Family Indonesia

Category: Uncategorized

Uncategorized

Tips Tetap Otentik untuk Remaja dalam Menghadapi Perbandingan Sosial di Media

Champs, di dunia yang serba online seperti sekarang ini, media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita semua. Platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok sangat populer digunakan oleh kita, para remaja. Media sosial tidak hanya digunakan untuk tetap terhubung dengan teman, tetapi juga untuk berbagi momen kehidupan melalui fitur-fitur canggih yang disediakan. Champs, pernahkah melihat seseorang di media sosial dengan segala prestasi dan pencapaiannya, lalu membandingkan diri dengan orang tersebut. Tidak selesai sampai disana, kadang kala juga hadir perasaan rendah diri, tidak nyaman, dan merasa diri sendiri kurang baik, hal ini bisa dikaitkan dengan munculnya social comparison melalui media sosial.

Media sosial tidak diragukan lagi menawarkan banyak keuntungan bagi kita dengan menyediakan akses dan koneksi ke orang-orang, layanan, informasi, dan kesempatan yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Berdasarkan data dari Databoks (2024), total pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2024, yaitu 191 juta pengguna (73,7% dari populasi). Sementara dari segi umur sendiri, pengguna media sosial didominasi oleh usia 18-34 tahun (54,1%). Hal ini mendorong munculnya isu kesehatan mental remaja mengenai hubungan antara penggunaan media sosial yang lebih besar dengan skor depresi dan kecemasan yang lebih tinggi, waktu tidur tidak cukup, rendahnya rasa percaya diri, dan masalah citra tubuh (Kelly et al., 2018). Social comparison dapat menjadi sarana yang menjembatani hubungan antara penggunaan media sosial dan efek psikologis yang negatif bagi pengguna, termasuk di dalamnya para remaja.

Baca juga: Bagaimana Media Berinteraksi Dengan Perkembangan Interpersonal Anak? https://focusonthefamily.id/bagaimana-media-berinteraksi-dengan-perkembangan-interpersonal-anak/

Social comparison yaitu individu menilai harga diri mereka dengan membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Kecenderungan untuk menggunakan orang lain sebagai sumber informasi untuk menentukan seberapa baik kita dibandingkan dengan orang lain (ability comparison) atau bagaimana kita harus berperilaku, berpikir, dan merasa (opinion comparison) (Festinger, 1954). Ada dua jenis perbandingan sosial yang dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  • Upward social comparison, yaitu ketika seseorang membandingkan kemampuan, pendapat atau sifatnya dengan orang lain yang dinilai lebih baik dari dirinya. Hal ini sering kali bisa membuat perasaan insecure atau sebaliknya, yaitu termotivasi untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri kita sendiri.
  • Downward social comparison, yaitu seseorang membandingkan kehidupan mereka dengan seseorang yang kurang terampil atau yang dinilai tidak sebaik dirinya. Perbandingan ini bisa meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri seseorang, namun bisa juga membuat kita jadi memandang rendah orang lain.

Champs, baik disadari maupun tidak media sosial mendorong meningkatnya social comparison karena banyak pengguna yang disuguhi gambar dan konten yang dibagikan oleh sesama pengguna untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan. Ketika membuka laman sosial media kita, banyak postingan gambar yang di-photoshop atau influencer yang dibayar untuk tampil dengan cara tertentu. Pengguna media sosial juga cenderung mempercayai bahwa orang lain yang mereka lihat di media sosial, lebih bahagia dan menjalani kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan diri sendiri. Padahal unggahan-unggahan di media sosial seringkali hanya menampilkan bagian terbaik dari kehidupan seseorang, maka unggahan tersebut merepresentasikan ekspektasi yang tidak realistis. Inilah sebabnya mengapa perbandingan sosial jauh lebih kuat di media sosial dan juga menyebabkan konsekuensi yang tidak sehat.

Beberapa tips yang bisa champs lakukan untuk meminimalisir social comparison ketika menggunakan media sosial, serta tips untuk meningkatkan self-worth diri:

  1. Ingatlah bahwa orang memilih bagaimana mereka ingin menampilkan diri mereka. Banyak unggahan dirancang hanya untuk menarik perhatian yang bukan merupakan realitanya. 
  2. Mengubah atau “membersihkan” feed media sosial. Mengubah feed media sosial dapat membantu agar lebih positif secara pikiran dan citra diri seseorang. Proses ini dapat mencakup berhenti mengikuti orang-orang yang cenderung membuat kita membandingkan diri dengan mereka. Champs juga dapat mencoba mengikuti lebih banyak orang yang lebih otentik dalam menceritakan pengalaman negatif dan positif mereka, serta postingan yang menginspirasi diri.
  3. Menonaktifkan media sosial jika diperlukan. Saat suasana hati kita sedang tidak baik atau sedang menghadapi tantangan yang berat, kita bisa memilih untuk menghindari media sosial. Memilih untuk istirahat sejenak dan fokus pada diri champs sendiri. Champs juga dapat membuat batasan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial setiap harinya.
  4. Melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan self-esteem. Membangun self-esteem dapat membantu mengurangi perbandingan dengan orang lain dan berfungsi sebagai cara untuk mendukung kesehatan fisik dan mental kita. Kegiatan ini mencakup mengidentifikasi kekuatan diri, melakukan self talk yang positif, dan terlibat dalam kegiatan/hobi yang menyenangkan yang membuat champs merasa nyaman dan bertumbuh dalam diri kita sendiri.
  5. Fokus pada kekuatan diri. Kita dapat menjadi rendah hati dan mulai mengenali kekuatan, bakat, dan pencapaian diri kita sendiri. Champs bisa memulai dengan menuliskan tiga hal yang benar-benar disukai dari diri kita sendiri dan juga hal-hal yang dapat diidentifikasi sebagai kekuatan diri serta mengembangkannya.
  6. Belajarlah untuk bersaing dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Alih-alih berfokus pada membandingkan diri dengan orang lain, kita dapat mulai berfokus pada tujuan. Serta, jauh lebih baik untuk membandingkan diri kita saat ini dengan diri kita yang kemarin, bukan dengan kehidupan orang lain.
  7. Berlatih untuk bersyukur. Champs bisa mulai fokus pada apa yang dimiliki dalam hidup ini dibandingkan dengan apa yang tidak dimiliki. Hal ini bisa jadi kecil, tapi mengakui dan mengapresiasi apa yang telah kita miliki bisa sangat membantu dalam mengurangi perbandingan dengan orang lain.

Champs, percayalah bahwa setiap orang memiliki perjalanannya sendiri. Baik dalam dunia maya maupun dalam dunia realita, kita tidak perlu merasa khawatir bila kita tidak seperti orang lain yang dilihat. Beberapa orang mungkin memiliki perjalanan yang lebih cepat dan lancar, sementara yang lain membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi dan berjuang sebelum mencapai tujuan mereka. Nyatanya setiap orang memiliki kehidupan, perjalanan, dan tantangannya masing-masing.

Focus on the Family Indonesia mendukung para remaja untuk menyikapi perkembangan dunia digital dengan batasan yang sehat melalui program “No Apologies” juga program mentoring & konseling untuk champs bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan diri. Champs dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

“Self respect, self worth, and self love, all start with self. Stop looking outside of yourself for your value” – Rob Liano

 

Referensi:

Chien, G. (2022, January 6). Social Comparisons in Social Media: Why are Others Doing so Well? Medium. https://cppastudents.medium.com/social-comparisons-in-social-media-positive-psychology-concept-series-694796b751c

Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140. https://doi.org/10.1177/001872675400700202

Kelly, Y., Zilanawala, A., Booker, C., & Sacker, A. (2018). Social media use and adolescent Mental health: Findings from the UK Millennium Cohort Study. EClinicalMedicine, 6, 59–68. https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2018.12.005

The Jed Foundation. (2023, May 11). Understanding social comparison on social media | JED. https://jedfoundation.org/resource/understanding-social-comparison-on-social-media/

 

Uncategorized

Pola Komunikasi Pasangan: Seni Mendengarkan

Dalam suatu hubungan bersama pasangan, tentu memiliki pola komunikasi yang berbeda dengan pasangan lainnya. Hal ini termasuk topik yang dibahas, durasi, gaya, dan kualitas komunikasi yang terbentuk. 

Couples mungkin menemukan kesulitan untuk dapat membangun komunikasi ideal di tengah kehidupan pernikahan yang senantiasa mengalami perubahan seiring dengan kematangan masing-masing pasangan. Perjalanan hubungan yang disertai persoalan, kebutuhan, keinginan, harapan, dan masalah-masalah baru. Meski begitu, komunikasi merupakan indikator penting dari menjaga kualitas dan stabilitas hubungan, terutama pernikahan. 

Di bulan dan tahun pertama Couples mungkin akan merasa antusias dengan komunikasi bersama dengan pasangan. Namun, setelah lima, sepuluh tahun bersama, akan ada fase dimana komunikasi yang dibangun menjadi berkurang dan tidak bermakna lagi. Komunikasi bukan sekadar percakapan santai yang dilakukan untuk bertegur sapa atau menanyakan kesibukan satu sama lain. Kita cenderung melupakan pentingnya berbicara, berbagi, dan komunikasi verbal secara umum dengan pasangan karena kesibukan dan rutinitas yang melelahkan. Meskipun semua hubungan memiliki pasang surutnya sendiri, dapat berbicara dengan pasangan berarti kita dapat berbagi kekhawatiran, menunjukkan dukungan satu sama lain, dan bekerja sama untuk menangani konflik dengan lebih efektif. Segalanya ini penting untuk dikomunikasikan bersama pasangan agar tetap harmonis dan intens.

“Talking about everything means sharing details from your day, expressing your thoughts, talking about something that bothers you, or something that brings you joy. Everything.” – Callisto Adams

 

Komunikasi yang dapat dilakukan adalah komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi yang efektif, yang mempunyai ciri saling terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif dan kesetaraan (Devito, 2011). Komunikasi interpersonal dalam pernikahan dapat dikatakan sukses jika masing-masing pasangan mendapatkan banyak informasi tentang pasangannya selama berkomunikasi, misalnya mengetahui keinginan pasangan, perasaaan, maupun hal-hal yang sedang dipikirkan oleh pasangan secara positif. Komunikasi interpersonal dapat dikatakan gagal jika informasi yang didapatkan pasangan selama berkomunikasi tidak berkembang atau dangkal. Namun, perlu dipahami pula bahwa komunikasi dalam pernikahan tidak terjadi begitu saja, namun perlu dipupuk dan dijaga agar hubungan bersama pasangan semakin baik.

Menurut Gunarsa, keberhasilan komunikasi interpersonal bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut (Marheni, 2019). 

  • Kepercayaan, rasa percaya dan dipercaya dapat membuat individu merasa nyaman untuk menampilkan diri yang sesungguhnya di depan pasangan. Semakin besar rasa percaya tersebut, semakin mudah seseorang untuk terbuka dengan pasangannya.
  • Perilaku suportif, pasangan mampu menyampaikan pikiran dan perasaan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan bagi pasangannya. Pasangan yang suportif dapat bersama-sama mencari solusi bila ada permasalahan dalam hubungan. Perilaku suportif juga dapat dilihat melalui spontanitas pasangan dalam bersikap tanpa ada niat tertentu, yaitu ikut bahagia bila pasangannya berhasil ataupun sebaliknya. 
  • Empati, seseorang dapat memahami dan peka terhadap  apa yang sedang dialami oleh pasangannya.
  • Persamaan, pasangan tidak meributkan atau mempermasalahkan perbedaan yang dimiliki masing-masing. Namun, couples dapat lebih berfokus pada sikap saling menghormati dan menghargai pendapat, sikap, perilaku, dan keyakinan yang berbeda dengan membuat sebuah kesepakatan yang saling melengkapi.

Komunikasi yang terjalin dalam hubungan juga dilengkapi dengan keberanian couples untuk mengekspresikan ketakutan dan masa-masa sulit satu sama lain. Saat menghadapi suatu masalah, beberapa orang memilih berpaling menutup diri dari pasangan dan melampiaskan gejolak emosi tanpa ada penjelasan. Mulai saat ini, kita dapat memilih untuk mengomunikasikan kesulitan tersebut bersama pasangan. Cinta dalam hubungan akan meningkat bila couples dapat belajar untuk mengekspresikan kebutuhan emosional dengan pasangan agar mereka juga dapat memahami dan mendukung di masa sulit tersebut.

Couples, komunikasi bukan hanya tentang berbicara, melainkan juga seni mendengarkan yang sama pentingnya dalam membangun hubungan. Mendengarkan adalah salah satu keterampilan komunikasi yang paling penting. Ketika kita mendengarkan pasangan kita, hal ini menunjukkan bahwa kita peduli dengan mereka. Ketika mendengarkan, kita juga mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perspektif pasangan. Menciptakan ruang yang nyaman dan aman bagi pasangan untuk berbicara dengan memberikan perhatian penuh ketika pasangan berbicara, mendengarkan untuk memahami, dan memvalidasi pikiran juga perasaan pasangannya. Seseorang yang merasa suara dan perasaannya didengarkan akan merasakan bentuk cinta dari pasangannya. Maka, setiap dari kita harus dapat berkomitmen untuk bersedia mendengarkan dan berbagi perasaan secara terbuka, begitupun sebaliknya.

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan apa pun. Tidak ada kata terlambat untuk membangun dan meningkatkan fondasi hubungan bersama pasangan. Meningkatkan dan memperbaiki komunikasi dalam hubungan akan selalu menghasilkan penguatan bagi hubungan bersama pasangan. Couples, jangan lupa untuk menggunakan komunikasi yang baik untuk mengomunikasikan penghargaan, cinta, dan rasa hormat satu sama lain.

A long-lasting and fulfilling relationship is built on a solid foundation of communication.” – Maddie Hundley

 

Focus on the Family Indonesia mendukung para couples melalui layanan konseling pasangan dan program Journey to Us. Kami berkomitmen untuk membantu couples memelihara hubungan pernikahan yang harmonis bersama pasangan Anda, dalam mengelola emosi, mengatasi konflik, dan membangun komunikasi yang efektif dengan pasangan. Couples dapat menjangkau kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi:

Devito, J. A. (2011). Komunikasi antar manusia edisi kelima. Jakarta: Karisma Publishing Group.  

Marheni, A. I. (2019). Komunikasi interpersonal dalam pernikahan. Marheni | Solution : Journal of Counseling and Personal Development. https://e-journal.usd.ac.id/index.php/solution/article/view/2261

Tan, S. (2023, September 4). What happens when we truly listen to our spouse. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/articles/what-happens-when-we-truly-listen-to-our-spouse/

 

Uncategorized

Bimbing Anak untuk Mengenal Sentuhan yang Aman (Good Touch Bad Touch)

Parents, apakah pernah mendengar istilah “Good touch bad touch ”? 

Mengapa hal seputar sentuhan sangat penting untuk diketahui oleh anak dalam berinteraksi dengan orang lain?

Sentuhan seperti yang parents ketahui merupakan anugerah dari bagian panca indera manusia dan kekuatan untuk manusia dapat memahami serta merasakan hal di dunia. Sentuhan adalah salah satu elemen yang sangat penting di dalam perkembangan manusia dan menjadi metode komunikasi yang vital.

Namun, di dunia saat sentuhan terkadang tidak selamanya baik. Bagaimana cara kita dapat melindungi anak-anak, terutama ketika kita tidak bisa selalu bersama mereka?

 

Kekuatan dari Sentuhan (Power of Touch)

Sentuhan merupakan salah satu pengalaman paling penting dalam perkembangan manusia, terutama pada bayi. Dalam studinya, Sapolsky (2004) menemukan bahwa, “Terkadang stressor dapat berupa kegagalan untuk memberikan sesuatu pada makhluk hidup, dan ketiadaan sentuhan merupakan salah satu stressor perkembangan yang paling nyata yang dapat dialami”. 

Parents, sentuhan merupakan bentuk pengalaman sensorik paling awal bagi manusia, terutama saat individu sedang dalam tahap perkembangan. Sebelum lahir, bayi dalam kandungan mendapatkan sensasi dipeluk secara konstan oleh rahim. Setelah lahir, bayi pun mengharapkan tingkat perasaan yang sama yang terhubung melalui perawatan “in arms”  oleh ibu dan orang dewasa lainnya (Narvaez et al., 2019). Maka dari itu, kontak skin on skin antara bayi dengan parents dapat membantu bayi merasakan kehangatan, mengenali aroma orang tuanya, dan memberikan perasaan aman, juga nyaman.

Parents, sangat penting untuk memberikan kasih sayang dalam bentuk fisik selama masa perkembangan bayi. Semakin sering parents memberikan pelukan kepada bayi, semakin berkembang pula otak mereka (Maitre et al., 2017). Sentuhan afektif memainkan peran penting dalam perkembangan sensorik, stimulasi pertumbuhan, dan interaksi sosial. Khususnya pada anak-anak, dibutuhkan stimulasi sentuhan interpersonal yang dapat membantu dalam perkembangan emosi dan perilaku mereka. Sentuhan lembut dari orang dewasa juga dapat melepaskan zat kimiawi (endorfin, oksitosin, dan dopamin) yang membuat tubuh merasa nyaman dan dapat mengurangi tingkat stres pada anak.

“Touch-based interactions help them feel like they are home. That they’re with their people and that their people are the ones who they can trust to feel safe and secure” – Rebecca Parlakian

Setelah membahas kekuatan dari sentuhan yang diberikan oleh parents pada sang buah hati selama masa perkembangan. Sejalan juga dengan tahap perkembangan anak, parents dapat membekali anak mengenai sentuhan yang baik dan tidak baik.

 

Mengapa hal ini penting untuk dilakukan?

Karena pada kenyataannya, dunia saat ini memiliki begitu banyak celah dimana anak dapat menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun seksual dari lingkungan di sekitarnya. Pertimbangan lain, mengapa parents perlu mengedukasi anak-anak terkait sentuhan, yaitu:

  • Dengan memahami tanda-tanda perilaku/sentuhan yang tidak pantas, anak-anak dapat mengidentifikasi potensi ancaman dan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.
  • Anak dapat mengungkapkan hak-hak mereka dan mengatakan “tidak” pada kontak fisik yang tidak diinginkan. 
  • Menumbuhkan lingkungan yang mendukung dan melindungi anak dari bahaya. 
  • Membantu anak mengembangkan hubungan yang sehat dan memahami tentang persetujuan (consent). Hal ini mengajarkan mereka untuk mengenali dan menghormati batasan-batasan orang lain, serta mendorong rasa empati dan juga komunikasi.

 

Apa itu good touch dan bad touch?

Good touch mengacu pada kontak fisik yang positif dan pantas/sewajarnya. Jenis sentuhan ini meningkatkan hubungan emosional yang positif, rasa aman, dan nyaman. Sentuhan yang baik bersifat persetujuan dan penuh rasa hormat. Sedangkan bad touch mencakup kontak fisik yang tidak wajar dan tidak nyaman. Contoh sentuhan tidak baik mengacu pada kontak fisik yang membuat anak merasa tidak aman, sentuhan yang tidak diinginkan, paksaan, rayuan seksual, atau juga pelecehan. 

Ketika parents memberikan definisi dan contoh yang jelas, anak-anak dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang termasuk dalam setiap jenis sentuhan tersebut. Parents dapat membekali setiap anak dengan edukasi seputar good touch dan bad touch yang disesuaikan dengan perkembangan mereka.

1)Early years (0-3)

Ketika parents mengajari anak terkait sentuhan yang baik dan buruk, parents dapat memulai dari membangun percakapan dan edukasi seks sejak dini.

  • Parents dapat mengenalkan nama-nama yang tepat terkait bagian tubuh anak sebagai body safety dan juga mengajarkan norma-norma sosial, seperti tidak berjalan-jalan tanpa busana meskipun sedang berada di rumah. 
  • Memperkenalkan ide tentang sentuhan yang mudah dipahami yang seiring dengan perkembangan anak. Penjelasan terkait contoh sentuhan yang baik, seperti berupa tos, genggaman tangan, dan bahkan pelukan dari keluarga dan teman. Sentuhan yang buruk dapat dijelaskan sebagai sentuhan yang meninggalkan rasa sakit atau luka (memukul, mendorong, menendang, dan lain-lain).
  • Parents dapat membahas terkait area tubuh yang boleh disentuh dan tidak. Area tubuh “tidak boleh disentuh” adalah bagian yang tertutupi saat anak mengenakan baju atasan dan celana.
  • Mengajari anak untuk dapat mengatakan tidak ketika disentuh, menjauh dari orang tersebut, atau segera meminta bantuan jika merasa tidak nyaman.
  • Jelaskan pada anak bahwa tidak ada yang boleh menunjukkan bagian pribadi seseorang kepada mereka. Juga, tidak ada yang boleh melihat atau menyentuh area pribadi mereka.
  • Ketika mengedukasi anak, parents harus dapat menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana. Contoh percakapan yang dapat parents lakukan bersama anak sebagai berikut. 
  • “Apakah boleh seseorang menyentuh kamu di area yang tidak boleh disentuh?”
  •  “Jika seseorang memelukmu dan kamu tidak menyukainya, apa yang akan kamu katakan?

Baca juga: Edukasi Seksualitas Anak dari Perspektif Orang Tua dan Guru “ConnecTime

2) Preschool years (4-6)

Pada usia ini, anak mungkin sudah mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Parents dapat memainkan beberapa skenario bersama anak, seperti ketika mereka membutuhkan bantuan untuk buang air kecil, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama waktu bermain. Juga, apa yang harus dilakukan jika ada orang dewasa yang melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai. Pengulangan yang konsisten terhadap body safety akan membantu anak mengingat dan melindungi diri mereka ketika berada di situasi-situasi tersebut.  

3) Primary years (7-9)

Pada usia sekolah dasar, parents dapat memasukkan gagasan tentang tekanan teman sebaya ketika memperluas gagasan tentang sentuhan yang baik dan sentuhan yang buruk. Namun, perlu untuk tetap menyesuaikan ajaran dengan tingkat kedewasaan anak. Bangun rasa nyaman dan aman untuk anak dapat berbagi dan bertanya tentang apapun yang tidak mereka  ketahui. Parents, usahakan untuk tidak pernah terdengar curiga atau menakut-nakuti ketika sedang memberikan penjelasan. Sebaliknya, komunikasikan hal ini dengan tenang dan sering dengan menggunakan film atau berita untuk membangun percakapan. Parents, perlu untuk selalu mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disampaikan oleh anak, tanpa mengambil kesimpulan atau menghakimi terlalu cepat. 

“By teaching children about good touch and bad touch, they become more empowered and self-aware. They learn to trust their instincts and differentiate between appropriate and inappropriate physical contact”

Parents memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada anak-anak terkait good touch dan bad touch. Hal ini dapat dimulai dengan membangun lingkungan komunikasi yang terbuka dan jujur. Focus on the Family Indonesia mendukung para parent untuk membekali anak anda sesuai dengan tahap perkembangan mereka. FOFI menyediakan berbagai program dan layanan seputar parenting, seperti Parental Guidance, Parenting Seminar, dan Parenting Counseling. Parents dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi: 

Maitre, N. L., Key, A. P., Chorna, O. D., Slaughter, J. C., Matusz, P. J., Wallace, M. T., & Murray, M. M. (2017). The dual nature of Early-Life experience on somatosensory processing in the human infant brain. Current Biology, 27(7), 1048–1054. https://doi.org/10.1016/j.cub.2017.02.036

Narvaez, D., Wang, L., Cheng, A., Gleason, T. R., Woodbury, R., Kurth, A., & Lefever, J. B. (2019). The importance of early life touch for psychosocial and moral development. Psicologia Reflexão E Crítica, 32(1). https://doi.org/10.1186/s41155-019-0129-0 

Ong, D. (2024, February 28). What is Good Touch and Bad Touch? Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/resource/what-is-good-touch-and-bad-touch/ 

Sapolsky, R. M. (2004). Why zebras don’t get ulcers: The acclaimed guide to stress, stress-related diseases, and coping. Holt paperbacks. 

Uncategorized

Toxic Relationship dalam Kehidupan Remaja

Champs, apakah pernah berada di suatu hubungan yang baik disadari maupun tidak, membuat diri kita merasa tidak nyaman dan tidak bahagia? 

 

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa tanpa orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, kita tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia memiliki kebutuhan untuk rasa aman, kasih sayang, dan pengakuan akan eksistensi dirinya yang didapatkan melalui hubungan dalam kehidupan sosial. Hubungan dapat diartikan sebagai ikatan atau koneksi antar individu yang dapat ditemui dalam bentuk hubungan dengan orang tua, keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosial. 

Masa remaja ini, kita melalui fase untuk membangun hubungan sosial yang lebih mendalam dengan sekitar, baik pertemanan maupun hubungan romantis. Dalam sebuah hubungan, kita akan menemukan berbagai konflik dan perbedaan pemikiran mengenai suatu hal. Saat berada di situasi tersebut, kita dapat merasakan tertekan, terancam, juga merasa terpaksa bertahan di dalamnya. Seringkali juga, kita jadi terpaksa menoleransi setiap hal yang dilakukan oleh pihak lain, meski kita merasa tidak setuju atau senang dengan hal tersebut. Hubungan seperti itu dapat dikategorikan sebagai toxic relationship. Toxic relationship adalah hubungan yang memiliki dinamika tidak sehat dan menyebabkan perasaan tertekan atau terluka karena tidak adanya dukungan, tidak dihargai, dan manipulasi (Delony, 2024). Prabandari (2021) menyebutkan bahwa anak usia remaja tidak jarang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship), baik dengan sahabat, pacar, saudara, maupun orang tua dan lingkungan sekitar. Remaja perempuan dan laki-laki, keduanya sama-sama berisiko menjadi korban dari hubungan tidak sehat.

 

Contoh toxic relationship dalam berbagai jenis hubungan oleh remaja, seperti:

  • Keluarga: Dikenal dengan istilah “Toxic Parents” atau “Toxic Parenting”, dimana orang tua mengasuh dan mendidik anak dengan selalu mementingkan kepentingan dan kemauan dari pihak orang tua, tanpa memikirkan kondisi dan tidak menghargai pendapat sang anak. 
  • Pacaran/Hubungan Romantis: Hubungan romansa yang tidak sehat dapat mengarah pada kekerasan fisik, seksual, dan emosi (dating violence).  Pasangan yang cemburu, posesif berlebihan, menuntut perhatian terus-menerus, mengisolasi pasangannya dari teman dan keluarga adalah contoh dari hubungan tidak sehat. Hal ini bukanlah tanda cinta, melainkan tanda kontrol atas pasangannya.
  • Pertemanan: Toxic friendship, individu yang menganggap temannya sebagai lawan/saingan, seringnya memberikan kritik yang menjatuhkan, dan selalu merasa yang paling hebat dalam lingkup pertemanan merupakan bentuk lingkungan pertemanan yang toxic.

 

When you get out of it, you realize how toxic it actually was.” – Steve Maraboli

 

Ketika berada dalam hubungan yang tidak sehat, Champs dapat melihat beberapa ciri-ciri dari hubungan tersebut, yaitu:

  • Kurangnya dukungan yang didapatkan dan terkesan pihak lain dalam hubungan hanya mementingkan dirinya sendiri.
  • Komunikasi yang dipenuhi dengan sarkasme, kritik, dan penghinaan. 
  • Kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kecemburuan yang berkepanjangan dalam hubungan. 
  • Perilaku mengontrol dan pembatasan dalam berbagai hal.
  • Sering berbohong untuk menghindari interaksi dengan pasangan atau takut untuk berbicara jujur. 
  • Sikap tidak menghormati dan menghargai yang berpola.
  • Sering merasa lelah secara fisik dan mental atau tidak nyaman dalam hubungan.
  • Penarikan diri dari hal yang disukai.

 

Hubungan seperti ini dapat mengancam kesehatan mental dan fisik seseorang. Champs dapat merasa stress, depresi, kemarahan, hingga percobaan menyakiti diri sendiri sebagai dampak dari hubungan toxic (Dafiq et al., 2023). Kita sebagai remaja juga dapat menjadi insecure, mengalami trauma, cemas, pikiran menjadi terganggu, kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, dan gangguan dalam kehidupan sehari-hari (Prabandari, 2021). Seringnya champs tidak menyadari bahwa Ia sedang berada di hubungan tidak sehat dan tetap bertahan dengan  berbagai  alasan  yang berbeda. Berada dalam hubungan tersebut dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada konsep diri dan harga diri remaja. 

Upaya untuk lepas dan bebas dari toxic relationship memang tidak mudah dan membutuhkan waktu, terutama dalam hubungan keluarga dan pertemanan. Champs, dapat melakukan coping dalam hubungan ini dengan membuat batasan yang sehat, self-care, dan awareness terhadap diri sendiri. Bicarakan mengenai apa yang kita rasakan secara jujur, masalah yang dihadapi, dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hubungan tersebut. Kedua, membuat batasan frekuensi berinteraksi dengan orang yang membuat kita tidak bahagia. Ketiga, yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak waktu untuk melakukan hal/kegiatan yang disukai. Lalu, bangun support system dengan orang-orang yang dapat memberikan energi positif kepada kita.

 

Dalam hubungan romantis, champs dapat melakukan beberapa hal untuk meninjau apakah hubungan tersebut masih layak untuk dipertahankan atau harus segera diakhiri. Komunikasi dapat dilakukan bersama pasangan, bicarakan kembali mengenai hubungan yang sedang dijalani dan komitmen untuk memperbaiki hubungan. Bila pasangan tidak menunjukkan komitmen untuk berubah dan tetap melakukan hal tidak menyenangkan (kekerasan) yang sudah berpola, mengakhiri hubungan merupakan pilihan yang tepat. Saat mengakhiri hubungan tersebut, membangun support system yang dapat menguatkan dan menemani di setiap proses mulai dari merencanakan, merealisasikan, dan pemulihan diri dari hubungan toxic. Memutuskan seluruh kontak setelah hubungan berakhir dapat dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada kesempatan untuk kembali bersama dengan pasangan. Individu yang pernah memiliki hubungan toxic dapat merasa dirinya tidak berharga dan sulit untuk menemukan orang yang lebih baik. Tanamkan dalam diri sendiri bahwa kita pantas untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik dan tetap bahagia. Bila menghadapi kesulitan menyembuhkan diri sendiri, kita dapat menjangkau tenaga kesehatan profesional untuk memulihkan kesehatan mental dan membangun kembali self-esteem

 

Percayalah, kita semua berhak atas hubungan sehat yang didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan, dan komunikasi yang sehat. Saat berada di suatu hubungan, pastikan bahwa semua pihak melakukan yang terbaik dan menjaga hubungan tersebut dengan penuh cinta kasih.

 

Teenagers deserve relationships that nurture their growth, self-esteem, and happiness” – Lisa Konick

 

Bila champs sedang berada dalam hubungan toxic dan sedang merasa tidak bahagia, bahkan mengancam kesehatan mental serta fisik. Champs dapat menjangkau layanan konseling Focus on the Family Indonesia melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006. FOFI siap membantu champs dalam melalui proses tersebut.

 

Referensi:

Delony, J. (2024). 12 Signs You’re in a Toxic Relationship. Ramsey Solutions. https://www.ramseysolutions.com/relationships/toxic-relationship-signs#:~:text=A%20toxic%20relationship%20is%20one,re%20unsupported%2C%20manipulated%20or%20disrespected.

Dafiq, N., Camela, M. M., Akur, M. F., & Jeniati, E. (2023). TOXIC RELATIONSHIP PADA REMAJA:STUDI LITERATUR. https://stikessantupaulus.e-journal.id/JWK/article/view/163 

Lamothe, C. (2024). Is your relationship toxic? Signs and how to cope. Healthline. https://www.healthline.com/health/toxic-relationship#signs

Universitas Gadjah Mada. (2023). Pakar UGM: Waspada Hubungan Toxic di Kalangan Remaja. https://ugm.ac.id/id/berita/20943-pakar-ugm-waspada-hubungan-toxic-di-kalangan-remaja/#:~:text=Anak%20usia%20remaja%20tidak%20jarang,maupun%20orang%20tua%20dan%20lingkungannya.&text=Karena%20itu%2C%20jelasnya%2C%20terdapat%20tujuh,diwaspadai%20dalam%20suatu%20pola%20hubungan

Uncategorized

Dinamika Persaingan Antar Saudara (Sibling Rivalry)

Pertengkaran dan persaingan antar saudara, tentu bukan hal asing lagi untuk Parents yang memiliki anak lebih dari satu. Anak-anak yang mengejar perhatian orang tua, berkelahi, dan saling rebutan mainan seringkali mewarnai perjalanan tumbuh kembang anak. Parents mungkin saja sering merasa kesulitan menghadapi situasi dimana anak tidak akur dan penuh perselisihan.

 

Apa itu Sibling Rivalry?

Sibling rivalry adalah persaingan di antara saudara untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian dari salah satu atau kedua orang tua atau untuk mendapatkan pengakuan atau keuntungan lainnya. Persaingan ini sering terjadi setelah kelahiran anak kedua dalam suatu keluarga dalam bentuk kompetisi, kecemburuan, kemarahan, bahkan perasaan benci.

Contoh sibling rivalry adalah ketika kakak yang lebih tua merasa kesepian dan kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, setelah adiknya lahir. Di posisi sebagai adik, seseorang dapat merasa cemburu ketika sang kakak memiliki lebih banyak kebebasan melakukan sesuatu. Rasa cemburu yang dirasakan antar saudara dapat diutarakan secara berbeda-beda satu sama lain. Ada anak yang mengungkapkan hal tersebut dengan memberikan aduan mengenai kesalahan adik atau kakaknya. Juga, ada yang berperilaku dengan ingin tampil lebih baik dari saudaranya. Meskipun pertengkaran kecil dapat membantu anak belajar memecahkan masalah dan mengatasi konflik, konflik dan agresi tingkat tinggi antara saudara kandung dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental anak. Oleh karena itu, parents harus membantu anak-anak dalam mengatasi tantangan tersebut.

Menurut Hurlock (1989), ciri-ciri sibling rivalry adalah tidak mau membantu saudara, tidak mau berbagi, tidak mau bermain dengan saudara atau mengasuh adik kecuali jika dipaksa, serangan agresif, dan merusak sesuatu milik saudaranya. Beberapa faktor yang mempengaruhi sibling rivalry dalam keluarga, yaitu: (Hurlock, 1989)

  • Sikap orang tua, perbedaan sikap yang diberikan orang tua antara anak pertama, kedua, dan seterusnya yang dapat menyebabkan rasa iri antar saudara.
  • Urutan posisi, berkaitan dengan beban dan tugas yang diemban seorang anak berdasarkan urutan kelahiran.
  • Jenis kelamin saudara kandung, anak laki-laki dan perempuan bereaksi yang berbeda terhadap saudara kandung yang sama jenis kelaminnya atau berbeda jenis kelaminnya.
  • Perbedaan usia, mempengaruhi cara mereka dalam bereaksi satu terhadap lain dan cara orang tua memperlakukan mereka. 
  • Jumlah saudara, keluarga kecil dapat meminimalisir pertengkaran antar saudara kandung karena dengan jumlah yang lebih sedikit, saudara dapat memiliki lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan sesama. 
  • Jenis disiplin oleh orang tua. 
  • Pengaruh orang luar, dalam bentuk kehadiran orang luar di rumah, tekanan yang diberikan kepada anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang luar rumah.

 

Bagaimana  Sibling Rivalry dapat Mempengaruhi Anak?

Dampak sibling rivalry dapat berupa dampak pada diri sendiri dan juga pada saudara. Dampak pada diri sendiri yaitu adanya tingkah laku regresi untuk mendapatkan perhatian orang tua dan self efficacy (keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya) rendah. Dampak sibling rivalry terhadap saudara yaitu agresi dengan merusak barang milik saudaranya.  Kedua, tidak mau berbagi dengan saudara, tidak mau membantu karena perasaan bersaing dengan saudara, dan saling mengadukan kesalahan saudaranya. Sibling rivalry juga dapat berdampak pada orang lain. Ketika pola hubungan antar saudara kandung tidak baik, dapat terjadi pola hubungan yang tidak baik yang akan dibawa anak kepada pola hubungan sosial di luar rumah, seperti kebiasaan bertengkar (Hurlock,1989).

Beberapa hal yang dapat parent lakukan untuk meminimalisir terjadinya persaingan antar saudara dengan case mendapatkan anggota keluarga baru, yaitu anak diikutsertakan dalam persiapan menyambut sang adik. Parents juga dapat memberikan jaminan verbal kepada anak bahwa orang tua akan terus mencintainya bahkan setelah bayi lahir. Hal ini akan mengatasi rasa tidak aman yang mungkin dialami anak. Pemberian pujian verbal kepada anak yang ikut serta merawat bayi akan membantu mereka merasa diikutsertakan dan lebih dekat dengan sang adik.

Penting bagi parents untuk menekankan peran masing-masing individu dalam keluarga dan menciptakan lingkungan yang adil. Orang tua perlu menghindari perlakuan yang berbeda terhadap anak, serta tidak melakukan perbandingan antar anak mengenai kecerdasan, penampilan fisik, dan prestasi mereka (Volling et al., 2002). Persaingan antar saudara kadang tidak bisa dihindari, namun dapat diatasi dengan cara yang sehat. Orang tua yang mencontohkan keterampilan pemecahan masalah selama penyelesaian konflik dalam hubungan pernikahan dan keluarga.

Parents perlu mendukung anak untuk membangun hubungan saudara kandung yang hangat, penuh kasih sayang, dan keintiman. Hal ini karena hubungan saudara merupakan sumber dukungan material dan emosional, yang memiliki kekuatan untuk melindungi dari kesepian dan depresi individu. McHale menyebutkan bahwa saudara kandung seringkali menjadi orang-orang yang paling lama bertahan dan menemani dari masa kanak-kanak hingga tua, yang berarti dapat memahami saudaranya dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain.

Focus on the Family Indonesia mendukung parents, memperlengkapi keluarga dengan nilai-nilai dan kompetensi untuk membangun keluarga yang sehat. Oleh sebab itu, FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. FOFI juga menyediakan program parenting ‘Raising Future Ready Kids’ yang dapat membekali parents dengan skills untuk mendampingi pertumbuhan anak dalam membangun komunikasi yang efektif. Parents dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi:

Hurlock, E. (1989). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta:Erlangga. 

Putri, A. C. T. (2013). DAMPAK SIBLING RIVALRY(PERSAINGAN SAUDARA KANDUNG)PADA ANAK USIA DINI (Vol. 2, Issue 1). http://lib.unnes.ac.id/18553/

Volling, B. L., McElwain, N. L., & Miller, A. L. (2002). Emotion Regulation in Context: The Jealousy Complex between Young Siblings and Its Relations with Child and Family Characteristics. Child Development, 73(2), 581–600. https://doi.org/10.1111/1467-8624.00425 

Weir, K. (2022). Improving sibling relationships. https://www.apa.org. https://www.apa.org/monitor/2022/03/feature-sibling-relationships

Uncategorized

Empat Kebiasaan Fatal Yang Dapat Mengakhiri Hubungan

Couples, sadarkah kalian bahwa selama menjalin hubungan, Anda dan pasangan perlahan juga membangun kebiasaan bersama? Mungkin Anda dan pasangan memiliki kebiasaan untuk cafe hopping pada setiap kencan, kebiasaan untuk selalu mengucapkan ‘good morning’ di setiap awal hari, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan yang tercipta dari hubungan Anda dan pasangan tidak selalu tentang aktivitas sebagai pasangan sehari-hari, tetapi juga bisa dalam bentuk bagaimana Anda dan pasangan menghadapi satu sama lain. Apakah Anda menyadari perbedaan gaya berbicara pasangan Anda dengan Anda dan orang lain? Adakah suatu kebiasaan yang pasanganmu lakukan dengan Anda tetapi tidak dengan orang lain? 

Kebiasaan-kebiasaan yang Anda dan pasangan ciptakan mungkin juga tidak selalu baik. Couples perlu mengetahui bahwa ada beberapa kebiasaan yang bisa secara perlahan merusak hubungan. Dr. John Gottman, seorang psikolog yang telah meneliti pasangan selama lebih dari 40 tahun, menggunakan metafora the four horsemen untuk menjelaskan kebiasaan yang dapat menghancurkan hubungan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah:

  1. Mengkritik pasangan
    Dalam berhubungan, couples mungkin pernah mengalami hal yang tidak mengenakan seperti pasangan yang telat datang untuk kencan, melupakan hari spesial, dan sebagainya. Tidak sedikit couples yang menghadapi situasi tersebut dengan mengkritik pasangannya. Perlu diingat bahwa mengkritik pasangan berbeda dengan menyampaikan keluhan terkait tindakan pasangan atau situasi bermasalah yang ada. Dengan mengkritik pasangan, Anda berfokus untuk menyerang karakter pasangan Anda. Mengkritik pasangan juga dapat memberikan kesan seolah Anda mendefinisikan pasangan Anda dari sebuah kesalahan atau perilaku tidak ideal yang Ia lakukan. Sementara menyampaikan keluhan berfokus pada isu bermasalah yang terjadi ketimbang karakter pasangan Anda secara utuh. Anda dan pasangan perlu untuk bisa membedakan bagaimana bentuk mengkritik pasangan dan menyampaikan keluhan:

    Ketimbang berfokus untuk menyerang pasangan, akan lebih baik apabila Anda bisa menyampaikan perasaan Anda terkait situasi atau perilaku pasangan dengan tetap menghormati pasangan. Alihkan fokus Anda untuk berkomunikasi bersama dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada.
  2. Menghina pasangan
    Kebiasaan menghina dapat terlihat sederhana. Selain melalui kata-kata seperti mengejek, sarkasme, atau menyatakan humor yang bersifat menyerang pasangan, menghina juga dapat ditunjukkan dari sikap tubuh seperti mencibir, memutar mata, atau perilaku tidak menghormati lainnya. Kebiasaan ini dinilai oleh Dr. John Gottman sebagai salah satu prediktor perceraian terhebat dalam hubungan pernikahan. Kebiasaan ini seringkali muncul apabila pasangan merasa lebih superior secara moral dan memiliki pandangan negatif yang mendalam terhadap pasangannya. Oleh sebab itu, hinaan tidak hanya bertujuan menyerang tetapi juga merendahkan pasangan.

  3. Sikap defensif
    Kebiasaan defensif ini biasa muncul sebagai respon dari keluhan atau kritikan dari pasangan. Sikap defensif yang tidak baik dalam pandangan Gottman adalah ketika Anda memberikan pembelaan diri dengan mencari-cari alasan dan cenderung memutarbalikan tuduhan kepada pasangan. Contohnya, pasangan yang menyampaikan keluhan karena pasangannya datang terlambat pada janji kencan, lalu pasangannya bersikap defensif dengan berkata “Tapikan aku tidak sempat, jam kerja ku padat. Lagian mengapa kamu mengajak kencan di hari kerja sih?”

    Wajar saja apabila Anda merasa tertekan dan ingin untuk membela diri apabila pasangan menuduh Anda terkait hal yang tidak benar. Akan tetapi, berusaha untuk mencari alasan dan mencari-cari kesalahan pasangan untuk membela diri akan memblokir komunikasi dan pemecahan masalah yang sehat. Seharusnya, couples dapat berkomunikasi tanpa banyak menyerang satu sama lain dan bersikap jujur terhadap keadaan yang ada.

  4. Menutup diri (Stonewalling)
    Dalam konflik, individu bisa mengalihkan diri dari masalah dengan menutup diri dari pasangan. Menutup diri biasanya ditunjukkan dengan perilaku mengabaikan pasangan, tidak mau berbicara, tidak mau berinteraksi dengan pasangan dalam kurun waktu tertentu, berusaha untuk menyibukan diri, mendistraksi diri dengan minum, bermain, dan lainnya. Individu seringkali menutup diri untuk mencegah emosi yang meledak-ledak dari konflik dengan pasangan. Kebiasaan menutup diri yang berlebih dapat menciptakan masalah atau kesalahpahaman dalam hubungan. Pria lebih umum untuk melakukan stonewalling dibandingkan wanita, terutama ketika mereka merasa kewalahan dalam menghadapi masalah yang ada. Untuk mencegah stonewalling, Anda dan pasangan perlu berkomunikasi dengan baik. 

    Dibandingkan mengabaikan pasangan, akan lebih baik bila Anda mengatakan “Aku merasa terlalu marah saat ini. Bisakah kita berhenti sebentar dan melanjutkan percakapan ketika aku merasa lebih baik nanti?” Dengan begitu, pasangan Anda akan mendapatkan kepastian dan keyakinan bahwa masalah akan tetap diselesaikan secara bersama nanti.

Dalam menghadapi masalah, pasangan harus bertindak hati-hati dan saling bekerja sama untuk menuntaskan masalah yang ada. Couples perlu mengingat bahwa masalah dan hari yang buruk dapat terjadi kapan saja. Meski begitu, membangun  kebiasaan yang positif, saling membangun dan saling mengapresiasi satu sama lain akan membantu Anda serta pasangan Anda dalam menghadapi hari-hari buruk tersebut. FOFI mendukung pasangan di Indonesia dengan berbagai program edukasi dan konseling agar pasangan di Indonesia mendapatkan arahan dan bantuan untuk berpasangan sehat dan saling membangun satu sama lain.

 

“Remember, we all stumble, every one of us. That’s why it’s a comfort to go hand in hand.” —Emily Kimbrough

 

Referensi : 

Gottman, J. M., & Silver, N. (1999). The Seven Principles for Making Marriage Work. http://ci.nii.ac.jp/ncid/BB05926466

Uncategorized

Memahami dan Mengelola Tantrum Balita: Tips Efektif untuk Para Orang Tua

Parents, tentu tidak asing dengan situasi anak yang mengamuk dan sulit untuk ditenangkan. Episode yang sering ditemui, seperti anak yang menangis keras karena tidak dibelikan mainan atau mengamuk karena tidak menyukai suatu hal. Ledakan emosi si kecil yang tidak terkendali dan seringkali membuat para orang tua kesulitan ini disebut tantrum.

 

Apasih Tantrum Itu?

Tantrum atau temper tantrum adalah episode singkat perilaku ekstrem, tidak menyenangkan, dan terkadang agresif sebagai respons terhadap rasa frustrasi atau kemarahan (Daniels et al., 2012). Tantrum sebagai bentuk ekspresi emosional anak sering dijumpai dalam perilaku menangis, membentak, menjerit, memukul, melempar barang, menendang, dan berguling di tanah. Tantrum sering ditemui pada anak usia 1–4 tahun karena pada usia tersebut, anak belum mampu mengungkapkan keinginan atau perasaan mereka secara verbal.

 

Kenapa ya Anak Bisa Tantrum?

Parents, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi anak mengalami tantrum. Hal ini bisa terjadi karena anak merasa lelah, lapar, atau sakit. Rasa frustasi anak berkaitan dengan kemampuan mengatasi masalah yang terbatas dari anak yang mengakibatkan perilaku tantrum. Alasan lainnya, saat anak mencari perhatian dari orang tua untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindari melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh anak.

Beberapa orang tua bisa jadi merasa cemas atau takut saat berada di tengah ledakan emosi anak yang sedang tantrum, tapi temper tantrum itu sendiri merupakan bagian normal dari perkembangan karena anak-anak belajar untuk mengendalikan emosi mereka dan mendapatkan kemandirian. Tantrum dapat terjadi sekali sehari dengan rata-rata durasi tiga menit pada anak berusia 18 hingga 60 bulan. Durasi tantrum yang paling umum adalah 0,5 hingga 1 menit (Potegal et al., 2003).

Meskipun umum terjadi, parents berperan untuk mengatasi tantrum pada anak dengan baik. Hal ini karena tantrum yang tidak diatasi dengan baik dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional anak di masa depan, termasuk gangguan dalam mengontrol emosi dan kesulitan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Maka, parents memiliki tugas untuk membantu anak belajar keterampilan mengidentifikasi perasaan mereka, memberikan nama pada emosi, mengomunikasikan perasaan, dan menerapkan perilaku positif untuk mengelola emosi negatif, secara bertahap frekuensi tantrum tersebut akan berkurang (Daniels et al., 2012).

 

Apa yang Bisa dilakukan Parents Terkait Episode Tantrum?

Ketika menghadapi episode tantrum, parents memiliki strategi dalam mencegah dan merespon anak yang sedang tantrum. 

  1. Upaya dalam mencegah tantrum, yaitu:
  • Memahami pemicu/penyebab tantrum tersebut. 
  • Berupaya untuk mengalihkan perhatian dan menjaga anak dari penyebab tantrum. Contohnya anak yang menangis karena tidak dibelikan mainan, orang tua dapat menyiasati untuk tidak mengajak anak ke area toko mainan. 
  • Mengajari anak mengekspresikan emosi secara verbal ketimbang melalui perilaku tantrum. Pengenalan emosi dapat dimulai dengan menanyakan bagaimana perasaan anak, apakah senang, sedih, atau lelah. Semakin anak bertambah usia, mereka akan lebih mampu untuk mengomunikasikan perasaan dan keinginannya.
  1. Saat anak sedang tantrum yang dapat dilakukan,yaitu:
  • Tetap tenang dan berusaha mengalihkan perhatian anak. 
  • Jangan memberikan hukuman fisik karena dapat menyebabkan perilaku tantrum bertambah parah atau lama. Hukuman fisik juga mengajarkan anak bahwa memukul diperbolehkan ketika marah atau frustrasi (Daniels et al., 2012). 
  • Mengabaikan perilaku sampai anak tenang. Strategi ini dapat digunakan pada anak yang tantrum untuk mendapatkan perhatian. Namun, bila anak melakukan kekerasan fisik, orang tua dapat menahan anak sampai perilaku tantrum berhenti dan tidak berbicara kepada anak sebelum ia tenang.

Merawat anak-anak bisa sangat menantang di segala bidang, ini merupakan perjalanan yang membutuhkan banyak kesabaran dan kesengajaan bagi orang tua. Saat parents belajar merawat mereka, jangan lupa untuk juga menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati kepada diri kita sendiri dan memberikan kesempatan untuk kita tumbuh melalui kesalahan.

 

“This behavior will pass, they are just trying to communicate their wants.” -Wan Xin Ng

 

Apabila parents mengalami kesulitan dalam menghadapi anak yang sering tantrum dan meredakan emosi si kecil, Focus on the Family Indonesia siap membantu parents melewati episode tantrum anak. FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. Anda dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau melalui WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi

Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x

Ng, W. X. (2024). How to manage toddler tantrums effectively. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/articles/how-to-manage-toddler-tantrums/?recommId=76bc0858-a8a0-4a4e-a418-d2a8b712151a

Potegal, M., Kosorok, M. R., & Davidson, R. J. (2003). Temper Tantrums in Young children: 2. Tantrum Duration and Temporal organization. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 24(3), 148–154. https://doi.org/10.1097/00004703-200306000-00003

Uncategorized

Ayo Raih Goal Dengan Metode SMART!

Champs pernahkah kamu membuat rangkaian goals namun rasanya seringkali banyak goals yang akhirnya tidak berhasil dikerjakan? Atau pernahkah kamu ingin mengembangkan diri di suatu bidang namun berujung hanya mencatatnya dan melupakannya setelah 3-5 hari? Hal ini bisa saja menandakan bahwa kamu perlu mengubah goal planning-mu.

Yuk kita coba membuat goal yang lebih mudah tercapai dengan metode S.M.A.R.T.

S.M.A.R.T merupakan sebuah metode perencanaan dan manajemen goal yang dibentuk oleh George T. Doran  pada tahun 1981. Metode ini sebenarnya dibentuk untuk diaplikasikan para manajer kantoran untuk merencanakan goal dari perusahaan mereka, akan tetapi, kamu juga bisa menggunakannya untuk meraih goal sehari-hari loh Champs!

 

S.M.A.R.T terdiri dari:

S – Specific (spesifik)

Champs harus spesifik dalam menentukan goal! Selama ini mungkin kita hanya menulis goal seperti ‘Belajar Bahasa Inggris!’. Goal demikian masih kurang spesifik dan malah dapat menyebabkan kebingungan ketika kita ingin meraihnya. Sebaiknya, Champs bisa lebih spesifik dalam mendeskripsikan goal.

Sebagai contoh, Champs ingin belajar Bahasa Inggris, maka tetapkanlah satu komponen penting dalam goal atau bahasa yang ingin dipelajari terlebih dahulu. Misalnya, kemampuan berbahasa dapat diraih dengan seberapa pandai kamu berbicara bahasa tersebut dengan fasih, maka Champs bisa menetapkan ‘Belajar berbicara Bahasa Inggris tanpa kesalahan’ untuk goal yang lebih spesifik.

Seiring kita mengikuti penjelasan dari metode S.M.A.R.T, maka goal ini akan menjadi semakin spesifik.

 

M – Measurable (Dapat terukur)

Agar Champs tidak kehilangan arah ketika meraih goal, goal yang kamu tentukan harus dapat diukur. Buatlah sebuah kondisi atau ukuran yang menentukan keberhasilanmu dalam meraih goal tersebut. Misalnya, Champs ingin bisa berbicara Bahasa Inggris, maka kondisi yang menentukan keberhasilan goal tersebut adalah ketika Champs berhasil berbicara Bahasa Inggris dengan orang sekitar tanpa kesalahan selama 1 hari penuh.

Bila kamu masih bingung cara menentukan goal yang measurable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Bagaimana cara aku tahu bahwa aku sudah mencapai goal tersebut?

 

A – Achievable (Dapat diraih)

Selain spesifik dan dapat diukur, goal kamu juga harus dapat diraih. Terkadang kita menentukan goal yang dapat terukur tetapi susah diraih. Hal ini dikarenakan kita menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri kita sendiri tanpa menimbang kapasitas kita. Menentukan goal yang dapat diraih sangatlah penting agar kita dapat terus berusaha untuk mencapai goal tersebut. Dalam menentukan goal, pertimbangkanlah kapasitas dan sumber yang kamu miliki untuk mencapai goal tersebut. Misalnya, dibandingkan menulis goal ‘Menjadi kaya’, kamu bisa menentukan goal ‘Memiliki tabungan sebesar Rp 500.000 di akhir bulan’  yang akan membantu kamu untuk mewujudkan ‘kekayaan’ tersebut. Contoh lainnya, dibandingkan menulis goal ‘Mendapatkan 100 pada ulangan fisika’, kamu bisa menulis ‘Menguasai materi gravitasi fisika dengan kesalahan kurang dari 5 nomor pada setiap PR fisika’. Goal tersebut lebih tidak menekan kamu untuk mencapai kesempurnaan, tetapi tetap mendorong kamu untuk mencapai suatu standar yang lebih baik untuk dirimu sendiri.

Bila kamu masih bingung apakah goal yang kamu miliki bersifat achievable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Apakah goal ini realistis? Apakah aku bisa meraih goal ini?”

 

R – Relevant (Relevan)

Setiap goal yang kamu tetapkan harus berlandaskan suatu tujuan. Tanpa tujuan yang matang, kamu bisa saja keluar track dan berujung tidak mencapai goal tersebut. Coba tanyakan beberapa hal ini kepada dirimu sendiri ketika kamu sudah memiliki sebuah goal dalam pikiranmu: 

  • Kenapa aku menginginkan goal ini? 
  • Apakah dengan meraih goal ini akan ada dampak positif untukku? 
  • Apakah goal ini akan merugikan diriku atau orang lain? 

Apakah aku bisa meraih goal tersebut dengan kondisiku saat ini?

 

T – Time-bound (Memiliki batasan waktu)

Tentukan target waktu atau deadline untuk goal-mu. Dengan menetapkan target waktu, Champs akan lebih terfokus dan memiliki prioritas untuk meraih goal yang kalian ciptakan. Contohnya adalah sebagai berikut:

Apabila Champs ingin menjadikan sebuah goal sebagai rutinitas, ada baiknya Champs tetap memberikan deadline untuk goal tersebut. Setelah goal tersebut sudah diraih sesuai deadline, Champs bisa menentukan goal serupa dengan frekuensi dan target waktu yang baru. Hal ini akan memperbolehkan Champs untuk mengevaluasi, “Apakah aku bisa melakukan lebih dari ini?” atau “Apakah mengerjakan goal ini masih terlalu sulit untuk durasi waktu yang telah kutetapkan?”. Dengan begitu, Champs bisa menyusun rencana yang lebih baik untuk goal berikutnya.

 

Contoh sebuah goal yang S.M.A.R.T

Membangun skill menari dengan latihan tari selama 45 menit di setiap hari senin, rabu, dan sabtu pada setiap minggu hingga tanggal 1 Juli 2024.

FOFI sangat mendukung remaja-remaja muda yang memiliki keinginan untuk berkembang dalam hidup mereka. Selalu berikan yang terbaik dalam menuntaskan segala hal, Champs! Jangan lupa untuk tetap menjaga diri dan bersikap baik terhadap diri sendiri ketika melewati tantangan-tantangan.

“Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati.” -Iwan Setyawan

MarriageParentingUncategorizedYouth

Stres Ujian? Bagaimana Cara Menghadapinya?

Champs, apakah kalian sering merasa gugup, di bawah tekanan, atau khawatir mendekati, menjelang atau setelah waktu ujian? Kalian mungkin mengalami sesuatu yang namanya exam stress atau stres ujian.

Stres adalah sesuatu yang normal untuk dialami oleh setiap individu kok champs. Mengalami ‘exam stress’ adalah pengalaman yang wajar bagi kalian yang merupakan pelajar. Exam stress bisa muncul dari ekspektasi terhadap nilai akademik, dorongan dari orang tua, guru atau teman, dan lainnya.

Adanya stres yang cukup dalam kehidupan kita, bisa mendorong kita untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi tantangan ataupun menjalankan kebutuhan hidup kita sehari-hari. Contohnya, karena kamu khawatir akan ujian yang mendatang, kamu berinisiatif untuk memperhatikan penjelasan guru ketika di kelas. Hal ini merupakan dampak positif dari stres.

Akan tetapi, stres yang berlebihan dan berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif bagi dirimu. Exam stress yang berlebihan dapat ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Namun, biasanya exam stress berlebih muncul dengan perubahan perilaku atau pemikiran seperti berikut:

  • Sering kali kekurangan energi untuk menjalankan aktivitas
  • Kesulitan untuk tidur atau kurang waktu istirahat
  • Merelakan waktu tidur, makan, istirahat atau aktivitas lainnya untuk belajar
  • Menjauhi diri dari orang lain atau mengalihkan diri dengan menggunakan waktu lebih banyak bermain ponsel atau sosial media
  • Sering merendahkan diri sendiri (berpikir bahwa diri sendiri tidak berguna, tidak kompeten, atau tidak bermakna)
  • Terlalu sering menekan diri dengan pikiran seperti “Kalau aku tidak belajar dengan baik, aku tidak akan memiliki masa depan”

Exam stress berlebih ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental Champs juga loh. Oleh sebab itu, Champs tetap harus mengelola exam stress tersebut agar tidak menumpuk dan memberikan dampak buruk pada dirimu!

Berikut adalah beberapa cara yang bisa Champs lakukan untuk mengelola exam stress dengan lebih sehat:

  1. Buatlah jadwal belajar yang sehat
    Membuat jadwal belajar yang rutin setiap hari sebelum waktu ujian memang penting, tetapi Champs juga harus memprioritaskan waktu makan, istirahat dan waktu senggang yang cukup juga. Ingatlah bahwa Champs memerlukan waktu tidur sekitar 7-8 jam dan makanan yang cukup agar tubuhmu dapat berfungsi dengan baik. Mengimbangkan waktu belajar dan waktu untuk berolahraga, melakukan hobi, atau bersenang-senang dengan keluarga, teman, bahkan hewan peliharaan juga penting loh! Hal ini dapat mendukung kamu agar bisa melepaskan stres atau tekanan yang menumpuk dengan sehat.
  2. Utarakan kekhawatiranmu
    Terkadang terlalu banyak kekhawatiran yang berkeliaran di dalam otak kita ketika akan menghadapi ujian. Champs bisa mengutarakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan berbagai cara agar meringankan beban pikiran kalian. Salah satu caranya, Champs dapat menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut kepada orang tua atau teman. Orang tua dan teman-teman kamu mungkin bisa memberikan solusi atau langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi kekhawatiran yang kamu rasakan.Cara lainnya, Champs dapat menuliskan kekhawatiran atau segala pikiran yang muncul pada buku jurnal atau diary. Dengan menuliskan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul, Champs mungkin bisa menyadari pola pikiranmu sendiri dan apa yang menjadi kekhawatiran utama saat ini. Selanjutnya, Champs bisa menentukan rencana bagaimana menghadapi kekhawatiran tersebut.
  3. Dorong diri untuk belajar dengan hal yang menyenangkan
    Dorongan untuk belajar sangat penting dalam masa ujian. Sayangnya, dorongan kita untuk belajar ketika masa ujian biasanya hanya bersumber dari rasa takut akan masa depan, nilai buruk, atau performa buruk. Sumber dorongan demikian dapat memberikan tekanan yang besar dan membuat learning experience kamu menjadi terlalu stressful. Oleh sebab itu, ada baiknya Champs mendorong diri dengan hal-hal yang Champs suka!Champs bisa menetapkan reward atau hadiah setiap kali kamu berhasil mengikuti jadwal belajar yang direncanakan. Misalnya, karena Tono suka bermain bersama ayahnya, setiap kali Tono berhasil belajar produktif selama 6 jam setiap hari selama 1 minggu, Tono akan menghadiahkan diri dengan melakukan game night bersama ayahnya di akhir pekan. Jadi, melakukan game night bersama ayah menjadi dorongan belajar yang positif bagi Tono.
  4. Sayangi diri sendiri
    Meskipun tekanan dan tanggung jawabmu sebagai pelajar memang berat, Champs harus ingat untuk selalu menyayangi diri sendiri. Belajar untuk tidak selalu mengkritik atau menekan dirimu, melainkan apresiasikanlah setiap langkah yang kamu ambil. Tetap hargai setiap progress yang kamu lakukan!

Ingatlah bahwa kesulitan dan kerja keras yang Champs lakukan saat ini adalah untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Jadi, Champs harus tetap berusaha dengan baik dalam melewati setiap masa ujian. FOFI selalu mendukung Champs untuk berkembang dan melewati seluruh rintangan yang ada, termasuk masa ujian. Apabila cara-cara berikut dirasa kurang efektif dan Champs memerlukan solusi lain untuk menghadapi exam stress, Champs bisa berdiskusi dengan orang tua untuk mendapatkan bantuan lebih. FOFI juga siap membantu Champs dengan program konseling dan program No Apologies yang dapat mengarahkan Champs dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.

Kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah hal yang fatal, yang terpenting adalah keberanian untuk melanjutkan – Winston Churchill

Referensi
Păduraru, M. E. (2019). Coping strategies for exam stress. Mental Health, 1(1), 64–66. https://doi.org/10.32437/mhgcj.v1i1.26

 

 

Uncategorized

The Importance of Father

“Apakah pentingnya peran seorang Ayah? Apakah sosok ‘ayah’ di dalam keluarga akan membuat perbedaan?” 

 

Parents, pernahkah pertanyaan serupa muncul pada benak Anda? Secara luaran, mungkin sosok ayah dianggap lebih berkontribusi dalam perkembangan anak melalui aspek finansial dan keamanan saja, akan tetapi peran ayah lebih penting dari kedua aspek itu saja. Sosok ayah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan seluruh dimensi anak. 

 

Beberapa kekuatan ayah antara lain adalah sebagai berikut: 

 

Interaksi Unik Dengan Ayah 

Banyak penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa interaksi ayah dengan anak biasanya cukup unik. Ayah biasanya berbicara dengan bahasa yang lebih lugas dan memberikan banyak pertanyaan, yang mana dapat melatih anak untuk bertumbuh secara kognitif dan mencoba mengeksplorasi dunianya dengan lebih luas. Sementara sosok ‘ibu’ biasanya memberikan perasaan nyaman dan aman, sosok ayah yang mendukung ruang eksplorasi pada anak ini bisa memberikan suasana perkembangan yang dinamis bagi anak. 

 

Bermain Dengan Ayah
Ayah sering kali memberikan dorongan dan tantangan bagi anak-anaknya ketika bermain. Dalam bermain atau berinteraksi dengan anak melalui aktivitas fisik, ditemukan bahwa ayah seringkali mempertemukan anak dengan situasi-situasi baru dan tantangan baru yang dapat membangun anak untuk terus bereksplorasi dan memecahkan masalah. Hal ini juga mendukung anak untuk melatih kepercayaan anak akan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah, mengontrol fisik dan emosi, serta melatih regulasi diri anak. Penelitian lain (Goering & Mrug, 2021; Suldo & Huebner, 2004) bahkan menunjukkan bahwa bermain dengan Ayah dapat meningkatkan kemampuan sosial anak.  Maka itu, kehadiran ayah dari kecil sangat penting untuk memberikan sekelompok skill pada perkembangan mental, kognitif, fisik, sosial dan emosional anak.

Menjadi Role Model Anak 

Penelitian Jia dan tim (2012) telah menemukan bahwa ada manfaat gaya pengasuhan ayah yang lebih otoritatif. Gaya pengasuhan yang ini seimbang dalam menunjukkan kepekaan dan kehangatan dengan disiplin dan struktur yang jelas. Dengan kata lain, ayah tidak hanya memberikan aturan dan batasan namun juga kasih sayang, kehangatan, dan kepekaan. Pengasuhan ayah yang seperti ini dapat menempatkan ayah sebagai pemimpin yang bisa memperhatikan perasaan anak namun tetap mempertahankan struktur, nilai, dan kedisiplinan yang diperlukan. Hubungan yang seperti ini dapat memberikan panutan bagi anak untuk bertanggung jawab dan memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya. Oleh sebab itu, gaya parenting ayah yang serupa cenderung tidak akan memiliki masalah emosional dan perilaku. 



Perlu diketahui bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan anak sangatlah penting bagi anak. Meski begitu, seberapa besar pengaruh Anda terhadap kehidupan anak Anda sebagai ayah, ditentukan oleh Anda sendiri. Jangan lupa bahwa kerja sama ayah dengan ibu dalam parenting juga sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Parents diharapkan bisa menunjukkan hubungan yang sehat dan partisipasi parenting yang aktif agar bisa memberikan gambaran nilai-nilai yang perlu dipegang oleh anak dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalin relasi dengan sekitarnya.

Menjadi ayah adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan” 

 

Focus Indonesia mendorong setiap ayah di Indonesia untuk bisa memegang peran yang positif bagi keluarga dan anak-anaknya dengan menyediakan program training Intentional Fathering’ dengan Mr. Lee Wee Min, Asia Regional Director of Focus on the Family untuk membantu ayah-ayah di Indonesia dalam menavigasi perannya dalam keluarga. 

 

Anda bisa mengikuti training Intentional Fathering dengan mendaftar pada link berikut 

https://bit.ly/IntentionalFathering-FOFI. Untuk pertanyaan atau arahan lebih lanjut, Anda bisa mengontak kami melalui direct message instagram @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada +6282110104006.

 

Referensi 

Ancell, K. S., Bruns, D. A., & Chitiyo, J. (2016). The importance of father involvement in early childhood programs. Young Exceptional Children, 21(1), 22–33. https://doi.org/10.1177/1096250615621355

Goering, M., & Mrug, S. (2021). Empathy as a Mediator of the Relationship between Authoritative Parenting and Delinquent Behavior in Adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 50(7), 1308–1318. https://doi.org/10.1007/s10964-021-01445-9

Hertz, S., Bernier, A., Cimon‐Paquet, C., & Regueiro, S. (2017). Parent–child relationships and child executive functioning at school entry: the importance of fathers. Early Child Development and Care, 189(5), 718–732. https://doi.org/10.1080/03004430.2017.1342078

Huerta, D. (2024). Fathers Matter: The importance of a father. Focus on the Family. https://www.focusonthefamily.com/parenting/fathers-matter-the-importance-of-a-father/

Jia, R., Kotila, L. E., & Schoppe-Sullivan, S. J. (2012). Transactional relations between father involvement and preschoolers socioemotional adjustment. Journal of Family Psychology, 26, 848-857. doi:10.1037/a0030245

Rohner, R. P., & Veneziano, R. A. (2001). The Importance of father Love: History and contemporary evidence. Review of General Psychology, 5(4), 382–405. https://doi.org/10.1037/1089-2680.5.4.382

Suldo, S. M., & Huebner, E. S. (2004). The Role of Life Satisfaction in the Relationship between Authoritative Parenting Dimensions and Adolescent Problem Behavior. Social Indicators Research, 66(1/2), 165–195. https://doi.org/10.1023/b:soci.0000007498.62080.1e