Menjadi Masalah, Menangani Silent Treatment dalam Pernikahan

Couples, apakah anda pernah mengalami ketidaknyamanan karena keheningan yang diberikan oleh pasangan anda?

Silent treatment bisa menjadi salah satu pengalaman yang paling menyakitkan dalam suatu hubungan. Pengalaman ini dapat membuat kita merasa tidak terlihat, tidak didengar, dan merasa  sendirian. Maka dari itu, perlu adanya pemahaman terkait silent treatment agar pasangan dapat bekerja sama untuk menciptakan komunikasi yang lebih sehat dan konstruktif. 

Apa itu Silent treatment?

Silent treatment mengacu pada berbagai perilaku, seperti menghilangkan kontak mata, tidak berbicara dan mendengarkan yang dimaksudkan untuk menghindari komunikasi verbal atau/dan mengabaikan orang lain (Williams, 1997). Silent treatment sering kali digunakan sebagai sarana hukuman, manipulasi emosional, atau kontrol. Hal ini dapat membuat pasangan yang menerima perlakuan merasa tidak berharga, tidak dicintai, terluka, bingung, frustrasi, dan kecewa. Meskipun perilaku ini sering terjadi dalam hubungan intim atau romantis, silent treatment juga dapat terjadi dalam hubungan antar anggota keluarga, teman, atau rekan kerja.

Semakin lama, silent treatment yang dilakukan dapat berubah menjadi bentuk kekerasan emosi bagi pihak yang diabaikan. Walaupun ada berbagai alasan mengapa seseorang memilih untuk mengabaikan, tindakan ini kerap membawa dampak buruk pada suatu hubungan. Ketika diam digunakan sebagai alat untuk mengendalikan hubungan, maka diam tersebut menjadi bentuk manipulasi yang tidak sehat. Akan tetapi, jika diam hanya dijadikan sebagai jeda sementara untuk mengumpulkan pikiran sebelum kembali membahas persoalan, maka hal tersebut memiliki makna yang berbeda.

Mengapa Pasangan Menggunakan Silent Treatment 

Buss et al. (1987) berpendapat bahwa dalam hubungan asmara, pasangan seringkali saling memanipulasi dengan cara mengabaikan (silent treatment) untuk mencapai tujuan masing-masing.

  • Gangguan Komunikasi

Salah satu alasan utama pasangan melakukan silent treatment adalah gangguan komunikasi. Ketika individu kesulitan dalam mengkomunikasikan perasaan, pikiran, atau kebutuhannya dengan jelas, hal ini dapat menimbulkan rasa frustrasi dan ketidakberdayaan. Dalam kondisi demikian, diam mungkin menjadi satu-satunya cara yang mereka anggap paling mudah untuk mengatasi emosi yang bergejolak.

  • Tindakan perlindungan diri secara emosional

Dalam beberapa situasi, individu mungkin memilih untuk melakukan silent treatment sebagai bentuk perlindungan diri secara emosional. Mereka mungkin merasa rentan atau terancam oleh tindakan atau perkataan pasangannya dan memilih untuk menarik diri sebagai bentuk pertahanan diri. Perilaku ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu atau trauma yang membuat individu sulit untuk mempercayai dan membuka diri pada orang lain.

  • Menegaskan kekuasaan dan kontrol

Dorongan untuk mendominasi dan mengendalikan pasangan seringkali menjadi motivasi di balik silent treatment. Individu yang melakukan hal ini bertujuan untuk menunjukkan kekuasaannya, mengendalikan situasi, atau memberikan hukuman atas kesalahan yang dianggap telah dilakukan oleh pasangannya. Dinamika kekuasaan yang tidak sehat ini dapat memicu kebencian dan kemarahan yang lebih dalam dalam hubungan. Ketika komunikasi terputus akibat silent treatment, pihak yang diabaikan akan berusaha keras untuk menjalin kembali komunikasi verbal. Sikap mengabaikan ini justru membuat pelaku merasa dirinya benar, berkuasa, dan mengendalikan situasi, sementara korban merasa kebingungan dan takut kehilangan.

The Negative Impact of Silent Treatment

Meski silent treatment digunakan dalam waktu yang singkat, hal ini tetap dapat menyebabkan rasa sakit sosial pada pihak yang diabaikan karena mengaktifkan daerah otak yang sama yang bertanggung jawab atas rasa sakit fisik (Eisenberger, Lieberman, & Williams, 2003). Silent treatment juga dapat mengganggu kestabilan seseorang karena hal ini dapat menyebabkan banyak kebingungan dan keraguan dalam diri individu. Mereka yang diabaikan akan mempertanyakan diri mereka sendiri, terutama saat ia bahkan tidak tahu mengapa pasangan mereka memberikan silent treatment. Secara khusus, silent treatment mengancam empat kebutuhan dasar manusia, yaitu needs of belonging, self-esteem, control, and meaningful existence (Williams 2009).

Salah satu dampak paling nyata dari tindakan mengabaikan adalah tekanan emosional dan perasaan terisolasi. Individu yang diabaikan akan merasa terputus dari kasih sayang dan dukungan pasangannya, sehingga menimbulkan perasaan kesepian, ditinggalkan, dan perasaan tidak dicintai atau tidak dianggap penting. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membahayakan kesehatan mental dan emosional. Selain itu, kepercayaan dan keintiman dalam hubungan juga akan terkikis. Jarak emosional yang semakin lebar akibat silent treatment akan melemahkan ikatan pasangan, menyebabkan hilangnya kepercayaan dan berkurangnya rasa aman. Hilangnya kepercayaan ini dapat menyulitkan pasangan untuk berbagi pikiran, perasaan, dan pengalaman mereka secara terbuka, sehingga semakin memperburuk gangguan komunikasi. Ketika pasangan terlibat dalam kondisi silent treatment, konflik sering kali tidak terselesaikan. Kurangnya komunikasi membuat pasangan tidak dapat mendiskusikan masalah mereka, menemukan titik temu, dan bekerja sama untuk menemukan solusi. Akibatnya, konflik yang tidak terselesaikan ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak baik bagi kedua pasangan dan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Silent treatment is abusive for empaths. They thrive in relationships where communication is a key” – Jane Light

 

Bentuk-bentuk Silent treatment

  • Dengan sengaja atau secara terang-terangan mengabaikan pasangannya.
  • Pergi tanpa memberi tahu kemana mereka akan pergi atau kapan mereka akan kembali.
  • Tidak memberikan respons ketika pasangannya mencoba berkomunikasi, baik secara langsung atau melalui media elektronik.
  • Mereka berbicara dengan orang lain, tetapi tidak mau berbicara dengan pasangan.
  • Menghindari kontak fisik, percakapan, dan menarik diri dari aktivitas bersama pasangan.

Merespons Silent Treatment oleh Pasangan

Couples, dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara efektif, kita dapat meminimalisir penggunaan silent treatment, memperkuat hubungan, membuka peluang untuk memperbaiki interaksi, serta mengelola konflik dengan cara yang lebih sehat.

  • Tetapkan Batasan yang Sehat

Menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan adalah penting untuk menentukan kapan diam dan jarak sudah melewati batas toleransi bersama. Batasan ini dapat sekaligus menjadi cara menyampaikan bahwa apa yang pasangan lakukan (silent treatment) menyakitkan dan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan atau akan ditolerir dalam hubungan tersebut.

  • Ciptakan Percakapan yang Terstruktur

Cara untuk menciptakan komunikasi yang sehat dalam sebuah hubungan adalah dengan menciptakan percakapan yang terstruktur. Salah satu caranya adalah dengan mengubah pola komunikasi kita, termasuk mempelajari cara berdebat yang sehat. Meskipun kita merasa marah atau ingin membalas pasangan kita, cobalah gunakan pernyataan “Aku” untuk mengungkapkan perasaan tanpa menyalahkan pasangan. Misalnya, “Aku merasa terluka ketika kamu mengabaikanku”. Selain itu, ajak pasangan untuk membicarakan masalah ini dengan cara yang lebih konstruktif.

  • Meminta Pasangan untuk Berbagi Perasaan

Hal ini akan membuat mereka tahu bahwa perasaan mereka penting dan valid, cara ini dapat  membuka jalan untuk membangun percakapan yang lebih terbuka. Cobalah untuk tetap hadir dan dengarkan dengan penuh empati, ketika pasangan sedang mencoba untuk berbagi mengenai perasaannya.

  • Minta Maaf Bila Melakukan Kesalahan

Hindari meminta maaf atau menyalahkan diri sendiri atas silent treatment yang diberikan oleh pasangan. Namun, jika kita telah melakukan kesalahan yang menyebabkan perasaan pasangan terluka, permintaan maaf adalah langkah yang bijaksana.

  • Konseling Pasangan

Konseling mungkin bisa membantu, jika couples mengalami kesulitan untuk mengubah pola komunikasi dalam hubungan. Dengan bantuan orang yang netral, couples berdua dapat belajar  untuk mengekspresikan perasaan, sehingga dapat menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat dan memiliki cara yang lebih efektif dalam berkomunikasi bersama pasangan. 

Silent treatment bukanlah cara yang sehat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan.  Silent treatment mungkin tampak seperti solusi mudah untuk menghindari konflik, namun dampaknya yang merusak dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam dan sulit disembuhkan. Menghukum pasangan dengan bersikap diam bukanlah solusi yang tepat untuk dilakukan. Komunikasi yang sehat adalah fondasi dari hubungan yang baik. Dengan berbicara terbuka, kita dapat menyelesaikan masalah dan memperkuat ikatan di antara pasangan. Jika couples merasa kesulitan untuk dapat berkomunikasi dan mengutarakan perasaan, jangan ragu untuk mencari bantuan

“Unexpressed emotions will never die. They are buried alive, and will come forth later, in uglier ways.”Sigmund Freud

 

Focus on the Family Indonesia mendukung para couples melalui layanan konseling pasangan dan program khusus bagi anda dan pasangan yaitu Journey to Us. Couples dapat menjangkau kami melalui direct message Instagram ke @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

Referensi:

Buss, D. M., Gomes, M., Higgins, D. S., & Lauterbach, K. (1987). Tactics of manipulation. Journal of Personality and Social Psychology, 52(6), 1219–1229. https://doi.org/10.1037/0022-3514.52.6.1219 

Eisenberger, N. I., Lieberman, M. D., & Williams, K. D. (2003). Does rejection hurt? An FMRI study of social exclusion. Science, 302(5643), 290–292. https://doi.org/10.1126/science.1089134 

Gomes, W. (2023, April 6). The Toxic Echoes of Silence: Unmasking the harmful impact of the silent treatment in romantic relationship. Medium. https://medium.com/@wngomes/the-toxic-echoes-of-silence-unmasking-the-harmful-impact-of-the-silent-treatment-in-romantic-7c5cc2b0abe6 

Williams, K. D. (1997). Social ostracism. In Springer eBooks (pp. 133–170). https://doi.org/10.1007/978-1-4757-9354-3_7 

Williams, K. D. (2009). Chapter 6 Ostracism. In Advances in experimental social psychology (pp. 275–314). https://doi.org/10.1016/s0065-2601(08)00406-1

MarriageYouth

Apa Itu Co-dependency Dalam Hubungan?

Couples, tahukah kalian akan istilah co-dependency dalam hubungan? Co-dependency dalam hubungan menurut Span dan Fischer (1990) adalah sebuah kondisi psikososial yang terwujudkan melalui sebuah pola disfungsional pada individu dalam berelasi dengan sesama. Pola disfungsional ini bisa berupa fokus berlebih ke individu lain dibandingkan diri sendiri, kurangnya mengekspresikan perasaan, dan adanya upaya untuk memperoleh sebuah tujuan dalam hubungan. Awalnya, co-dependency dalam hubungan ini diteliti pada individu yang pasangannya memiliki adiksi alkohol. Akan tetapi, banyak penelitian yang membuktikan bahwa co-dependency juga terjadi pada pasangan-pasangan secara general. 

 

Seperti namanya, co-dependency dalam hubungan juga dapat diartikan seperti sebuah ketergantungan dalam hubungan. Dalam bukunya, Beattie (1989) melihat bahwa individu yang co-dependent cenderung membiarkan perilaku pasangan untuk mempengaruhi diri mereka sendiri baik secara emosi, perilaku, dan pikiran. Di sisi lain, individu yang memiliki co-dependency juga bisa terobsesi untuk bisa mengontrol perilaku pasangannya. 

 

Ada beberapa karakteristik yang dapat ditunjukkan oleh individu dengan co-dependency. Beberapa karakteristik tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 

  • Menggantungkan diri pada validasi atau perilaku pasangan secara berlebih hingga bisa menjadikan validasi atau perilaku pasangan sebagai makna atau tujuan diri. Sebagai contoh, individu merasa memerlukan afeksi atau pujian dari pasangan agar bisa merasa bahwa dirinya memang baik.
  • Kurang dalam menghargai diri sendiri sehingga rela untuk mengorbankan diri demi mempertahankan hubungan dengan pasangan.
  • Mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas kesalahan atau perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh pasangan, dan mencoba untuk memperbaiki sendiri masalah yang diciptakan oleh pasangan. Sebagai contoh, individu memiliki kebiasaan untuk selalu meminta maaf meskipun tidak melakukan kesalahan.
  • Berkompromi terhadap perilaku pasangan dengan melepaskan kebutuhan diri atau tidak mengekspresikan perasaan Anda meskipun sebenarnya perilaku pasangan tersebut menyakiti atau mengganggu.
  • Tidak memiliki batasan yang jelas antara diri sendiri dengan pasangan. Contohnya, membiarkan pasangan mengatur kehidupan atau aktivitas sehari-hari meskipun aturan yang diberikan sangat membatasi.
  • Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dan mengakui perasaan sendiri sementara selalu mencoba untuk memenuhi kebutuhan pasangan.
  • Obsesi yang berlebih terhadap kehidupan pasangan. 
  • Kurangnya kepercayaan terhadap pasangan sehingga ada kebutuhan untuk bisa mengontrol atau mengatur hidup pasangan. Contohnya, memaksa pasangan untuk tidak berbicara atau bergaul dengan lawan jenis.

Co-dependency banyak ditemukan berhubungan dengan beragam masalah dalam hubungan. Individu dengan co-dependency cenderung melihat bahwa hubungan yang dimiliki dengan pasangan memiliki banyak masalah (Happ et al., 2022). Apa yang dilihat sebagai situasi normal oleh orang lain bisa nampak sebagai situasi bermasalah pada individu dengan co-dependency. Sehingga hal ini bisa membuka ruang untuk argumen terus menerus dengan pasangan. Tidak hanya itu, individu dengan co-dependency juga bisa merasa semakin kehilangan diri sendiri dalam berupaya untuk mempertahankan hubungan dengan pasangan.  

 

Co-dependency merupakan keadaan yang perlu dihadapi dan ditangani dengan baik. Menangani co-dependency dapat dimulai dengan pertama-tama mengevaluasi diri dan menghargai diri sendiri. Selain itu, individu dengan co-dependency bisa mengevaluasi dan membentuk batasan-batasan yang dapat melindungi diri sendiri. 

 

Daring to set boundaries is about having the courage to love ourselves even when we risk disappointing others” – Brene Brown

 

Love yourself enough to set boundaries. Your time and energy are precious. You get to choose how you use it. You teach people how to treat you by deciding what you will and won’t accept” – Anna Taylor

Perlu diingat bahwa Co-dependency juga merupakan suatu hal yang kompleks, sehingga bantuan profesional akan membantu dalam menavigasi, mengidentifikasi, dan menghadapi kondisi tersebut. FOFI mendukung pasangan-pasangan di Indonesia untuk bisa mewujudkan hubungan sehat yang berlandaskan atas kepercayaan, dukungan, kasih sayang, penghargaan diri, dan batasan-batasan yang tepat. Oleh sebab itu, FOFI tersedia untuk membantu pasangan dengan layanan konseling couple dan program ‘Journey to Us’ demi hubungan yang sehat dan baik. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006 untuk mendapatkan konsultasi atau informasi lebih lanjut mengenai layanan-layanan kami.

 

Referensi 

Happ, Z., Bodó-Varga, Z., Bandi, S. A., Kiss, E. C., Nagy, L., & Csókási, K. (2022). How codependency affects dyadic coping, relationship perception and life satisfaction. Current Psychology, 42(18), 15688–15695. https://doi.org/10.1007/s12144-022-02875-9

Fischer, J. L., & Spann, L. (1991). Measuring codependency. Alcoholism Treatment Quarterly, 8(1), 87–100. https://doi.org/10.1300/j020v08n01_06

Beatfie, M. (1989). Codependent no more. Victoria: CollinsDove

MarriageParentingUncategorizedYouth

Stres Ujian? Bagaimana Cara Menghadapinya?

Champs, apakah kalian sering merasa gugup, di bawah tekanan, atau khawatir mendekati, menjelang atau setelah waktu ujian? Kalian mungkin mengalami sesuatu yang namanya exam stress atau stres ujian.

Stres adalah sesuatu yang normal untuk dialami oleh setiap individu kok champs. Mengalami ‘exam stress’ adalah pengalaman yang wajar bagi kalian yang merupakan pelajar. Exam stress bisa muncul dari ekspektasi terhadap nilai akademik, dorongan dari orang tua, guru atau teman, dan lainnya.

Adanya stres yang cukup dalam kehidupan kita, bisa mendorong kita untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi tantangan ataupun menjalankan kebutuhan hidup kita sehari-hari. Contohnya, karena kamu khawatir akan ujian yang mendatang, kamu berinisiatif untuk memperhatikan penjelasan guru ketika di kelas. Hal ini merupakan dampak positif dari stres.

Akan tetapi, stres yang berlebihan dan berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif bagi dirimu. Exam stress yang berlebihan dapat ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Namun, biasanya exam stress berlebih muncul dengan perubahan perilaku atau pemikiran seperti berikut:

  • Sering kali kekurangan energi untuk menjalankan aktivitas
  • Kesulitan untuk tidur atau kurang waktu istirahat
  • Merelakan waktu tidur, makan, istirahat atau aktivitas lainnya untuk belajar
  • Menjauhi diri dari orang lain atau mengalihkan diri dengan menggunakan waktu lebih banyak bermain ponsel atau sosial media
  • Sering merendahkan diri sendiri (berpikir bahwa diri sendiri tidak berguna, tidak kompeten, atau tidak bermakna)
  • Terlalu sering menekan diri dengan pikiran seperti “Kalau aku tidak belajar dengan baik, aku tidak akan memiliki masa depan”

Exam stress berlebih ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental Champs juga loh. Oleh sebab itu, Champs tetap harus mengelola exam stress tersebut agar tidak menumpuk dan memberikan dampak buruk pada dirimu!

Berikut adalah beberapa cara yang bisa Champs lakukan untuk mengelola exam stress dengan lebih sehat:

  1. Buatlah jadwal belajar yang sehat
    Membuat jadwal belajar yang rutin setiap hari sebelum waktu ujian memang penting, tetapi Champs juga harus memprioritaskan waktu makan, istirahat dan waktu senggang yang cukup juga. Ingatlah bahwa Champs memerlukan waktu tidur sekitar 7-8 jam dan makanan yang cukup agar tubuhmu dapat berfungsi dengan baik. Mengimbangkan waktu belajar dan waktu untuk berolahraga, melakukan hobi, atau bersenang-senang dengan keluarga, teman, bahkan hewan peliharaan juga penting loh! Hal ini dapat mendukung kamu agar bisa melepaskan stres atau tekanan yang menumpuk dengan sehat.
  2. Utarakan kekhawatiranmu
    Terkadang terlalu banyak kekhawatiran yang berkeliaran di dalam otak kita ketika akan menghadapi ujian. Champs bisa mengutarakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan berbagai cara agar meringankan beban pikiran kalian. Salah satu caranya, Champs dapat menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut kepada orang tua atau teman. Orang tua dan teman-teman kamu mungkin bisa memberikan solusi atau langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi kekhawatiran yang kamu rasakan.Cara lainnya, Champs dapat menuliskan kekhawatiran atau segala pikiran yang muncul pada buku jurnal atau diary. Dengan menuliskan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul, Champs mungkin bisa menyadari pola pikiranmu sendiri dan apa yang menjadi kekhawatiran utama saat ini. Selanjutnya, Champs bisa menentukan rencana bagaimana menghadapi kekhawatiran tersebut.
  3. Dorong diri untuk belajar dengan hal yang menyenangkan
    Dorongan untuk belajar sangat penting dalam masa ujian. Sayangnya, dorongan kita untuk belajar ketika masa ujian biasanya hanya bersumber dari rasa takut akan masa depan, nilai buruk, atau performa buruk. Sumber dorongan demikian dapat memberikan tekanan yang besar dan membuat learning experience kamu menjadi terlalu stressful. Oleh sebab itu, ada baiknya Champs mendorong diri dengan hal-hal yang Champs suka!Champs bisa menetapkan reward atau hadiah setiap kali kamu berhasil mengikuti jadwal belajar yang direncanakan. Misalnya, karena Tono suka bermain bersama ayahnya, setiap kali Tono berhasil belajar produktif selama 6 jam setiap hari selama 1 minggu, Tono akan menghadiahkan diri dengan melakukan game night bersama ayahnya di akhir pekan. Jadi, melakukan game night bersama ayah menjadi dorongan belajar yang positif bagi Tono.
  4. Sayangi diri sendiri
    Meskipun tekanan dan tanggung jawabmu sebagai pelajar memang berat, Champs harus ingat untuk selalu menyayangi diri sendiri. Belajar untuk tidak selalu mengkritik atau menekan dirimu, melainkan apresiasikanlah setiap langkah yang kamu ambil. Tetap hargai setiap progress yang kamu lakukan!

Ingatlah bahwa kesulitan dan kerja keras yang Champs lakukan saat ini adalah untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Jadi, Champs harus tetap berusaha dengan baik dalam melewati setiap masa ujian. FOFI selalu mendukung Champs untuk berkembang dan melewati seluruh rintangan yang ada, termasuk masa ujian. Apabila cara-cara berikut dirasa kurang efektif dan Champs memerlukan solusi lain untuk menghadapi exam stress, Champs bisa berdiskusi dengan orang tua untuk mendapatkan bantuan lebih. FOFI juga siap membantu Champs dengan program konseling dan program No Apologies yang dapat mengarahkan Champs dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.

Kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah hal yang fatal, yang terpenting adalah keberanian untuk melanjutkan – Winston Churchill

Referensi
Păduraru, M. E. (2019). Coping strategies for exam stress. Mental Health, 1(1), 64–66. https://doi.org/10.32437/mhgcj.v1i1.26

 

 

Marriage

Mindset Yang Perlu Ditanam Bersama Pasangan Demi Menjaga Hubungan Sehat

Couples, pernahkah Anda dan pasangan berpikir bahwa mempertahankan hubungan adalah suatu hal yang cukup menantang? Bahkan dalam hubungan yang sehat sekalipun, perlu ada effort dan kerjasama yang cukup untuk mempertahankan hubungan tersebut.

Semakin lama berada di dalam hubungan, couples juga akan semakin mengenal satu sama lain melalui berbagai rangkaian peristiwa dan situasi. Tentunya, di dalam hubungan, tidak setiap hari para couples akan merasakan kupu-kupu dan manisnya hidup berpasangan.

Ketika masa-masa sulit datang, penting bagi couples untuk menghadapinya bersama dengan mindset yang tepat.  
 

Memahami teori mindset dari Carol Dweck (2006) bisa membantu anda untuk menjaga hubungan yang sehat bersama pasangan.

Carol Dweck menemukan bahwa ada dua tipe mindset, yaitu fixed mindset dan growth mindset. Fixed mindset adalah ketika individu memiliki kepercayaan bahwa kemampuan dirinya adalah sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah. Sementara itu, ketika individu memiliki kepercayaan bahwa kemampuan dirinya adalah sesuatu yang bisa diasah dan dikembangkan, maka individu tersebut memiliki growth mindset. Kedua mindset tersebut ditemukan dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dengan pasangan (Shashwati & Kansal, 2019).

Bagaimana bisa? Berikut merupakan penjelasan dan contoh dari partner dengan fixed mindset vs growth mindset:

  1.  Partner dengan Fixed Mindset
    Partner dengan tipe mindset ini biasanya percaya dengan kalimat serupa “..dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.” (Dweck, 2017)
    Mereka cenderung percaya bahwa situasi atau dinamika hubungan bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Oleh sebab itu, partner dengan fixed mindset biasanya akan kesulitan ketika terdapat sebuah masalah dalam hubungan. Secara natural, partner akan cenderung menghindari masalah tersebut tanpa berupaya mencari jalan keluar dari masalah. Individu dengan mindset ini juga biasanya sulit untuk menerima kekurangan atau perbedaan yang dimiliki oleh partner mereka. Ketika masalah datang, partner dengan fixed mindset juga berkemungkinan untuk menyalahkan pasangannya atau situasi. Mindset seperti itulah yang membuat mereka juga cenderung pesimis dalam menjalani hubungan romantis
  2. Partner dengan Growth Mindset
    Partner dengan growth mindset biasanya akan percaya dengan kalimat “…dan mereka bekerja bersama dengan bahagia selama-lamanya.” (Dweck, 2017)Frasa ‘bekerja bersama’ menandakan bahwa mereka akan mengupayakan tantangan dalam hubungan bersama-sama dengan pasangan mereka.
    Hal ini dikarenakan partner dengan growth mindset biasanya memiliki pandangan bahwa tidak semua orang itu ‘sempurna’, termasuk mereka dan pasangan mereka. Ketika menghadapi masalah atau situasi buruk di dalam hubungan, mereka tidak akan terfokus pada masalah saja, namun juga mencari solusi dari masalah. Dibandingkan menyalahkan pasangan atau situasi, partner dengan mindset ini akan mencoba berupaya bersama pasangan mereka untuk bertumbuh bersama sembari menghadapi masalah yang ada. Mereka percaya bahwa situasi dapat diubah dan masalah dapat dilewati bersama. Dengan kepercayaan terhadap pasangannya, partner dengan growth mindset biasanya lebih optimis dan puas dengan hubungan romantis mereka.

Wah, saya atau partner saya sepertinya memiliki fixed mindset deh…Bagaimana ini?

Tenang sahabat FOFI, mindset dapat diubah kok!
Berikut, FOFI akan berikan tips bagi para couples untuk bersama-sama menanamkan growth mindset dalam hubungan :

  1. Bersifat terbukalah terhadap perbedaan yang dimiliki oleh Anda dan pasangan
    Setiap orang tumbuh dengan latar belakang dan lingkungan yang berbeda, sehingga perbedaan dengan pasangan tentu tidak dapat dihindari. Ketika menemukan perbedaan dengan pasangan, Anda dapat mengajak pasangan anda untuk berdiskusi bersama dan memahami perbedaan masing-masing. Dengan berbagi pandangan mengenai perbedaan yang ada, Anda bisa menghindari argumen sia-sia dan membentuk pandangan yang sama dengan pasangan.
  2. Hargai effort pasanganmu
    Tunjukkan cinta Anda dengan menghargai setiap effort yang dilakukan oleh pasangan anda demi kebaikan hubungan kalian. Dengan menghargai satu sama lain, Anda dan pasangan bisa membangun perasaan aman dan puas dengan hubungan yang ada.
  3. Fokus dengan hubungan yang kalian miliki
    Setiap couples memiliki dinamika hubungan yang berbeda-beda. Ada yang bertemu setiap hari, pergi traveling setiap bulan, atau memberikan hadiah kepada pasangannya setiap hari. Kadang ketika fokus pada perbedaan ini, sangat memungkinkan bagi individu untuk memiliki rasa iri dengan pasangan atau hubungan orang lain. Couples sebaiknya bisa fokus pada hubungan yang dimiliki tanpa berupaya keras untuk mendapatkan dinamika hubungan yang dimiliki oleh pasangan lain. Apabila ada sesuatu yang perlu diubah demi keberlangsungan hubungan, akan lebih baik bila Anda bisa mendiskusikannya secara baik-baik dengan pasangan. Dengan ini, akan lebih mudah bagi couples untuk merasa bersyukur akan satu sama lain dan hubungan yang dimiliki.
  4. Terapkan pikiran bahwa perubahan situasi merupakan kesempatan untuk berkembang
    Selalu akan ada perubahan situasi di dalam hidup termasuk hidup pasangan Anda. Terkadang perubahan situasi ini mungkin menciptakan goyangan pada hubungan Anda. Dalam situasi tersebut, akan sangat baik apabila Anda bisa menghadapi goyangan dengan optimisme dan terbuka terhadap kesempatan untuk berkembang bersama. Goyangan yang ada bisa menjadi kesempatan bagi couples untuk lebih memahami pandangan, perasaan, dan value satu sama lain.
  5. Jangan mengincar ‘Perfection’ pada hubungan atau pasangan Anda
    Pasangan dengan growth mindset biasanya percaya bahwa kesempurnaan adalah sebuah mitos belaka. Setiap orang di dunia ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak ada kata ‘sempurna’ pada setiap hubungan atau pasangan. Penting bagi couples untuk bisa menerima kekurangan masing-masing. Bahkan, akan lebih baik apabila Anda dan pasangan bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Meski begitu, perlu diingat bahwa menerima kekurangan pasangan bukan berarti merendahkan diri atau meninggalkan prinsip ya!

Setiap langkah dan usaha yang dilakukan oleh Anda dan pasangan Anda berharga.

Hal terpenting adalah langkah dan usaha tersebut dilakukan bersama-sama dengan tujuan untuk memperkuat dan mempertahankan hubungan Anda.

FOFI menyediakan layanan konseling pasangan dan program Journey To Us bagi para pasangan suami/istri yang berkeinginan untuk menjaga dan meningkatkan hubungan Anda dengan orang terkasih.
Klik link berikut untuk mendapat informasi lebih lanjut: (Bisa insert kontak atau layanan chat FOFI).

Referensi

Shashwati, S., & Kansal, P. (2019). Is there a right way to love?: Mindset in romantic relationships. International Journal of Innovative Studies in Sociology and Humanities (IJISSH), 1988-2008.

Dweck, C. S. (2017). Mindset: Changing the way you think to fulfill your potential. New York, NY: The Random House.

Yong, J. (2023). Make Love Last with a Growth Mindset – Focus on the Family Singapore. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://www.family.org.sg/articles/make-love-last-with-a-growth-mindset/?recommId=e7c38f35-e5ad-43c5-99ac-2af7c952f0e9

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House Publishing Group.