Family Indonesia

Uncategorized

Empat Kebiasaan Fatal Yang Dapat Mengakhiri Hubungan

Couples, sadarkah kalian bahwa selama menjalin hubungan, Anda dan pasangan perlahan juga membangun kebiasaan bersama? Mungkin Anda dan pasangan memiliki kebiasaan untuk cafe hopping pada setiap kencan, kebiasaan untuk selalu mengucapkan ‘good morning’ di setiap awal hari, dan kebiasaan lainnya. Kebiasaan yang tercipta dari hubungan Anda dan pasangan tidak selalu tentang aktivitas sebagai pasangan sehari-hari, tetapi juga bisa dalam bentuk bagaimana Anda dan pasangan menghadapi satu sama lain. Apakah Anda menyadari perbedaan gaya berbicara pasangan Anda dengan Anda dan orang lain? Adakah suatu kebiasaan yang pasanganmu lakukan dengan Anda tetapi tidak dengan orang lain? 

Kebiasaan-kebiasaan yang Anda dan pasangan ciptakan mungkin juga tidak selalu baik. Couples perlu mengetahui bahwa ada beberapa kebiasaan yang bisa secara perlahan merusak hubungan. Dr. John Gottman, seorang psikolog yang telah meneliti pasangan selama lebih dari 40 tahun, menggunakan metafora the four horsemen untuk menjelaskan kebiasaan yang dapat menghancurkan hubungan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah:

  1. Mengkritik pasangan
    Dalam berhubungan, couples mungkin pernah mengalami hal yang tidak mengenakan seperti pasangan yang telat datang untuk kencan, melupakan hari spesial, dan sebagainya. Tidak sedikit couples yang menghadapi situasi tersebut dengan mengkritik pasangannya. Perlu diingat bahwa mengkritik pasangan berbeda dengan menyampaikan keluhan terkait tindakan pasangan atau situasi bermasalah yang ada. Dengan mengkritik pasangan, Anda berfokus untuk menyerang karakter pasangan Anda. Mengkritik pasangan juga dapat memberikan kesan seolah Anda mendefinisikan pasangan Anda dari sebuah kesalahan atau perilaku tidak ideal yang Ia lakukan. Sementara menyampaikan keluhan berfokus pada isu bermasalah yang terjadi ketimbang karakter pasangan Anda secara utuh. Anda dan pasangan perlu untuk bisa membedakan bagaimana bentuk mengkritik pasangan dan menyampaikan keluhan:

    Ketimbang berfokus untuk menyerang pasangan, akan lebih baik apabila Anda bisa menyampaikan perasaan Anda terkait situasi atau perilaku pasangan dengan tetap menghormati pasangan. Alihkan fokus Anda untuk berkomunikasi bersama dan mencari jalan keluar dari masalah yang ada.
  2. Menghina pasangan
    Kebiasaan menghina dapat terlihat sederhana. Selain melalui kata-kata seperti mengejek, sarkasme, atau menyatakan humor yang bersifat menyerang pasangan, menghina juga dapat ditunjukkan dari sikap tubuh seperti mencibir, memutar mata, atau perilaku tidak menghormati lainnya. Kebiasaan ini dinilai oleh Dr. John Gottman sebagai salah satu prediktor perceraian terhebat dalam hubungan pernikahan. Kebiasaan ini seringkali muncul apabila pasangan merasa lebih superior secara moral dan memiliki pandangan negatif yang mendalam terhadap pasangannya. Oleh sebab itu, hinaan tidak hanya bertujuan menyerang tetapi juga merendahkan pasangan.

  3. Sikap defensif
    Kebiasaan defensif ini biasa muncul sebagai respon dari keluhan atau kritikan dari pasangan. Sikap defensif yang tidak baik dalam pandangan Gottman adalah ketika Anda memberikan pembelaan diri dengan mencari-cari alasan dan cenderung memutarbalikan tuduhan kepada pasangan. Contohnya, pasangan yang menyampaikan keluhan karena pasangannya datang terlambat pada janji kencan, lalu pasangannya bersikap defensif dengan berkata “Tapikan aku tidak sempat, jam kerja ku padat. Lagian mengapa kamu mengajak kencan di hari kerja sih?”

    Wajar saja apabila Anda merasa tertekan dan ingin untuk membela diri apabila pasangan menuduh Anda terkait hal yang tidak benar. Akan tetapi, berusaha untuk mencari alasan dan mencari-cari kesalahan pasangan untuk membela diri akan memblokir komunikasi dan pemecahan masalah yang sehat. Seharusnya, couples dapat berkomunikasi tanpa banyak menyerang satu sama lain dan bersikap jujur terhadap keadaan yang ada.

  4. Menutup diri (Stonewalling)
    Dalam konflik, individu bisa mengalihkan diri dari masalah dengan menutup diri dari pasangan. Menutup diri biasanya ditunjukkan dengan perilaku mengabaikan pasangan, tidak mau berbicara, tidak mau berinteraksi dengan pasangan dalam kurun waktu tertentu, berusaha untuk menyibukan diri, mendistraksi diri dengan minum, bermain, dan lainnya. Individu seringkali menutup diri untuk mencegah emosi yang meledak-ledak dari konflik dengan pasangan. Kebiasaan menutup diri yang berlebih dapat menciptakan masalah atau kesalahpahaman dalam hubungan. Pria lebih umum untuk melakukan stonewalling dibandingkan wanita, terutama ketika mereka merasa kewalahan dalam menghadapi masalah yang ada. Untuk mencegah stonewalling, Anda dan pasangan perlu berkomunikasi dengan baik. 

    Dibandingkan mengabaikan pasangan, akan lebih baik bila Anda mengatakan “Aku merasa terlalu marah saat ini. Bisakah kita berhenti sebentar dan melanjutkan percakapan ketika aku merasa lebih baik nanti?” Dengan begitu, pasangan Anda akan mendapatkan kepastian dan keyakinan bahwa masalah akan tetap diselesaikan secara bersama nanti.

Dalam menghadapi masalah, pasangan harus bertindak hati-hati dan saling bekerja sama untuk menuntaskan masalah yang ada. Couples perlu mengingat bahwa masalah dan hari yang buruk dapat terjadi kapan saja. Meski begitu, membangun  kebiasaan yang positif, saling membangun dan saling mengapresiasi satu sama lain akan membantu Anda serta pasangan Anda dalam menghadapi hari-hari buruk tersebut. FOFI mendukung pasangan di Indonesia dengan berbagai program edukasi dan konseling agar pasangan di Indonesia mendapatkan arahan dan bantuan untuk berpasangan sehat dan saling membangun satu sama lain.

 

“Remember, we all stumble, every one of us. That’s why it’s a comfort to go hand in hand.” —Emily Kimbrough

 

Referensi : 

Gottman, J. M., & Silver, N. (1999). The Seven Principles for Making Marriage Work. http://ci.nii.ac.jp/ncid/BB05926466

Uncategorized

Memahami dan Mengelola Tantrum Balita: Tips Efektif untuk Para Orang Tua

Parents, tentu tidak asing dengan situasi anak yang mengamuk dan sulit untuk ditenangkan. Episode yang sering ditemui, seperti anak yang menangis keras karena tidak dibelikan mainan atau mengamuk karena tidak menyukai suatu hal. Ledakan emosi si kecil yang tidak terkendali dan seringkali membuat para orang tua kesulitan ini disebut tantrum.

 

Apasih Tantrum Itu?

Tantrum atau temper tantrum adalah episode singkat perilaku ekstrem, tidak menyenangkan, dan terkadang agresif sebagai respons terhadap rasa frustrasi atau kemarahan (Daniels et al., 2012). Tantrum sebagai bentuk ekspresi emosional anak sering dijumpai dalam perilaku menangis, membentak, menjerit, memukul, melempar barang, menendang, dan berguling di tanah. Tantrum sering ditemui pada anak usia 1–4 tahun karena pada usia tersebut, anak belum mampu mengungkapkan keinginan atau perasaan mereka secara verbal.

 

Kenapa ya Anak Bisa Tantrum?

Parents, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi anak mengalami tantrum. Hal ini bisa terjadi karena anak merasa lelah, lapar, atau sakit. Rasa frustasi anak berkaitan dengan kemampuan mengatasi masalah yang terbatas dari anak yang mengakibatkan perilaku tantrum. Alasan lainnya, saat anak mencari perhatian dari orang tua untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindari melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh anak.

Beberapa orang tua bisa jadi merasa cemas atau takut saat berada di tengah ledakan emosi anak yang sedang tantrum, tapi temper tantrum itu sendiri merupakan bagian normal dari perkembangan karena anak-anak belajar untuk mengendalikan emosi mereka dan mendapatkan kemandirian. Tantrum dapat terjadi sekali sehari dengan rata-rata durasi tiga menit pada anak berusia 18 hingga 60 bulan. Durasi tantrum yang paling umum adalah 0,5 hingga 1 menit (Potegal et al., 2003).

Meskipun umum terjadi, parents berperan untuk mengatasi tantrum pada anak dengan baik. Hal ini karena tantrum yang tidak diatasi dengan baik dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional anak di masa depan, termasuk gangguan dalam mengontrol emosi dan kesulitan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Maka, parents memiliki tugas untuk membantu anak belajar keterampilan mengidentifikasi perasaan mereka, memberikan nama pada emosi, mengomunikasikan perasaan, dan menerapkan perilaku positif untuk mengelola emosi negatif, secara bertahap frekuensi tantrum tersebut akan berkurang (Daniels et al., 2012).

 

Apa yang Bisa dilakukan Parents Terkait Episode Tantrum?

Ketika menghadapi episode tantrum, parents memiliki strategi dalam mencegah dan merespon anak yang sedang tantrum. 

  1. Upaya dalam mencegah tantrum, yaitu:
  • Memahami pemicu/penyebab tantrum tersebut. 
  • Berupaya untuk mengalihkan perhatian dan menjaga anak dari penyebab tantrum. Contohnya anak yang menangis karena tidak dibelikan mainan, orang tua dapat menyiasati untuk tidak mengajak anak ke area toko mainan. 
  • Mengajari anak mengekspresikan emosi secara verbal ketimbang melalui perilaku tantrum. Pengenalan emosi dapat dimulai dengan menanyakan bagaimana perasaan anak, apakah senang, sedih, atau lelah. Semakin anak bertambah usia, mereka akan lebih mampu untuk mengomunikasikan perasaan dan keinginannya.
  1. Saat anak sedang tantrum yang dapat dilakukan,yaitu:
  • Tetap tenang dan berusaha mengalihkan perhatian anak. 
  • Jangan memberikan hukuman fisik karena dapat menyebabkan perilaku tantrum bertambah parah atau lama. Hukuman fisik juga mengajarkan anak bahwa memukul diperbolehkan ketika marah atau frustrasi (Daniels et al., 2012). 
  • Mengabaikan perilaku sampai anak tenang. Strategi ini dapat digunakan pada anak yang tantrum untuk mendapatkan perhatian. Namun, bila anak melakukan kekerasan fisik, orang tua dapat menahan anak sampai perilaku tantrum berhenti dan tidak berbicara kepada anak sebelum ia tenang.

Merawat anak-anak bisa sangat menantang di segala bidang, ini merupakan perjalanan yang membutuhkan banyak kesabaran dan kesengajaan bagi orang tua. Saat parents belajar merawat mereka, jangan lupa untuk juga menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati kepada diri kita sendiri dan memberikan kesempatan untuk kita tumbuh melalui kesalahan.

 

“This behavior will pass, they are just trying to communicate their wants.” -Wan Xin Ng

 

Apabila parents mengalami kesulitan dalam menghadapi anak yang sering tantrum dan meredakan emosi si kecil, Focus on the Family Indonesia siap membantu parents melewati episode tantrum anak. FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. Anda dapat menghubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau melalui WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi

Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x

Ng, W. X. (2024). How to manage toddler tantrums effectively. Focus on the Family Singapore – Helping Families Thrive. https://family.org.sg/articles/how-to-manage-toddler-tantrums/?recommId=76bc0858-a8a0-4a4e-a418-d2a8b712151a

Potegal, M., Kosorok, M. R., & Davidson, R. J. (2003). Temper Tantrums in Young children: 2. Tantrum Duration and Temporal organization. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 24(3), 148–154. https://doi.org/10.1097/00004703-200306000-00003

Parenting

Pentingnya Diskusi Tentang Seks Dengan Anak

Parents, pernahkah Anda berbicara dengan anak Anda terkait seksualitas? Melihat betapa sensitifnya topik tersebut mungkin membuat Anda berpikir dua kali untuk berbicara mengenai seksualitas dengan anak. Sebuah kalimat yang mungkin melintasi pikiran Anda adalah “Mereka akan tahu saat mereka dewasa atau pada saatnya”.

Beberapa parents cenderung menghindari topik ‘seksualitas’ ketika berbicara dengan anak mereka karena dianggap ‘tabu’ atau ‘belum saatnya’. Parents juga terkadang merasa sulit dan canggung untuk membawakan diskusi tersebut meskipun mereka tahu bahwa diskusi terkait topik tersebut penting untuk dilakukan. Tapi, perlu Anda ketahui bahwa diskusi dan edukasi terkait seksualitas dengan anak justru harus dimulai sejak usia dini. Sebuah studi menunjukan bahwa anak-anak yang sering berdiskusi terkait edukasi seks dengan orang tua mereka cenderung menunda melakukan seks dan menggunakan proteksi ketika melakukan aktivitas seksual (Markham et al., 2010). Selain itu, anak-anak yang berdiskusi tentang seks dengan orang tua juga lebih cenderung untuk menerapkan value yang orang tua mereka miliki dalam membuat keputusan terkait aktivitas seksual dan hubungan.

Dengan posisi yang unik, parents dianggap oleh banyak peneliti sebagai salah satu peran terpenting dalam memberikan pendidikan berkelanjutan mengenai seks dan memberikan informasi yang dapat diandalkan (Eyres et al, 2022; Singh, 2020). Diskusi tentang seks tidak hanya berfokus pada aktivitas seksual tetapi juga terkait dengan organ reproduksi, pencegahan masalah kesehatan, batasan diri,  personal value, hubungan yang sehat, dan kepuasan seksual. Edukasi dini dari orang tua yang tepat terkait seks dengan anak bisa memberikan pemahaman tentang batasan yang sehat, sentuhan yang tidak wajar, pemberian ‘izin’, dan batasan dengan lawan jenis atau sesama jenis. Oleh sebab itu, keterlibatan orang tua dalam memberikan edukasi seks dapat membantu anak mengenali berbagai kekerasan seksual sekaligus melindungi mereka (Nur et al., 2020).

 

Panduan dari FOFI untuk diskusi orang tua dan anak terkait seks

Dalam berdiskusi tentang seks, parents perlu memahami pendekatan yang tepat dan topik yang sesuai dengan usia anak. Parents dapat berbicara dengan santai dan memberikan edukasi sejujurnya, tanpa menutupi atau mengganti nama ilmiah dengan kata samaran. Sebuah cara yang dapat dilakukan adalah ketika melihat sebuah iklan/tayangan berhubungan dengan seks tanpa disengaja, parents dapat menjadikan sarana untuk melakukan diskusi sembari menanamkan nilai-nilai kepada anak. Parents diharapkan untuk tidak menghakimi, tidak bereaksi berlebihan dan tidak menekan ketika anak berbicara  batau bertanya seputar topik seks. Kualitas diskusi juga harus diisi dengan edukasi kesehatan, edukasi berhubungan yang sehat, dan menyampaikan values atau nilai-nilai penting kepada anak agar lebih holistik. Dengan begitu, keingintahuan anak dapat dipenuhi oleh informasi yang tepat dari orang tua dan penemuan ilmiah ketimbang dari platform yang kurang kredibel seperti video seks bebas dan lainnya. Dalam hal ini, maka penting bagi orang tua untuk memperdalam pengetahuan terkait kesehatan, ilmu organ reproduksi, seksualitas, batasan dan aktivitas seksual.

Sejak usia muda, orang tua dapat memulai diskusi dan edukasi dengan membahas mengenai organ reproduksi, batasan sentuhan yang tidak wajar, dan batasan dengan teman sesama jenis maupun lawan jenis. Beranjak ke usia remaja, parents dapat mulai membahas tentang topik pacaran, hubungan, pubertas, dan aktivitas seksual. Penting juga untuk parents bisa menerapkan nilai-nilai sehat kepada anak tentang hubungan pernikahan dan pentingnya menjaga kehormatan diri. 

Berdiskusi tentang seks dengan anak memang merupakan sebuah hal yang menantang untuk dilakukan. Akan tetapi, dengan pendekatan, kualitas, dan tujuan yang baik, diskusi tersebut dapat bermanfaat untuk melindungi anak hingga usia dewasa. Diskusi ini juga penting untuk dilakukan secara berkala seiring dengan perkembangan usia dan dunia sosial anak. 

FOFI mendukung diskusi sehat tentang seks antara orang tua dan anak di Indonesia melalui program ‘Let’s Talk About Sex’. Program ‘Let’s Talk About Sex’ dapat menciptakan ruang aman bagi parents untuk berdiskusi dan memberikan edukasi seks antara Anda dan dengan anak (usia 9-13 tahun) menggunakan pendekatan berdasarkan arahan dari profesional. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

 

Referensi 

Eyres, R. M., Hunter, W. C., Happel-Parkins, A., Williamson, R. L., & Casey, L. B. (2022). Important Conversations: Exploring Parental Experiences in Providing Sexuality Education for Their Children with Intellectual Disabilities. American Journal of Sexuality Education, 17(4), 490–509. https://doi.org/10.1080/15546128.2022.2082617

Markham, C. M., Lormand, D., Gloppen, K. M., Peskin, M. F., Flores, B., Low, B., & House, L. D. (2010). Connectedness as a predictor of sexual and reproductive health outcomes for youth. Journal of Adolescent Health, 46(3), S23–S41. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2009.11.214

Nur, A., Fideyah, B., Siti, M., Zain, N., Hazariah, S., Hamid, A., Azira, N., Binti, F., & Muda, S. (2020). The role of parents in providing sexuality education to their children. Makara Journal of Health Research. https://doi.org/10.7454/msk.v24i3.1235

Singh, R. (2020). Comparative analysis of sex education taught to children by parents in India and U.S. Social Science Research Network. https://doi.org/10.2139/ssrn.3634379

Uncategorized

Ayo Raih Goal Dengan Metode SMART!

Champs pernahkah kamu membuat rangkaian goals namun rasanya seringkali banyak goals yang akhirnya tidak berhasil dikerjakan? Atau pernahkah kamu ingin mengembangkan diri di suatu bidang namun berujung hanya mencatatnya dan melupakannya setelah 3-5 hari? Hal ini bisa saja menandakan bahwa kamu perlu mengubah goal planning-mu.

Yuk kita coba membuat goal yang lebih mudah tercapai dengan metode S.M.A.R.T.

S.M.A.R.T merupakan sebuah metode perencanaan dan manajemen goal yang dibentuk oleh George T. Doran  pada tahun 1981. Metode ini sebenarnya dibentuk untuk diaplikasikan para manajer kantoran untuk merencanakan goal dari perusahaan mereka, akan tetapi, kamu juga bisa menggunakannya untuk meraih goal sehari-hari loh Champs!

 

S.M.A.R.T terdiri dari:

S – Specific (spesifik)

Champs harus spesifik dalam menentukan goal! Selama ini mungkin kita hanya menulis goal seperti ‘Belajar Bahasa Inggris!’. Goal demikian masih kurang spesifik dan malah dapat menyebabkan kebingungan ketika kita ingin meraihnya. Sebaiknya, Champs bisa lebih spesifik dalam mendeskripsikan goal.

Sebagai contoh, Champs ingin belajar Bahasa Inggris, maka tetapkanlah satu komponen penting dalam goal atau bahasa yang ingin dipelajari terlebih dahulu. Misalnya, kemampuan berbahasa dapat diraih dengan seberapa pandai kamu berbicara bahasa tersebut dengan fasih, maka Champs bisa menetapkan ‘Belajar berbicara Bahasa Inggris tanpa kesalahan’ untuk goal yang lebih spesifik.

Seiring kita mengikuti penjelasan dari metode S.M.A.R.T, maka goal ini akan menjadi semakin spesifik.

 

M – Measurable (Dapat terukur)

Agar Champs tidak kehilangan arah ketika meraih goal, goal yang kamu tentukan harus dapat diukur. Buatlah sebuah kondisi atau ukuran yang menentukan keberhasilanmu dalam meraih goal tersebut. Misalnya, Champs ingin bisa berbicara Bahasa Inggris, maka kondisi yang menentukan keberhasilan goal tersebut adalah ketika Champs berhasil berbicara Bahasa Inggris dengan orang sekitar tanpa kesalahan selama 1 hari penuh.

Bila kamu masih bingung cara menentukan goal yang measurable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Bagaimana cara aku tahu bahwa aku sudah mencapai goal tersebut?

 

A – Achievable (Dapat diraih)

Selain spesifik dan dapat diukur, goal kamu juga harus dapat diraih. Terkadang kita menentukan goal yang dapat terukur tetapi susah diraih. Hal ini dikarenakan kita menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri kita sendiri tanpa menimbang kapasitas kita. Menentukan goal yang dapat diraih sangatlah penting agar kita dapat terus berusaha untuk mencapai goal tersebut. Dalam menentukan goal, pertimbangkanlah kapasitas dan sumber yang kamu miliki untuk mencapai goal tersebut. Misalnya, dibandingkan menulis goal ‘Menjadi kaya’, kamu bisa menentukan goal ‘Memiliki tabungan sebesar Rp 500.000 di akhir bulan’  yang akan membantu kamu untuk mewujudkan ‘kekayaan’ tersebut. Contoh lainnya, dibandingkan menulis goal ‘Mendapatkan 100 pada ulangan fisika’, kamu bisa menulis ‘Menguasai materi gravitasi fisika dengan kesalahan kurang dari 5 nomor pada setiap PR fisika’. Goal tersebut lebih tidak menekan kamu untuk mencapai kesempurnaan, tetapi tetap mendorong kamu untuk mencapai suatu standar yang lebih baik untuk dirimu sendiri.

Bila kamu masih bingung apakah goal yang kamu miliki bersifat achievable, tanyakan ke dirimu sendiri: “Apakah goal ini realistis? Apakah aku bisa meraih goal ini?”

 

R – Relevant (Relevan)

Setiap goal yang kamu tetapkan harus berlandaskan suatu tujuan. Tanpa tujuan yang matang, kamu bisa saja keluar track dan berujung tidak mencapai goal tersebut. Coba tanyakan beberapa hal ini kepada dirimu sendiri ketika kamu sudah memiliki sebuah goal dalam pikiranmu: 

  • Kenapa aku menginginkan goal ini? 
  • Apakah dengan meraih goal ini akan ada dampak positif untukku? 
  • Apakah goal ini akan merugikan diriku atau orang lain? 

Apakah aku bisa meraih goal tersebut dengan kondisiku saat ini?

 

T – Time-bound (Memiliki batasan waktu)

Tentukan target waktu atau deadline untuk goal-mu. Dengan menetapkan target waktu, Champs akan lebih terfokus dan memiliki prioritas untuk meraih goal yang kalian ciptakan. Contohnya adalah sebagai berikut:

Apabila Champs ingin menjadikan sebuah goal sebagai rutinitas, ada baiknya Champs tetap memberikan deadline untuk goal tersebut. Setelah goal tersebut sudah diraih sesuai deadline, Champs bisa menentukan goal serupa dengan frekuensi dan target waktu yang baru. Hal ini akan memperbolehkan Champs untuk mengevaluasi, “Apakah aku bisa melakukan lebih dari ini?” atau “Apakah mengerjakan goal ini masih terlalu sulit untuk durasi waktu yang telah kutetapkan?”. Dengan begitu, Champs bisa menyusun rencana yang lebih baik untuk goal berikutnya.

 

Contoh sebuah goal yang S.M.A.R.T

Membangun skill menari dengan latihan tari selama 45 menit di setiap hari senin, rabu, dan sabtu pada setiap minggu hingga tanggal 1 Juli 2024.

FOFI sangat mendukung remaja-remaja muda yang memiliki keinginan untuk berkembang dalam hidup mereka. Selalu berikan yang terbaik dalam menuntaskan segala hal, Champs! Jangan lupa untuk tetap menjaga diri dan bersikap baik terhadap diri sendiri ketika melewati tantangan-tantangan.

“Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati.” -Iwan Setyawan

YouthParenting

Bagaimana Media Berinteraksi Dengan Perkembangan Interpersonal Anak?

Memenuhi tanggung jawab sebagai parents dengan anak-anak yang tumbuh di era digital memang cukup menantang. Parents mungkin telah melihat trend tentang penggunaan dunia digital yang kerap membahayakan anak-anak remaja, mulai dari paparan terhadap pornografi, informasi hoaks, serta dampak buruk lainnya dari dunia digital. Mengetahui hal-hal tersebut, wajar saja apabila parents mulai memperhatikan dan membatasi penggunaan media digital bagi anak-anak Anda. Beberapa parents mungkin membatasi penggunaan media digital tersebut dengan ketat demi menghindari bahaya-bahaya dari dunia digital, sehingga tidak jarang juga bahwa batasan-batasan tersebut dapat menjadi sumber argumen antara anak dan parents. Mungkin Anda pernah mendengar anak-anak remaja mengatakan bahwa batasan-batasan tersebut terkesan ‘terlalu mengekang’ bagi mereka.

Penggunaan media digital ini tentunya tidak bisa secara bias dikelompokkan dalam kotak ‘pengaruh buruk’ saja bagi anak Anda. Nyatanya, penggunaan media digital ini juga sangat berperan dalam perkembangan interpersonal anak Anda. Untuk memberikan batasan-batasan yang tepat dalam penggunaan media digital untuk anak, ada baiknya kita memahami bagaimana media digital ini berpengaruh pada perkembangan interpersonal anak Anda.

Pertama-tama, parents perlu memahami bagaimana proses perkembangan interpersonal remaja.

 

Proses Perkembangan Interpersonal Remaja

Teman sebaya merupakan salah satu lingkungan yang penting bagi anak Anda, terutama sejak mereka menginjak usia remaja awal. Pada usia remaja awal, anak Anda mungkin akan melakukan fitting in atau konformitas ke dalam kelompok pertemanan mereka, baik secara terpaksa maupun secara sukarela. Hal ini cukup wajar, pada usia tersebut, anak remaja awal memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas atau kelompok sosial. Mereka memerlukan teman sebaya mereka untuk menerima, mengerti, dan memiliki mereka.

Baca Apakah aku mencoba fitting in ke dalam grup pertemananku?” untuk mengetahui lebih lanjut   

Meski begitu, perubahan akan terjadi ketika anak Anda memasuki usia remaja pertengahan (sekitar 14 tahun). Di usia tersebut, remaja biasanya tidak akan terlalu kaku untuk fitting in atau menyesuaikan diri ke dalam kelompok pertemanan. Sebaliknya, pada masa ini, remaja akan mulai bertindak mengikuti nilai-nilai yang mereka miliki. Pada masa inilah, nilai-nilai yang diterapkan oleh keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan pertemanan mereka menjadi cukup penting. Mereka akan mulai menegaskan pilihan pribadi dan nilai yang mereka miliki dalam berinteraksi dengan dunia sosial mereka. Proses ini dapat terwujud dengan perlahan ketika remaja bisa menyeimbangkan rasa kemandirian (agency) dan kebutuhan kebersamaan (communion) mereka (Lichtwarck-Aschoff et al., 2008). Dua kebutuhan tersebut merupakan faktor utama dalam pengembangan interpersonal remaja hingga usia dewasa. Sementara itu, pengembangan interpersonal adalah fondasi utama dari pengembangan identitas remaja. Mari kita pahami lebih lanjut bagaimana media digital berinteraksi dengan kedua faktor interpersonal ini. 

 

Bagaimana media digital bisa mendukung tumbuhnya Rasa Kebutuhan Kebersamaan (Communion Needs)

Dalam perkembangannya, remaja memiliki kebutuhan kebersamaan (communion needs) dengan kelompok sosialnya. Beberapa kebutuhan kebersamaan dari pandangan remaja antara lain adalah rangkaian kebutuhan untuk:

  • Memiliki ikatan emosional dengan teman atau pasangan 
  • Merasa diperhatikan oleh teman dan untuk memperhatikan teman 
  • Menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial atau komunitas

Idealnya, kebutuhan kebersamaan akan terpenuhi apabila remaja bisa menggapai ketiga hal tersebut. Kebutuhan kebersamaan yang tidak terpenuhi telah ditemukan berhubungan dengan kondisi kesehatan emosional dan mental remaja yang buruk (Granic et al., 2020).Dunia digital dapat menjadi tempat bagi remaja untuk memenuhi kebutuhan kebersamaan tersebut. 

Sosial media misalnya, memiliki banyak fitur yang memperbolehkan individu untuk mengekspresikan diri dan berkoneksi dengan teman-teman mereka tanpa batasan waktu dan tempat. Berbagi pikiran, perasaan, menemukan teman baru, dan tetap terhubung dengan kawan sebaya mereka melalui sosial media menjadi cara-cara bagi remaja untuk dapat meningkatkan perasaan kebersamaan mereka. Sehingga, tidak dapat dipungkiri bahwa sosial media cukup berperan dalam membangun kebutuhan interpersonal remaja.

Kebutuhan kebersamaan remaja juga dapat terpenuhi dengan social games, di mana pemain bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan pemain lain untuk menuntaskan misi bersama. Banyak social games yang didesain spesifik sehingga pemain terdorong untuk bekerja sama, menolong, dan bahkan mendukung satu sama lain dalam menuntaskan  misi. Mereka bisa merayakan keberhasilan bersama dan bahkan mendukung satu sama lain meski menghadapi kegagalan. Dari hal tersebut, sangat mungkin bagi remaja untuk hubungan emosional dengan teman main mereka. Interaksi-interaksi tersebutlah yang dapat memenuhi kebutuhan kebersamaan remaja.

 

Bagaimana media digital bisa mendukung tumbuhnya Rasa Kemandirian (Agency Needs)

Rasa kemandirian adalah kebutuhan remaja untuk menegaskan diri sendiri pada lingkungannya dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan serta nilai pribadi (Locke, 2015). Pada usia pertengahan remaja, anak Anda akan mulai memasuki masa di mereka bisa memprioritaskan kebutuhan mereka sendiri dan mulai bertindak sesuai dengan nilai serta minat mereka.  Rasa kemandirian remaja yang kuat akan sangat membantu dalam memberikan harapan dan motivasi ketika remaja mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupannya (Ryan & Deci, 2000). 

Rasa kemandirian ini dapat dibentuk dari berbagai pengalaman, termasuk pengalaman pribadi dengan media digital. Menurut penelitian Granic dan kawan-kawan (2014), media seperti game digital dapat membantu remaja dengan melatih ketekunan remaja dalam menghadapi tantangan atau kegagalan dalam menyelesaikan misi game. Mekanisme game yang mendorong pemain untuk terus mencoba kembali meski gagal membantu remaja dalam membangun resiliensi ketika menghadapi masalah. Selain itu, misi game juga ditemukan membantu remaja untuk memiliki growth mindset, sebuah pemikiran bahwa semua hal dapat diubah dan diperbaiki, termasuk kegagalan (Granic et al., 2014). Semua hal ini membangun rasa kemandirian pada remaja. 

Sementara itu, dari sosial media, rasa kemandirian ini dapat dibentuk melalui fitur-fitur untuk mengunggah ‘story’ atau postingan bagi remaja untuk menunjukkan keberadaan atau identitas mereka. Mereka didukung untuk beropini dan memberi sikap terhadap berbagai konten yang muncul.

Meskipun media digital dapat membantu remaja dalam mengembangkan identitas interpersonal mereka, setiap interaksi dan lingkungan sosial yang dialami oleh remaja dapat berbeda-beda. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam media digital ada pula hal-hal negatif yang dapat dikonsumsi oleh anak Anda, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja. Oleh sebab itu, penting bagi parents untuk menerapkan batasan dan nilai yang tepat agar remaja dapat memanfaatkan media digital tersebut dengan bijak.

 

Referensi

  • Granic, I., Morita, H., & Scholten, H. (2020). Beyond Screen Time: Identity Development in the Digital Age. Psychological Inquiry, 31(3), 195–223. https://doi.org/10.1080/1047840x.2020.1820214
  • Granic, I., Lobel, A., & Engels, R. C. M. E. (2014). The benefits of playing video games. The American Psychologist, 69(1), 66–78. https://doi.org/10.1037/a0034857
  • Lichtwarck-Aschoff, A., Van Geert, P., Bosma, H., & Kunnen, S. (2008). Time and identity: A framework for research and theory formation. Developmental Review, 28(3), 370–400. https://doi.org/10.1016/j.dr.2008.04.001
MarriageYouth

Apa Itu Co-dependency Dalam Hubungan?

Couples, tahukah kalian akan istilah co-dependency dalam hubungan? Co-dependency dalam hubungan menurut Span dan Fischer (1990) adalah sebuah kondisi psikososial yang terwujudkan melalui sebuah pola disfungsional pada individu dalam berelasi dengan sesama. Pola disfungsional ini bisa berupa fokus berlebih ke individu lain dibandingkan diri sendiri, kurangnya mengekspresikan perasaan, dan adanya upaya untuk memperoleh sebuah tujuan dalam hubungan. Awalnya, co-dependency dalam hubungan ini diteliti pada individu yang pasangannya memiliki adiksi alkohol. Akan tetapi, banyak penelitian yang membuktikan bahwa co-dependency juga terjadi pada pasangan-pasangan secara general. 

 

Seperti namanya, co-dependency dalam hubungan juga dapat diartikan seperti sebuah ketergantungan dalam hubungan. Dalam bukunya, Beattie (1989) melihat bahwa individu yang co-dependent cenderung membiarkan perilaku pasangan untuk mempengaruhi diri mereka sendiri baik secara emosi, perilaku, dan pikiran. Di sisi lain, individu yang memiliki co-dependency juga bisa terobsesi untuk bisa mengontrol perilaku pasangannya. 

 

Ada beberapa karakteristik yang dapat ditunjukkan oleh individu dengan co-dependency. Beberapa karakteristik tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 

  • Menggantungkan diri pada validasi atau perilaku pasangan secara berlebih hingga bisa menjadikan validasi atau perilaku pasangan sebagai makna atau tujuan diri. Sebagai contoh, individu merasa memerlukan afeksi atau pujian dari pasangan agar bisa merasa bahwa dirinya memang baik.
  • Kurang dalam menghargai diri sendiri sehingga rela untuk mengorbankan diri demi mempertahankan hubungan dengan pasangan.
  • Mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas kesalahan atau perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh pasangan, dan mencoba untuk memperbaiki sendiri masalah yang diciptakan oleh pasangan. Sebagai contoh, individu memiliki kebiasaan untuk selalu meminta maaf meskipun tidak melakukan kesalahan.
  • Berkompromi terhadap perilaku pasangan dengan melepaskan kebutuhan diri atau tidak mengekspresikan perasaan Anda meskipun sebenarnya perilaku pasangan tersebut menyakiti atau mengganggu.
  • Tidak memiliki batasan yang jelas antara diri sendiri dengan pasangan. Contohnya, membiarkan pasangan mengatur kehidupan atau aktivitas sehari-hari meskipun aturan yang diberikan sangat membatasi.
  • Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dan mengakui perasaan sendiri sementara selalu mencoba untuk memenuhi kebutuhan pasangan.
  • Obsesi yang berlebih terhadap kehidupan pasangan. 
  • Kurangnya kepercayaan terhadap pasangan sehingga ada kebutuhan untuk bisa mengontrol atau mengatur hidup pasangan. Contohnya, memaksa pasangan untuk tidak berbicara atau bergaul dengan lawan jenis.

Co-dependency banyak ditemukan berhubungan dengan beragam masalah dalam hubungan. Individu dengan co-dependency cenderung melihat bahwa hubungan yang dimiliki dengan pasangan memiliki banyak masalah (Happ et al., 2022). Apa yang dilihat sebagai situasi normal oleh orang lain bisa nampak sebagai situasi bermasalah pada individu dengan co-dependency. Sehingga hal ini bisa membuka ruang untuk argumen terus menerus dengan pasangan. Tidak hanya itu, individu dengan co-dependency juga bisa merasa semakin kehilangan diri sendiri dalam berupaya untuk mempertahankan hubungan dengan pasangan.  

 

Co-dependency merupakan keadaan yang perlu dihadapi dan ditangani dengan baik. Menangani co-dependency dapat dimulai dengan pertama-tama mengevaluasi diri dan menghargai diri sendiri. Selain itu, individu dengan co-dependency bisa mengevaluasi dan membentuk batasan-batasan yang dapat melindungi diri sendiri. 

 

Daring to set boundaries is about having the courage to love ourselves even when we risk disappointing others” – Brene Brown

 

Love yourself enough to set boundaries. Your time and energy are precious. You get to choose how you use it. You teach people how to treat you by deciding what you will and won’t accept” – Anna Taylor

Perlu diingat bahwa Co-dependency juga merupakan suatu hal yang kompleks, sehingga bantuan profesional akan membantu dalam menavigasi, mengidentifikasi, dan menghadapi kondisi tersebut. FOFI mendukung pasangan-pasangan di Indonesia untuk bisa mewujudkan hubungan sehat yang berlandaskan atas kepercayaan, dukungan, kasih sayang, penghargaan diri, dan batasan-batasan yang tepat. Oleh sebab itu, FOFI tersedia untuk membantu pasangan dengan layanan konseling couple dan program ‘Journey to Us’ demi hubungan yang sehat dan baik. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006 untuk mendapatkan konsultasi atau informasi lebih lanjut mengenai layanan-layanan kami.

 

Referensi 

Happ, Z., Bodó-Varga, Z., Bandi, S. A., Kiss, E. C., Nagy, L., & Csókási, K. (2022). How codependency affects dyadic coping, relationship perception and life satisfaction. Current Psychology, 42(18), 15688–15695. https://doi.org/10.1007/s12144-022-02875-9

Fischer, J. L., & Spann, L. (1991). Measuring codependency. Alcoholism Treatment Quarterly, 8(1), 87–100. https://doi.org/10.1300/j020v08n01_06

Beatfie, M. (1989). Codependent no more. Victoria: CollinsDove

MarriageParentingUncategorizedYouth

Stres Ujian? Bagaimana Cara Menghadapinya?

Champs, apakah kalian sering merasa gugup, di bawah tekanan, atau khawatir mendekati, menjelang atau setelah waktu ujian? Kalian mungkin mengalami sesuatu yang namanya exam stress atau stres ujian.

Stres adalah sesuatu yang normal untuk dialami oleh setiap individu kok champs. Mengalami ‘exam stress’ adalah pengalaman yang wajar bagi kalian yang merupakan pelajar. Exam stress bisa muncul dari ekspektasi terhadap nilai akademik, dorongan dari orang tua, guru atau teman, dan lainnya.

Adanya stres yang cukup dalam kehidupan kita, bisa mendorong kita untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi tantangan ataupun menjalankan kebutuhan hidup kita sehari-hari. Contohnya, karena kamu khawatir akan ujian yang mendatang, kamu berinisiatif untuk memperhatikan penjelasan guru ketika di kelas. Hal ini merupakan dampak positif dari stres.

Akan tetapi, stres yang berlebihan dan berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif bagi dirimu. Exam stress yang berlebihan dapat ditunjukkan dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Namun, biasanya exam stress berlebih muncul dengan perubahan perilaku atau pemikiran seperti berikut:

  • Sering kali kekurangan energi untuk menjalankan aktivitas
  • Kesulitan untuk tidur atau kurang waktu istirahat
  • Merelakan waktu tidur, makan, istirahat atau aktivitas lainnya untuk belajar
  • Menjauhi diri dari orang lain atau mengalihkan diri dengan menggunakan waktu lebih banyak bermain ponsel atau sosial media
  • Sering merendahkan diri sendiri (berpikir bahwa diri sendiri tidak berguna, tidak kompeten, atau tidak bermakna)
  • Terlalu sering menekan diri dengan pikiran seperti “Kalau aku tidak belajar dengan baik, aku tidak akan memiliki masa depan”

Exam stress berlebih ini apabila tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental Champs juga loh. Oleh sebab itu, Champs tetap harus mengelola exam stress tersebut agar tidak menumpuk dan memberikan dampak buruk pada dirimu!

Berikut adalah beberapa cara yang bisa Champs lakukan untuk mengelola exam stress dengan lebih sehat:

  1. Buatlah jadwal belajar yang sehat
    Membuat jadwal belajar yang rutin setiap hari sebelum waktu ujian memang penting, tetapi Champs juga harus memprioritaskan waktu makan, istirahat dan waktu senggang yang cukup juga. Ingatlah bahwa Champs memerlukan waktu tidur sekitar 7-8 jam dan makanan yang cukup agar tubuhmu dapat berfungsi dengan baik. Mengimbangkan waktu belajar dan waktu untuk berolahraga, melakukan hobi, atau bersenang-senang dengan keluarga, teman, bahkan hewan peliharaan juga penting loh! Hal ini dapat mendukung kamu agar bisa melepaskan stres atau tekanan yang menumpuk dengan sehat.
  2. Utarakan kekhawatiranmu
    Terkadang terlalu banyak kekhawatiran yang berkeliaran di dalam otak kita ketika akan menghadapi ujian. Champs bisa mengutarakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dengan berbagai cara agar meringankan beban pikiran kalian. Salah satu caranya, Champs dapat menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut kepada orang tua atau teman. Orang tua dan teman-teman kamu mungkin bisa memberikan solusi atau langkah-langkah yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi kekhawatiran yang kamu rasakan.Cara lainnya, Champs dapat menuliskan kekhawatiran atau segala pikiran yang muncul pada buku jurnal atau diary. Dengan menuliskan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul, Champs mungkin bisa menyadari pola pikiranmu sendiri dan apa yang menjadi kekhawatiran utama saat ini. Selanjutnya, Champs bisa menentukan rencana bagaimana menghadapi kekhawatiran tersebut.
  3. Dorong diri untuk belajar dengan hal yang menyenangkan
    Dorongan untuk belajar sangat penting dalam masa ujian. Sayangnya, dorongan kita untuk belajar ketika masa ujian biasanya hanya bersumber dari rasa takut akan masa depan, nilai buruk, atau performa buruk. Sumber dorongan demikian dapat memberikan tekanan yang besar dan membuat learning experience kamu menjadi terlalu stressful. Oleh sebab itu, ada baiknya Champs mendorong diri dengan hal-hal yang Champs suka!Champs bisa menetapkan reward atau hadiah setiap kali kamu berhasil mengikuti jadwal belajar yang direncanakan. Misalnya, karena Tono suka bermain bersama ayahnya, setiap kali Tono berhasil belajar produktif selama 6 jam setiap hari selama 1 minggu, Tono akan menghadiahkan diri dengan melakukan game night bersama ayahnya di akhir pekan. Jadi, melakukan game night bersama ayah menjadi dorongan belajar yang positif bagi Tono.
  4. Sayangi diri sendiri
    Meskipun tekanan dan tanggung jawabmu sebagai pelajar memang berat, Champs harus ingat untuk selalu menyayangi diri sendiri. Belajar untuk tidak selalu mengkritik atau menekan dirimu, melainkan apresiasikanlah setiap langkah yang kamu ambil. Tetap hargai setiap progress yang kamu lakukan!

Ingatlah bahwa kesulitan dan kerja keras yang Champs lakukan saat ini adalah untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Jadi, Champs harus tetap berusaha dengan baik dalam melewati setiap masa ujian. FOFI selalu mendukung Champs untuk berkembang dan melewati seluruh rintangan yang ada, termasuk masa ujian. Apabila cara-cara berikut dirasa kurang efektif dan Champs memerlukan solusi lain untuk menghadapi exam stress, Champs bisa berdiskusi dengan orang tua untuk mendapatkan bantuan lebih. FOFI juga siap membantu Champs dengan program konseling dan program No Apologies yang dapat mengarahkan Champs dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.

Kesuksesan bukanlah akhir, kegagalan bukanlah hal yang fatal, yang terpenting adalah keberanian untuk melanjutkan – Winston Churchill

Referensi
Păduraru, M. E. (2019). Coping strategies for exam stress. Mental Health, 1(1), 64–66. https://doi.org/10.32437/mhgcj.v1i1.26

 

 

Uncategorized

The Importance of Father

“Apakah pentingnya peran seorang Ayah? Apakah sosok ‘ayah’ di dalam keluarga akan membuat perbedaan?” 

 

Parents, pernahkah pertanyaan serupa muncul pada benak Anda? Secara luaran, mungkin sosok ayah dianggap lebih berkontribusi dalam perkembangan anak melalui aspek finansial dan keamanan saja, akan tetapi peran ayah lebih penting dari kedua aspek itu saja. Sosok ayah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan seluruh dimensi anak. 

 

Beberapa kekuatan ayah antara lain adalah sebagai berikut: 

 

Interaksi Unik Dengan Ayah 

Banyak penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa interaksi ayah dengan anak biasanya cukup unik. Ayah biasanya berbicara dengan bahasa yang lebih lugas dan memberikan banyak pertanyaan, yang mana dapat melatih anak untuk bertumbuh secara kognitif dan mencoba mengeksplorasi dunianya dengan lebih luas. Sementara sosok ‘ibu’ biasanya memberikan perasaan nyaman dan aman, sosok ayah yang mendukung ruang eksplorasi pada anak ini bisa memberikan suasana perkembangan yang dinamis bagi anak. 

 

Bermain Dengan Ayah
Ayah sering kali memberikan dorongan dan tantangan bagi anak-anaknya ketika bermain. Dalam bermain atau berinteraksi dengan anak melalui aktivitas fisik, ditemukan bahwa ayah seringkali mempertemukan anak dengan situasi-situasi baru dan tantangan baru yang dapat membangun anak untuk terus bereksplorasi dan memecahkan masalah. Hal ini juga mendukung anak untuk melatih kepercayaan anak akan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah, mengontrol fisik dan emosi, serta melatih regulasi diri anak. Penelitian lain (Goering & Mrug, 2021; Suldo & Huebner, 2004) bahkan menunjukkan bahwa bermain dengan Ayah dapat meningkatkan kemampuan sosial anak.  Maka itu, kehadiran ayah dari kecil sangat penting untuk memberikan sekelompok skill pada perkembangan mental, kognitif, fisik, sosial dan emosional anak.

Menjadi Role Model Anak 

Penelitian Jia dan tim (2012) telah menemukan bahwa ada manfaat gaya pengasuhan ayah yang lebih otoritatif. Gaya pengasuhan yang ini seimbang dalam menunjukkan kepekaan dan kehangatan dengan disiplin dan struktur yang jelas. Dengan kata lain, ayah tidak hanya memberikan aturan dan batasan namun juga kasih sayang, kehangatan, dan kepekaan. Pengasuhan ayah yang seperti ini dapat menempatkan ayah sebagai pemimpin yang bisa memperhatikan perasaan anak namun tetap mempertahankan struktur, nilai, dan kedisiplinan yang diperlukan. Hubungan yang seperti ini dapat memberikan panutan bagi anak untuk bertanggung jawab dan memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya. Oleh sebab itu, gaya parenting ayah yang serupa cenderung tidak akan memiliki masalah emosional dan perilaku. 



Perlu diketahui bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan anak sangatlah penting bagi anak. Meski begitu, seberapa besar pengaruh Anda terhadap kehidupan anak Anda sebagai ayah, ditentukan oleh Anda sendiri. Jangan lupa bahwa kerja sama ayah dengan ibu dalam parenting juga sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Parents diharapkan bisa menunjukkan hubungan yang sehat dan partisipasi parenting yang aktif agar bisa memberikan gambaran nilai-nilai yang perlu dipegang oleh anak dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalin relasi dengan sekitarnya.

Menjadi ayah adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan” 

 

Focus Indonesia mendorong setiap ayah di Indonesia untuk bisa memegang peran yang positif bagi keluarga dan anak-anaknya dengan menyediakan program training Intentional Fathering’ dengan Mr. Lee Wee Min, Asia Regional Director of Focus on the Family untuk membantu ayah-ayah di Indonesia dalam menavigasi perannya dalam keluarga. 

 

Anda bisa mengikuti training Intentional Fathering dengan mendaftar pada link berikut 

https://bit.ly/IntentionalFathering-FOFI. Untuk pertanyaan atau arahan lebih lanjut, Anda bisa mengontak kami melalui direct message instagram @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada +6282110104006.

 

Referensi 

Ancell, K. S., Bruns, D. A., & Chitiyo, J. (2016). The importance of father involvement in early childhood programs. Young Exceptional Children, 21(1), 22–33. https://doi.org/10.1177/1096250615621355

Goering, M., & Mrug, S. (2021). Empathy as a Mediator of the Relationship between Authoritative Parenting and Delinquent Behavior in Adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 50(7), 1308–1318. https://doi.org/10.1007/s10964-021-01445-9

Hertz, S., Bernier, A., Cimon‐Paquet, C., & Regueiro, S. (2017). Parent–child relationships and child executive functioning at school entry: the importance of fathers. Early Child Development and Care, 189(5), 718–732. https://doi.org/10.1080/03004430.2017.1342078

Huerta, D. (2024). Fathers Matter: The importance of a father. Focus on the Family. https://www.focusonthefamily.com/parenting/fathers-matter-the-importance-of-a-father/

Jia, R., Kotila, L. E., & Schoppe-Sullivan, S. J. (2012). Transactional relations between father involvement and preschoolers socioemotional adjustment. Journal of Family Psychology, 26, 848-857. doi:10.1037/a0030245

Rohner, R. P., & Veneziano, R. A. (2001). The Importance of father Love: History and contemporary evidence. Review of General Psychology, 5(4), 382–405. https://doi.org/10.1037/1089-2680.5.4.382

Suldo, S. M., & Huebner, E. S. (2004). The Role of Life Satisfaction in the Relationship between Authoritative Parenting Dimensions and Adolescent Problem Behavior. Social Indicators Research, 66(1/2), 165–195. https://doi.org/10.1023/b:soci.0000007498.62080.1e

Uncategorized

Menghindari Adiksi Pornografi Pada Anak

Parents, perlu Anda ketahui bahwa hingga saat ini, paparan pornografi masih menjadi salah satu permasalahan terbesar di Indonesia (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2019). Ketersediaan teknologi yang dapat diakses dengan mudah oleh siapapun—termasuk anak kita— menjadi salah satu media penyebaran konten pornografi. Tidak perlu untuk berlangganan pada aplikasi ataupun website khusus pornografi, anak-anak Indonesia sudah bisa mengakses konten pornografi dari aplikasi sosial media secara gratis.

Banyaknya konten pornografi yang tersebar bebas ini bukan menjadi satu-satunya masalah yang harus parents pertimbangkan. Adiksi terhadap konten pornografi justru menjadi masalah yang lebih berbahaya untuk perkembangan anak Anda. Penelitian terdahulu sudah membuktikan bahwa adiksi pornografi memberikan dampak buruk bagi individu seperti mood yang rendah, potensi mengalami depresi, berkurangnya kepercayaan diri, nafsu makan, dan bahkan ikatan emosional dengan keluarga (Qadri et al., 2023).

Menurut Koob dan Volkow dalam penelitian mereka, adiksi pornografi juga sulit untuk dilepaskan lantaran konten pornografi merangsang otak untuk sekresi dopamine—sebuah hormon yang memberikan perasaan ‘enak’ dan rewarding—dalam jumlah yang terlalu banyak. Individu bisa terbiasa dengan jumlah dopamine yang biasa Ia terima dari konten pornografi, sehingga, berikutnya individu akan mencari dopamine yang lebih banyak agar bisa merasakan perasaan ‘enak’ dan rewarding lagi dengan cara menonton lebih banyak konten pornografi atau mencari bentuk konten pornografi yang lebih beragam.

Untuk mencegah adiksi pornografi, FOFI mendorong parents sekalian untuk membimbing anak Anda dalam kebiasaan digital dan penggunaan media mereka dengan cara berikut:

  • Membatasi konsumsi media dengan aktivitas kekeluargaan 

Penelitian Zattoni menunjukkan bahwa anak anda bisa saja mulai mengkonsumsi pornografi sebagai bentuk coping atau penanggulangan dari stres, perasaan kesepian, kebosanan, atau membebaskan diri dari pikiran negatif. Oleh sebab itu, parents bisa melakukan berbagai aktivitas yang bisa dinikmati bersama anak Anda untuk menghindari bahaya paparan konten pornografi. Parents bisa membuat rutinitas family time agar Anda dan anak menyediakan waktu untuk melakukan aktivitas bersama seperti olahraga bersama, family talk, family game, dan lainnya dengan perjanjian agar tidak memegang ponsel masing-masing selama kurun waktu tersebut.

  • Berkomunikasi dengan anak mengenai batasan penggunaan media

Penggunaan media harus disesuaikan dengan kebutuhan anak dan usianya. Anak-anak di bawah usia 12 tahun disarankan untuk tidak memiliki handphone pribadi dan hanya menggunakan handphone atau device milik parents apabila ada keperluan. Parents dapat membatasi anak Anda yang berusia di bawah 10 tahun dalam mengakses layar tablet, komputer, atau handphone selama maksimal 30 menit setiap hari. Sementara itu, anak-anak berusia 10-12 tahun dapat mengakses layar selama 1 jam setiap hari atau sesuai dengan keperluan mereka. Parents dapat memberikan handphone pribadi dan akses layar kepada anak Anda yang berusia 13 tahun ke atas dengan pemantauan berkala dan peraturan yang telah Anda tetapkan bersama dengan anak Anda.

Tentunya, dalam memberikan batasan ini, parents harus berkomunikasi dengan jelas kepada anak. Jangan hanya sekedar memberikan batasan/aturan tanpa alasan yang jelas.

“Aturan tanpa alasan dan hubungan, menghasilkan pemberontakan.” 

Penjelasan yang tidak berdasar seperti “Main HP itu tidak baik kalo lama-lama loh!” hanya akan membuat anak Anda bertanya-tanya. Jelaskan bagaimana menatap layar terlalu lama dapat merusak fungsi mata, komunikasikan bahwa parents menginginkan anak untuk bisa memprioritaskan tugas atau waktu bersama dengan keluarga.

“Kebenaran yang menyedihkan adalah, kita tidak akan dapat sepenuhnya melindungi anak-anak kita dari hal-hal yang tidak pantas dalam budaya saat ini, jadi kita harus mempersiapkan mereka dengan baik untuk masa depan.”
Vicky Coutney, Logged On and Tuned Out

 

FOFI mendukung parents sekalian untuk bisa membimbing anak-anak bangsa menjadi tangguh dan siap untuk masa depan mereka yang cerah. Oleh sebab itu, FOFI menyediakan program konseling untuk parents agar bisa berdiskusi dengan tenaga profesional untuk perkembangan keluarga Anda. Parents juga dapat mengikuti program parenting FOFI ‘Raising Future Ready Kids’ yang dapat membekali parents dengan skills untuk mendampingi pertumbuhan anak Anda dalam beberapa aspek kehidupan seperti literasi media, kesehatan mental, kesiapan sekolah, dan lainnya. Hubungi kami melalui direct message Instagram kami @focusonthefamilyindonesia atau WhatsApp pada nomor +6282110104006.

Referensi 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2019). KPAI Sebut Anak Korban Kejahatan Dunia Maya Capai 679 Kasus. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-sebut-anak-korban-kejahatan-dunia-maya-capai-679-kasus

Koob, G. F., & Volkow, N. D. (2009). Neurocircuitry of addiction. Neuropsychopharmacology, 35(1), 217–238. https://doi.org/10.1038/npp.2009.110

Qadri, H. M., Waheed, A., Ali, M., Hasan, S., Abdullah, S., Munawar, T., Luqman, S., Saffi, J., Ahmad, A., & Babar, M. S. (2023). Physiological, Psychosocial and Substance Abuse Effects of Pornography Addiction: A Narrative review. Curēus. https://doi.org/10.7759/cureus.33703

Zattoni, F., Gül, M., Soligo, M., Morlacco, A., Motterle, G., Collavino, J., Barneschi, A. C., Moschini, M., & Moro, F. D. (2020). The impact of COVID-19 pandemic on pornography habits: a global analysis of Google Trends. International Journal of Impotence Research, 33(8), 824–831. https://doi.org/10.1038/s41443-020-00380-w

Youth

Apakah aku mencoba fitting in ke dalam grup pertemananku?

Champs, pernahkah kamu merasa tertekan untuk melakukan sesuatu demi grup atau lingkungan pertemanan?

Mungkin yang kamu lakukan adalah perilaku fitting in. Apa itu?
Fitting in adalah ketika sebuah individu mengubah perilaku, penampilan, kepercayaan atau bahkan nilai-nilai pribadinya untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Dalam melakukan fitting in, seringkali youths terpaksa untuk menjadi ‘orang lain’ atau menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya. 

Contohnya, Dodi memaksakan diri untuk berkata kasar karena Ia ingin bergaul bersama sekelompok temannya yang sering berkata kasar. Dodi sebenarnya tidak nyaman mengungkapkan kata-kata kasar tersebut, tapi Ia beranggapan bahwa temannya akan memandangnya aneh apabila tidak berkata kasar sama sekali, jadi Ia tetap melakukan hal tersebut. Di dalam psikologi, perilaku fitting in ini juga bisa disebut sebagai ‘compliance’.

Ada banyak alasan kenapa champs melakukan fitting in, seperti: 

  • Perasaan ingin dianggap di dalam suatu kelompok sosial atau pertemanan
  • Menghindari hukuman sosial (takut dibully atau diomongin) 
  • Sebagai bentuk penerimaan diri setelah diterima oleh kelompok sosial
  • Agar dapat dipuji atau menjadi orang yang dipandang

Permasalahan dari melakukan fitting in adalah ketika individu terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang disukai oleh kelompok pertemanannya, meskipun Ia tahu bahwa hal tersebut buruk untuk dilakukan. Hal ini tidak menghindari bahwa individu tersebut bisa merasa bersalah atas tindakan-tindakan yang Ia lakukan untuk grup pertemanannya. Kalau sudah seperti ini, individu bisa merasa tidak tenang, tertekan, atau bahkan sebenarnya tidak nyaman berada di dalam lingkungan pertemanan tersebut. 

Di sisi lain, wajar kalau kamu ingin berteman dengan orang banyak kok champs! Bagaimanapun, kita semua adalah makhluk sosial. Tapi, kamu boleh mulai bertanya kepada diri sendiri: 

  • Apakah aku diterima di grup pertemananku atau aku sering menyembunyikan jati diri ku? 
  • Apakah aku memaksakan diriku untuk melakukan sesuatu ketika aku sedang hang out dengan teman-temanku? Kenapa? 
  • Apakah tindakan yang aku lakukan untuk teman-temanku baik dan benar? 
  • Apakah aku nyaman melakukan tindakan-tindakan tersebut? 
  • Apakah tindakan-tindakan tersebut sesuai dengan nilai dan kepercayaanku? 

Kalau sebagian besar jawabanmu pada pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah ‘tidak’, maka kamu mungkin harus mempertimbangkan pergaulanmu dalam pertemanan tersebut. Mintalah bimbingan orang tua, guru, atau mentor bagaimana sebaiknya kamu bertindak agar tidak terpengaruh secara buruk di dalam pertemanan tersebut.

“Your time is limited, don’t waste it living someone else’s life.” 

—Steve Jobs

 

FOFI ingin berpesan agar champs dapat menjaga diri masing-masing dalam bergaul dengan grup pertemanan kamu. Hindari perilaku yang bisa berdampak buruk kepadamu dan selalu ingat bahwa pertemanan yang sehat adalah pertemanan yang bisa membuatmu merasakan ‘belonging’, di mana teman-temanmu bisa menerima keunikanmu dan mendukung perkembanganmu champs

Referensi

Kelman, H. C. (1958). Compliance, identification, and internalization three processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution, 2(1), 51–60. https://doi.org/10.1177/002200275800200106

Cherry, K. C. (2023). The psychology of compliance. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-compliance-2795888